5. Takdir

90 64 0
                                    

Setelah tiba di rumah sakit,  perawat dengan cermat membersihkan luka itu, dan aku merasakan sentuhan lembutnya.

Kemudian, dengan penuh perhatian, dia berkata, "Mbak, kalau mau nangis enggak papa. Nangis aja."

Aku hanya bisa tersenyum sebagai tanggapanku. Kebetulan, aku tidak merasakan kebutuhan untuk menangis pada saat itu. Aku hanya terdiam, merenungkan situasi yang telah menimpa aku.

Saat perawat terus membersihkan luka bekas goresan aspal itu, pikiranku melayang pada pertanyaan yang sama: Siapa yang akan membayar semua ini?

~~~

Aku duduk di ruang tunggu, dikelilingi oleh keheningan yang terasa begitu berat. Safira, yang julukannya Mak Lampir, duduk di sampingku dengan ekspresi sedih di wajahnya. Rasanya aku bisa merasakan getaran kecemasannya.

"Maaf ya," ucapnya dengan nada yang rendah, memecah keheningan yang menyelimuti kami.

Aku merasa was-was, gelombang emosi yang bergelora di dalam hatiku ingin meledak, ingin meluap keluar dalam bentuk teriakan. Namun, aku menahan diri. Mengapa?

Karena setiap kali Safira menunjukan wajah sedihnya. My mantan, si Ivander selalu menyalahkan ku. Seolah aku adalah sumber kesedihan terbesar Safira.

"Iya, enggak papa," jawabku dengan suara yang berusaha tenang, meskipun hatiku membara dalam kebencian dan kekecewaan yang teramat dalam.

Aku tahu bahwa bersabar adalah pilihan terbaik dalam situasi ini, meskipun begitu sulit untuk dipertahankan.

"Ini obatnya, jangan lupa diminum, dan jangan lupa pakai salepnya juga," ucap Ivander tiba-tiba, sudah berjongkok di depanku, sambil memberikan kantong obat.

Suaranya terdengar terengah-engah, dan aku bisa merasakan getaran ketegangan di udara.

"Iya, makasih," ucapku sambil menerima kantong obat tersebut, mencoba menjaga ketenangan meskipun perasaanku campur aduk.

Aku memperhatikan nafasnya yang tak beraturan, memperkuat dugaanku bahwa dia sedang dalam keadaan gugup atau khawatir. Tapi entah mengapa, aku merasa ragu. Apakah mungkin dia habis lari?

"Aizaa..." sebuah teriakan tiba-tiba memecah keramaian di ruang tunggu rumah sakit, menarik perhatian semua orang.

Saat aku melihat ke arah sumber suara, aku melihat Zahir berlari ke arahku dengan langkah yang terburu-buru. Namun, perhatianku teralih oleh sesuatu yang lain - sarung yang dia pakai.

"Kamu enggak papa?" tanya Zahir dengan nada yang penuh kekhawatiran, sementara dia berdiri di hadapanku. Ekspresinya begitu cemas, dan aku tidak bisa tidak merasa tersentuh.

Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak memikirkan kemungkinan bahwa Zahir mungkin memiliki perasaan yang lebih dari sekadar persahabatan terhadapku. 

"Aku baik-baik saja, Zahir. Terima kasih atas kekhawatiranmu," jawabku dengan senyum, mencoba untuk menenangkan hatinya meskipun dalam hatiku merasakan getaran yang tidak biasa.

"Lo siapa?" tanya Ivander dengan ekspresi wajah yang jutek, mirip persis dengan ketika kita masih SMA dulu.

"Gue sahabatnya," jawab Zahir dengan nada dingin, menatap Ivander dengan tajam.

Ivander berdiri dari posisi jongkoknya, dan saat itu terlihat bahwa Ivander lebih tinggi dibandingkan Zahir. 

"Gue Safira," ucap Safira dengan suara yang tenang, mencoba memperkenalkan dirinya. 

Namun, Zahir tampaknya tidak begitu memperdulikan kehadiran Safira, tetapi tiba-tiba ia melepaskan jaketnya.

"Auratmu kelihatan," ucap Zahir dengan tegas, membuatku terkejut dan terdiam sejenak. Zahir mengucapkannya di depan Safira, membuat situasi semakin canggung. Aku mencoba memahami maksud di balik kata-katanya.

Jodoh Dan JokesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang