4. Pengen Punya Uang

99 68 0
                                    

Setelah Diana pulang dari kosanku, aku duduk termenung. Bukan karena cinta yang memenuhi pikiranku saat itu, melainkan karena persoalan yang kian terasa berat: uang.

Aku menatap sekeliling ruangan yang sederhana, mengingat-ingat keperluan yang terus bertambah namun tak seimbang dengan isi dompetku yang kian menipis.

"Sampai sekarang aku masih menjadi beban. Padahal, sudah aku udah kepala dua," keluhku dalam hati, merenungkan keadaanku yang tidak kunjung membaik.

Dengan hati yang penuh keinginan, aku berbicara dalam doa yang terdengar di dalam kosan yang sunyi, "Ya Allah, aku ingin punya uang yang banyak. Pengen bisa makan yang enak tanpa mikir orang rumah makan apa ya?"

Air mataku hampir jatuh, namun aku menahannya dengan keras.

"Masa disini aku makan ayam geprek, mie ayam, seblak, bakso. Tapi bapak, emak, dan adek-adekku makan pucuk ubi, makan kangkung, makan ikan asin."

Rasanya hatiku hancur saat aku mengucapkan kata-kata itu. Itulah mengapa aku selalu berhemat, menekan rasa ingin makan makanan enak. Supaya aku enggak terlalu merasa bersalah sama keluargaku.

Meskipun aku berusaha untuk terlihat ceria di depan orang lain, tertawa haha hihi dan bercanda seolah tak ada masalah, namun saat sendirian, aku miris sama diri sendiri.

~~~

Pagi ini aku berangkat kuliah dengan tampang yang bisa dikatakan menyedihkan. Yah pasti bisa ditebak alasannya; uang dan selalu uang.

Terdengar tanya Rianti, salah satu teman kuliahku, yang membuyarkan lamunanku. "Kamu udah ngerjain tugas resume belum? Yang ditulis tangan," tanyanya.

"Udah," jawabku sembari terseyum ramah, mencoba menyembunyikan rasa lelah yang membebani diriku.

"Bisa tolong tuliskan enggak, aku bayar deh," pintanya dengan suara ramah.

Mendengar kata-kata itu, aku merasa tergoda. Jujur saja, di dunia ini yang kubutuhkan saat ini adalah uang.

"Iya," jawabku dengan senyum tipis di bibir.

"Makasih ya. Aku ada urusan soalnya," ucapnya sambil melangkah pergi.

Setelah itu, aku menulis di pojok ruangan, ditemani oleh keheningan yang mengiringi langkahku. Bukan karena tidak memiliki teman, tapi karena aku merasa lebih nyaman sendirian.

Aku tahu, jika aku memiliki banyak teman yang sering mengajakku hangout, pasti uangku akan terkuras dengan cepat. Mereka tidak akan pernah meninggalkan kesempatan untuk mengajakku makan atau melakukan aktivitas lain yang memerlukan biaya.

"Joki tugas sekarang?" tanya sebuah suara dari sampingku.

Aku menoleh dan melihat Zahir tengah duduk di dekatku, matanya memancarkan rasa penasaran.

"Iya," jawabku singkat, tanpa mengungkapkan betapa terkejutnya aku mendengar pertanyaan itu.

Sejujurnya, menjadi joki tugas tidak pernah terlintas dalam pikiranku sebelumnya. Meskipun tidak sesuai dengan rencanaku, aku menyadari bahwa ini adalah kesempatan untuk mendapatkan uang tambahan.

"Nanti ku bantu share kalau kamu buka jasa joki," ucap Zahir, dengan senyum ramah di wajahnya.

Aku mendengarnya sambil melanjutkan menulis tugas yang harus segera diselesaikan. Meskipun aku merasa terharu dengan tawarannya, ada rasa campur aduk di dalam hatiku.

"Makasih banyak," ucapku sambil tetap fokus pada pekerjaanku.

Aku memang kagum padanya, dengan segala kebaikan dan kesederhanaannya. Tetapi di balik kagum itu, terdapat rasa yang lain, sebuah perasaan yang aku coba tahan dan sembunyikan.

Jodoh Dan JokesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang