12. Bayangan Masa Lalu

60 36 0
                                    

Setelah kami sholat berjamaah di masjid yang ramai, dengan banyaknya warga sekitar dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, kami selesai beribadah dengan hati yang tenteram. Aku pun melepas mukenaku dan menunggu rombongan Ivander di halaman masjid.

Aku memutuskan untuk menghabiskan waktu sejenak dengan ngadem di tempat orang jualan cendol. Aroma segar cendol dan suasana yang tenang di halaman masjid membawa kedamaian tersendiri bagi pikiranku yang sedang merenung.

"Bang, cendolnya satu," ucapku dengan ramah pada penjual cendol yang duduk di samping gerobaknya.

Dia tersenyum ramah balik sambil menyambut pesananku. "Oke neng, tunggu ya," jawabnya sambil mengambil segelas cendol dari gerobaknya.

Aku duduk di kursi plastik di depan gerobak, merasakan hembusan angin sepoi-sepoi yang menyejukkan. Sementara menunggu cendolnya datang, aku memperhatikan aktivitas sekitar. Anak-anak berlarian riang di halaman masjid, sementara beberapa jamaah lain masih sibuk berbicara setelah sholat.

"Ini neng," Saat cendol yang dingin akhirnya tiba di mejaku

"Makasing, bang," ucapku.

Setelah minum beberapa teguk, rasanya seperti semangatku kembali menyala. Sementara mataku masih terus memantau pintu masuk masjid, aku merenungkan banyak hal dalam pikiranku yang terlalu rumit untuk diungkapkan.

"Mereka lama banget," ucapku sembari menghela napas lelah, menunggu dengan rasa gelisah di halaman masjid yang agak ramai. Aku bisa merasakan ketegangan yang mulai memenuhi pikiranku seiring dengan menunggu waktu yang berjalan lambat.

Tapi kemudian, sepertinya takdir memutuskan untuk memberi kejutan padaku. Saat mereka akhirnya muncul, aku melihat mereka bertiga datang bersama seseorang yang sangat familiar bagiku. Hatiku berdebar kencang saat menyadari bahwa itu adalah Nadir.

"Waalaikumussalam," jawabku, mencoba menyembunyikan kekagetan yang kurasakan.

Jantungku berdebar, tapi bukan karena cinta, melainkan karena kejutan yang tak terduga. Aku tidak pernah menyangka bahwa Nadir akan gabung dengan rombongan Ivander.

"Kalian saling kenal?" tanya Ivander dengan ekspresi wajah yang tak percaya.

"Iya," jawab Nadir dengan tenang, seolah tak terganggu dengan ketegangan di udara. Aku merasa gelisah, tapi tidak bisa menentukan alasan pastinya.

"Kenal di mana?" tanya Varen dengan nada penuh selidik, mencoba mengungkap lebih banyak informasi.

"Kenal di masjid," jawab Nadir dengan santai, membuatku semakin merasa tidak nyaman.

Raener membisikkan sesuatu pada Ivander, tetapi aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Wajah Ivander tiba-tiba terlihat masam, membuatku semakin penasaran dengan apa yang sedang terjadi di balik percakapan mereka.

"Aku pamit dulu ya, Assalamualaikum," ucap Nadir, berusaha mengakhiri ketegangan yang terasa di udara.

"Waalaikumsalam," jawab kami berdua serempak, meskipun suasana terasa agak canggung.

Setelah itu, Nadir pergi dengan sepeda motornya, meninggalkan kami di halaman masjid. Aku masih duduk di tempatku semula, memegang gelas cendolku sambil mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.

"Bang, cendolnya tiga," pinta Raener pada penjual cendol.

"Oke," balasnya singkat.

Tak lama kemudian, cendol untuk mereka bertiga pun datang, tapi suasana terasa tegang.

"Aiza, kita bertiga mau ngomong serius," ucap Varen dengan nada yang tegas, seolah dia bisa merasakan betapa pentingnya pembicaraan yang akan kita lakukan.

Sumpah, jantungku rasanya ingin copot dari dadaku. Masalah yang belum selesai benar-benar menghantui pikiranku. Aku merasa seperti ditarik ke dalam pusaran kegelapan yang membuatku sulit bernafas.

Jadi guys, aku mau ngasih satu saran nih buat kalian semua: selesaikan dulu masalah-masalah yang ada sebelum kalian tiba-tiba lenyap dari kehidupan seseorang. Trust me, kalau orang itu muncul lagi di masa depan, semuanya bakal jadi makin complicated daripada sebelumnya. Aku belajar dari pengalaman pahit, ninggalin masalah tanpa diatasi itu cuma bakal bikin masalah yang lebih gede di kemudian hari. So, better nip it in the bud, guys!

"Kita sadar, dulu kita terlalu egois dan labil. Kita bener-bener minta maaf," ucap Varen dengan suara yang penuh penyesalan.

Aku tidak ingin membahas ini. Rasanya kayak mencekik leher.

"Lo, maksudnya kamu jadi pindah sekolah gara-gara kita," ucap Raener, mencoba membuka percakapan yang sepertinya akan sangat sulit untuk aku hadapi.

"Aku pindah bukan karena kalian kok. Aku pindah karena ngikut keluarga," jawabku dengan suara yang terdengar agak tertekan.

"Itu cuma salah satu alasan aja kan? Kita tahu kamu enggak bisa sekolah dengan tenang gara-gara kita selalu gangguin kamu," lanjut Varen, mencoba membuka tabir perasaan yang sudah lama terpendam.

"Udah, enggak usah bahas masa lalu. Lagian, juga semuanya udah baik-baik aja," pintaku dengan suara yang berusaha tenang, meskipun sebenarnya hatiku berdebar-debar.

Ada banyak hal yang kusimpan di dalam diriku, dan aku tidak ingin mereka membahas ini karena aku takut mereka akan membenciku. Aku ingin menjaga kedamaian antara kami meskipun itu berarti harus menyembunyikan beberapa hal dari masa lalu yang menyakitkan.

"Aku pulang duluan ya, ada urusan," pamitku dengan suara yang terasa remuk. Aku segera membayar cendolku, berusaha menghindari tatapan-tatapan yang menghantui, tapi tanganku dipegang oleh Ivander.

"Azia," panggilnya dengan suara yang penuh kelembutan, seakan meresapi setiap luka yang terpendam di hatiku. Aku terdiam, tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Waktu terasa terhenti, sementara dunia di sekeliling kami berputar tanpa henti.

Tatapan kami bertemu, mengungkapkan lebih dari seribu kata. Terdapat rahasia dan perasaan yang belum tersampaikan, melayang di antara kami dalam keheningan yang menyedihkan.

Tapi kata-kata sepertinya tidak cukup lagi untuk menyampaikan segala yang kami rasakan. Hanya dengan satu pandangan, kami berdua mengerti bahwa ada banyak hal yang harus kita bicarakan, tapi mungkin, untuk saat ini, diam adalah jawaban terbaik yang bisa kami berikan.

"Woi, tangan woi!" teriak Varen, memecah keheningan yang menyelimuti kami.

Aku tersadar, kemudian menundukkan kepala, merasa malu dengan apa yang terjadi. Ivander pun melepaskan tanganku, terlihat kikuk dan aku juga menjadi gugup, tak tahu harus berbuat apa.

"Jangan pergi gitu aja," pinta Ivander dengan suara yang terdengar penuh harap.

Aku berhenti sejenak, merenungkan kata-katanya. "Ada banyak hal yang belum terselesaikan antara kita semua," lanjutnya.

"Rasaku, semuanya udah selesai. Kita udah saling memaafkan. Itu udah cukup kan?" jawabku dengan suara yang agak ragu.

Jujur, aku bingung banget. Nyatanya, maaf itu ga selalu jadi kunci buat nutupin semua masalah. Bahkan, kadang-kadang, ngomong "maaf" bisa bikin beban perasaan jadi makin berat di kedua belah pihak.

Aku merasa kayak stuck di tengah-tengah. Pengen banget mengakhiri segala konflik, tapi di sisi lain, aku takut langkah ini bakal bikin masalah baru muncul. Itu kayak lingkaran setan yang ga ada habisnya.

"Enggak ada kata 'selesai'," ucap Rainer dengan suara yang penuh kebijaksanaan.

"Masa lalu, masa sekarang, maupun masa depan, semuanya selalu terhubung. Walaupun masalahnya udah selesai, tapi tetap aja sepanjang hidup, masalah itu terekam di otak," tambah Varen dengan serius.

Bener juga ya, hidup itu kayak aliran sungai yang ga pernah berhenti. Tiap detik, dia bawa segala macem kenangan dan masalah dari masa lalu yang kayaknya ga pernah bosen merayap balik ke pikiran kita.

Aku ngerasa banget beban itu, kayak nenteng ransel segede gaban yang nempel di punggungku. Meskipun kadang kita usaha mati-matian buat ngubur semua itu di dalam pikiran, tapi tetep aja, masa lalu itu suka ngejar kita. Rasanya susah banget buat bener-bener lupain dan melangkah ke depan, sementara tiap langkah kita masih ditemenin sama bayangan masa lalu yang ga pernah mau minggir.

Jodoh Dan JokesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang