Bab 10

12 3 25
                                    

Hanabi's POV
Siang ini, saya sudah berada di depan klenteng yang saya tuju. Klenteng LIN JIN THAN, itulah nama dari klenteng yang berada di Jalan Yosudarso/Kuala Cg. Kelapa Emas, Singkawang Barat. Saya datang kesini dengan mengendarai angkot, dan karena ini adalah jalan kecil jadi saya menyambungkannya dengan berjalan kaki saja, toh jalan kaki adalah suatu kewajiban tak tertulis di negara asalku agar bisa hidup sehat.

"Klenteng RIN JIN TAN, benar gak sih?" ucapku, maklum di aljabar negaraku tidak ada yang namanya huruf eru(L).

Selama di angkot, saya membuat berbagai pertanyaan pribadiku sambil membuat sesuatu dari origami, terutama yang paling menyenangkan adalah membuat bintang dari origami panjang yang menjadi kebiasaanku saat gabut. Dan hal yang paling mengejutkan ketika saya berada di angkot saat sopir angkotnya menanyakan hal ini kepadaku dengan bahasa yang sulit dipahami.

"Tjhi'-ka oi hi na bui?" ucap sopir angkot tersebut yang membuatku terkena sindrom "hah?".

"Hah?"

"Nyi mo boi kong boi Hakka ngî-ngièn?" ucapnya sekali lagi yang membuat kepalaku mau meledak ditempat.

"Gommenasai, watashi Nihonjin desu, saya orang Jepang, pak," ucapku sambil menyatukan kedua telapak tanganku di depan seperti orang Jepang yang sedang meminta maaf.

"Oalah, orang Jepang, maaf juga, saya kira sesama orang Cina seperti saya," ujar sopir angkot tersebut.

"Kami disini memanggil perempuan muda dengan sebutan "amoy", untung saja mbak kasih tahu, saya hampir saja memanggil mbak dengan sebutan itu," tambahnya. Kalau di Jepang mirip dengan sebutan "-chan" dan "-san", tapi nonbiner, bisa perempuan, bisa laki-laki. Kalau saya pakai "-chan". Itu saja hal yang menurutku sangat mengejutkan, saya penasaran Hikaru-kun juga mengalami seperti itu tidak disini?

Sambil melihat sekeliling, mataku tidak bisa lepas dari fondasi-fondasi klenteng dan vihara yang dibangun di setiap tepi jalan, benar-benar memanjakan mata orang asing sepertiku. Kalau di Jepang yang paling banyak adalah kuil Shinto dan Buddha, itupun tidak sedominan klenteng dan vihara.

Kembali lagi ke saya yang sedari tadi menunggu seseorang di depan pintu klenteng, karena merasa membuang-buang waktu jadi saya melepas sandalku, takut lantainya jadi kotor. Btw, foto di bawah adalah sandalku yang ku pakai saat pertama menginjakkan kaki di bandara.

 Btw, foto di bawah adalah sandalku yang ku pakai saat pertama menginjakkan kaki di bandara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Selamat siang, mbak. Ada yang bisa kami bantu?" Tiba-tiba muncul seorang pria dewasa dari dalam klenteng saat saya barusan menginjakkan kaki di lantai klenteng, pria dewasa itu terlihat ramah sampai-sampai mempersilahkan ku duduk di depan altar.

Jujur, itu membuatku canggung. Tapi saya berusaha semaksimal mungkin menyembunyikannya dan berterima kasih kepadanya dan berkata bahwa saya datang kesini untuk mencari seseorang yang bernama Chia Khin Liung, tapi saya memilih memberikan kertas hasil undian dari Nathan-san karena ada huruf eru nya.

Imlek : The Lost FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang