9. Tanpa Kata

60 49 0
                                    

Aku udah gak sabar banget buat ngegas pulang, tuh! Motorku udah selesai diperbaiki, dan otak ku cuma kepikiran rebahan di kasur, main game, atau mungkin nonton film sampe bobo. Tapi, ya ampun, Ivander ini tiba-tiba ngajakin ngobrol lagi.

"Aiza, ini sebagai permintaan maaf," katanya, nyodorin amplop yang gemuk padaku.

"Ah, gak usah, deh," tolak ku cepet-cepet. "Kamu kan udah bantu bayarin biaya pengobatan dan perbaikan motor."

Ivander ngeliatin aku kayak gitu, trus dia senyum, tapi kayaknya senyumnya itu agak beda. Lebih kayak senyum yang, aku gak tau, gimana ya, kayak ada sesuatu gitu. Trus dia ngomong lagi, "Ini emang beda, Azia. Aku ngerasa perlu ngelakuin ini buat minta maaf atas semua yang kamu alamin."

"Makasih," ucapku sambil ambil amplop dari tangan Ivander.

Aku mau nolak sih, tapi ya gimana ya? Namanya juga rejeki, meskipun cara dapetinnya agak bikin deg-degan. Musti ditabrak dulu baru dikasih duit sama orang yang nabrak. Pasti isinya banyak, kan? Apalagi yang nabrak itu mantan, pasti gengsi deh kalo amplopnya dikit.

Jadi, ya udahlah, mungkin ini nasib. Aku tau, aku sebenernya bisa aja nolak, tapi apa daya, godaan duit itu terlalu kuat. Bukannya gak bersyukur, tapi ya gimana lagi, rejeki ini kan datangnya dari situ. Lagian, aku juga gak enak nolak rejeki, ya walaupun dari mantan.

"Aku pulang ya," pamitku sambil senyum-senyum sendiri.

Ya, senyumlah, apalagi dikasih duit. Ya, walau duit itu dari mantan sih, tapi kan kita udah baikan, udah merelakan masa lalu, dan membuka lembaran baru sebagai teman.

"Iya, hati-hati di jalan," ucap Ivander sambil senyum cerah. 

Aku buru-buru menghidupkan motor dan memacunya pulang ke kosan, hatiku berdebar-debar penasaran dengan isi amplop itu. Ya ampun, maaf ya, namanya juga manusia. Kadang-kadang godaan itu terlalu kuat untuk ditolak.

~~~

Aku kuliah dengan wajah yang berseri-seri. Mengapa? Bukan hanya karena amplop yang diberikan Ivander, tapi juga karena kami sudah berbaikan. Aku tidak lagi merasa khawatir bahwa dia akan mencari-cari kesalahanku. Hubungan kami kini lebih baik, lebih matang.

"Aiza..." panggil Pak Adimasa dengan suara hangat, sambil berlari ke arahku dengan senyuman yang manis.

Mati aku, pikirku, pasti banyak yang akan salah paham, apalagi kita berada di parkiran fakultas. Tapi entah mengapa, detik ini rasanya seolah waktu berhenti, dan hanya ada kami berdua di dunia ini.

Langkah Pak Adimasa yang tergesa-gesa dan tatapannya yang penuh antusiasme membuat hatiku berdebar lebih cepat dari biasanya. Apa yang sedang terjadi?

"Ada apa ya, Pak?" tanyaku was-was, cemas menunggu jawaban dari Pak Adimas.

"Terimakasih," ucapnya dengan senyum lebar, matanya berbinar bahagia.

"Untuk?" Bingungku, belum mengerti maksud ucapan terima kasih dari Pak Adimas.

"Sebulan lagi saya akan melamar Yulia. Ini semua berkat bantuan kamu," ucap Pak Adimas dengan penuh rasa syukur, suaranya penuh semangat.

Aku sedikit kikuk sih. Padahal aku cuma ngaterin surat yang Pak Adimas tulis. Tapi ya, kayaknya ngasih semangat aja udah cukup bikin dia bahagia.

"Wah, selamat ya, Pak. Semoga lancar acaranya," ucapku sambil memberikan doa terbaikku.

Pasti akan banyak mahasiswi yang patah hati mendengar kabar bahwa dosen muda satu ini sudah akan lamaran.

"Terima kasih doanya. Saya ke ruangan saya dulu," pamit Pak Adimas dengan senyuman yang tak pernah pudar dari wajahnya.

Aku hanya bengong di tempat, menatap langkahnya menjauh. Kenapa di sekelilingku banyak orang yang sedang bahagia dengan cintanya?

Jodoh Dan JokesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang