Bab 5

28 3 17
                                    

Hijrah's POV
Saya menaiki angkot sembari melalui jalan utama di Singkawang Barat, kali ini saya ingin ke Jalan S.M. Tsjatioeddin, Dwi Tunggal. Sesuai dengan informasi yang Nathan-san berikan di kertas ini.

Agar lebih produktif, saya memutuskan untuk memilah dan membuat pertanyaan-pertanyaan yang bakal saya ajukan ke salah satu narasumber yang ingin diwawancarai.

Cung Na Na, nama narasumber yang tertulis di kertas ini. Memiliki altar yang bernama Altar SUN GO KONG, mendengar nama altarnya seperti telah mengingatkan saya tentang seekor siluman kera emosian yang ditugaskan oleh Buddha untuk mengawal seorang biksu dan kedua temannya dan mencari kitab suci.

Tapi, katanya dewa yang merasukinya bukan dewa kera Sun Go Kong, itu hanya nama altarnya saja.

"Pak, apakah benar ini adalah Jalan S.M. Tsjatioeddin, Dwi Tunggal?"

"Benar, mbak."

"Kalau begitu, kita berhenti disini ya."

"Baik, mbak," kata sopir angkot itu sembari menghentikan laju angkotnya di jalan yang saya inginkan. Angkotnya berhenti di tempat sepi dan saya membayarnya sebesar Rp150. 000, itu pun adalah harga minimum dari Pontianak - Singkawang.

"Terima kasih, mbak. Hati-hati di perjalanan selanjutnya ya."

"Iya, sama-sama, pak."

Akhirnya, sampai juga di jalan ini. Sekarang tinggal cari tempatnya dengan cara menanyakan nama klenteng dan orangnya kepada orang-orang yang mengenal beliau, ternyata hampir semua orang di jalan itu mengenal beliau beserta keluarganya.

"Iya, tapi siapapun dari kalian bisa tidak untuk mengantarkan saya ke tempat kediaman mereka, soalnya saya adalah mahasiswa dari Yogyakarta yang ingin mewawancarai beliau," jelas ku kepada orang-orang sekitar, mereka semua mengangguk paham dan beberapa ada yang menawarkan diri untuk mengantarku.

"Yaudah, kita ramai-ramai yuk, biar asik."

Tanpa ada pilihan lain, saya memutuskan untuk memilih orang-orang itu untuk mengantarku ke tempat calon narasumber ku. Gak enakan rasanya untuk menolaknya, karena dari gerak-gerik nya saja mereka sangat tulus melakukannya.

"Baik, kita lewat mana dulu." Saya mengikuti petunjuk dari mereka, jalannya tidak terlalu susah sih, hanya saja jika sudah tersesat ya gak bisa di tolongin apalagi bagi orang yang sudah tua, pikun, dan pelupa.

Setelah melewati 1.000 langkah, akhirnya kami semua sudah sampai di altar tersebut. Altar dengan klenteng kecil-kecilan, kemungkinan besar dewanya bukan dewa level atas seperti Kanon-sama.

Terlihat klentengnya berada dalam satu rumah dengan rumah beliau, ada mobil dan motor yang terparkir di depan halaman rumah dengan bau hio dimana-mana.

Kebetulan, saya dan warga-warga sekitar menemui perempuan paruh baya yang katanya adalah ibunda dari Cung Na Na, Jong Sun Fung.

Mungkin lebih baik saya mewawancarai keduanya saja kali ya. Gumamku sambil melihat ibu Jong melakukan pemberkatan doa di samping altar dengan membakar beberapa batang hio, menggerakkannya naik-turun sebanyak 3 kali dan menancapkan hio-hio tersebut di tempat asalnya yang berada di atas altar, tepi pintu, dan samping luar rumah.

"Apakah saya sudah boleh kesana?" tanyaku kepada salah satu warga.

"Sudah bisa, kak. Sapa saja, mereka ramah kok."

"Oke, sebelumnya terima kasih ya telah mengantarku kesini, bakal saya ingat-ingat jika saya kesini lagi suatu saat," ucapku kepada warga-warga itu, tentu para warga membalasnya dengan senyuman manis sebelum berjalan pulang ke rumah masing-masing.

Imlek : The Lost FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang