16. Cinta

32 22 0
                                    

Aku bener-bener enggak nyaman banget di sini, apalagi liat Safira. Ya Allah, udahlah, aku udah maafin dia sih. Tapi, bener deh, kalo harus liat mukanya lagi, rasanya kayak masa lalu yang sakit itu balik lagi.

"Aiza, mau ditambah lagi nggak makanannya?" tawar Ivander sambil nyodorin piring.

"Thanks ya," jawabku sambil nerima piringnya.

Kayanya Ivander ngerti banget deh, dia udah nyadar kalo aku masih pengen makan lagi tapi males ngambil sendiri. Soalnya tadi udah makan banyak. 

"Santai aja, Aiza," ucap Ivander sambil senyum-senyum. 

Ibu-ibu dan anak-anaknya udah pulang karena acaranya memang udah selesai, tapi entah kenapa aku masih stuck di sini bareng rombongan Ivander dan Safira. Whatever, yang penting ada makanan di depan mata. 

"Kamu sering makan banyak ya?" tanya Varen, wajahnya penuh keheranan. 

Aku gak bisa bilang sih, sebenernya mumpung gratis makanya aku makan banyak. Kan enggak tiap hari ada yang berbaik hati ngasih. 

"Nah, bahkan aku bawa rantang," ucapku agak kikuk. Semua pada langsung ngakak, mikir aku lagi becanda.

"Tapi aku beneran bawa rantang," tegasku lagi dengan nada mantap. Dan mendengar pengakuan itu, suasana langsung berubah menjadi hening.

Mereka semua terdiam, wajah-wajah mereka mengekspresikan campuran antara keheranan dan kebingungan. Aku bisa merasakan kebingungan mereka meresap dalam ruangan, seolah-olah mereka mencoba memproses informasi yang baru saja kudatangkan.

"Aku ke belakang dulu," pamit Ivander.

Setelah Ivander pamit pergi, suasana di sekeliling kita berubah menjadi sangat canggung. Aku merasa seperti ingin sekali mengatakan bahwa aku juga ingin pulang, tapi aku ragu. Aku takut membuat situasi menjadi lebih tidak nyaman.

"Aiza, boleh aku tanya sesuatu?" tanya Safira, terlihat ragu.

"Tentu saja," jawabku, berusaha menampilkan ekspresi wajah yang biasa-biasa saja, meski hatiku berdegup kencang.

Aku merasa seperti semua mata tertuju padaku, membuatku semakin gelisah.

"Waktu kita di RS cowok yang nemuin kamu itu namnaya zahir kan? Dia gimana orangnya?" tanya Safira. 

Aku terdiam. Beneran deh, aku bingung kenapa Safira tiba-tiba nanya-nanya tentang Zahir. Dan tiba-tiba aja, aku merasa bad mood banget.

Hatiku bener-bener rapuh ya. Udah aku bilangin, kan, jangan sukat sama Zahir. Kita beda kasta, kita memang berada di dunia yang berbeda, dan aku tahu itu.

Jadi, kenapa sekarang hatiku jadi begitu terganggu ketika ada yang bertanya tentang Zahir?

"Zahir, dia baik," jawabku, berusaha menutupi rasa resah yang ada di dalam hatiku.

"Dia ada pacar enggak?" tanya Safira lagi. 

Aku semakin gak nyaman. Nggak ngerti kenapa, tapi kayaknya aku dan Safira masih bawa-bawa beban masa lalu, padahal seharusnya udah berdamai.

Varen sama Rainer, cuma duduk di situ aja sambil santai ngemil. Dan Ivander, bener-bener lama banget nggak keliatan.

 "Dia enggak pacaran, dan dari yang kudengar, dia juga nggak punya niatan buat pacaran," jawabku, berusaha menjelaskan situasi dengan sejelas mungkin.

Namun, Varen tiba-tiba menyelipkan pertanyaan yang cukup serius, "Kalau Nadir?"

Nadir? Aku langsung mikir, kok tiba-tiba dia nanya tentang Nadir? Baru aja keingetan, kemarin Ivander, Varen, sama Rainer ketemu sama orang yang namanya Nadir di masjid.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 05 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jodoh Dan JokesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang