Pulang

2 2 0
                                    

"Mau kemana?" salam Brenda masuk dan melihatku memakai mantel.

"Aku keluar, ya..." pamitku.

"Iya... Rin, cepet!" balas Brenda lalu mengetuk pintu kamar mandi.

Aku keluar dari kamar yang tak terlalu besar itu dan melihat Venda yang berdiri disamping pagar depan kamarnya.

"Wow, gimana bisa?" ucapnya antusias menghampiriku.

"Apa!" singkatku.

Ia menunjukkan layar ponselnya dan menampilkan gambarku yang digendong Tsakif semalam.

Aku berusaha hingga sampai di pagar, Aku melihat ketiga kakakku yang tampan telah berdiri di halte.

Aku menyebrang dan berusaha baik-baik saja dengan menahan sakit di kaki.

"Kenapa?" ujar kak Harbin mengernyit.

"Ayo, ke restoran sana!" ajak kak Harrist.

Aku mengangguk pada kak Hamish agar ia berjalan didepanku, dan Aku yang paling belakang.

"Sssh!" desisku dengan jalan terhuyung.

"Tempat baru, ya?" lirihku memegang bagian belakang mantel kak Harrist.

Aku mendongak melihat kak Harrist, "Sekarang, ndak boleh keluar? Jaman kakak dulu masih bisa seliweran keluar gerbang!"

"Harrist! Peraturan sudah berbeda, kamu jangan buat Adik iri..." tegas kak Harbin setelah mendapat tempat duduk.

"Hah! Ambil sendiri nih, pesanannya?" lirih kak Hamish duduk didepanku.

"Iya, Harrist aja yang ambil" pamit kak Harrist dari samping.

Kak Harbin juga beranjak menyusul.

Aku menutup wajahku lelah, "Dek! Bener kamu di bully?" beber kak Harrist serius.

"Tau dari mana?" sahutku penasaran.

"Dari sosmed akun nyinyir sekolah kamu"

Aku menyingkirkan tanganku.

"Dek..." panggil kak Harrist memelan.

Kak Harbin dan kak Harrist datang, "Hannah mau pulang..." pintaku melemas.

Kak Harbin duduk dan menampilkan sorot kengerian didepanku, "Kamu bicara apa, Hamish!"

"Eng-nggak!" tolak kak Hamish.

"Jangan bohong..." ulang kak Harbin dingin.

"Hannah tahu, rumah kita selalu sepi? Hanya ada beberapa pekerja. Hannah tahu kah Dek, kenapa Ibu juga belum pulang merawat nenek?" tegas kak Harbin dan hanya gelengan kepala yang Aku tanggapi.

"Hannah! Semua kakak Hannah pernah merasakan hidup di asrama. Bukannya kakak jahat mengirim kamu ke asrama sama seperti kakak dulu."

"Lu kenapa si bang, pulang weekend sekarang aja jadi panjang urusannya!" putus kak Hamish.

Aku beberapa kali memegang leherku, dan kak Harrist menyentuh dahiku.

"Hannah demam, Kak..." bebernya membuat kak Hamish lantas menyentuh tanganku.

Kak Harbin sangat marah, ia dengan cepat mengendarai mobil yang langsung tiba di halaman rumah.

"Hannah, mau digendong..." pintaku membuka pintu mobil.

Brak
"Kamu bisa jalan, Dek! Usaha sendiri!" tegas kak Harbin setelah menutup pintu mobil.

Aku terus berjalan mengikutinya dengan kaki pincang, ia berbalik dan menatapku.

Asmara AsramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang