Interaksi | 21

47 7 3
                                    

Ayana tersenyum menatap kalender yang ada di depannya. Dia baru saja menandai tanggal di mana dia akan berangkat ke Bandung untuk mengikuti kompetisi melukis yang sangat dinantikan. Meskipun ada satu hal—tidak, lebih tepatnya beberapa hal yang mengganggu pikirannya. Salah satunya adalah soal Mala. Wanita itu tentu tidak tahu mengenai masalah ini dan mungkin tidak akan senang jika mendengarnya. Ayana akan menutupnya rapat-rapat sehingga hanya dia, Bita dan anggota klub lukis yang mengetahuinya. Tentu dia sudah meminta mereka untuk tidak menggembor-gemborkan soal ini, meskipun hal itu tetap membuat dia merasa gelisah.

Masih ada kemungkinan Mala mengetahuinya, meksipun persentasenya sangat kecil.

Suara mesin motor yang terdengar tidak asing, mengalihkan perhatian Ayana. Dia menoleh ke arah jendela untuk memperhatikan seorang laki-laki dan perempuan yang tengah naik motor bersama. Ayana menghela napas dan langsung menutup gorden kamarnya. Padahal wajar kan mereka berboncengan karena tinggal bersama.

Tinggal bersama? Astaga, siapa sangka kata itu jauh lebih menyakitkan untuk dikatakan. Namun, memang seperti itu kenyataannya.

"Mereka kelihatan serasi. Meskipun mereka sepertinya sering berantem, Kenzie pasti jauh ngerasa nyaman ada di dekat dia. Apalagi Dara itu meskipun nyleneh, dia perhatian banget orangnya. Berbeda jauh sama orang kaku kayak aku. Di dekat Kenzie aja bingung harus ngapain. Aku gak bisa sehebat Dara dalam bertindak di depan Kenzie."

Ayana mencoba menghentikan mulutnya yang bisa saja terus bermonolog. Dia berusaha mengabaikan apa yang dilihatnya barusan dan mengambil sebuah paper bag cukup besar berisi lukisan yang baru saja dia selesaikan.

Reyhan akan datang untuk mengambil lukisan ini. Yah, cowok itu pasti akan terkejut jika tahu ternyata dia bertetangga dengan Kenzie. Namun, Ayana malas untuk sekadar keluar untuk menyerahkan lukisan ini. Biarkan Reyhan saja yang datang.

Betul saja, setengah jam kemudian cowok itu datang bersama Nada. Mereka sempat mengobrol sebentar sebelum akhirnya pamit pulang. Sayang, waktunya sangat tidak tepat. Tidak, mungkin seharusnya Ayana tidak perlu mengantar mereka sampai gerbang rumah yang membuatnya harus berpapasan dengan Kenzie sekaligus Dara.

"Apa nih pakai baju couple segala?" Intonasi bicara Nadha tampak tidak suka. Ayana langsung mengalihkan pandangan ketika gadis itu menatapnya.

Dara yang mendengar pertanyaan itu melebarkan senyuman. Dia tampak sangat senang. "Gimana? Cocok, kan?"

"Enggak." Nadha menjawab dengan sedikit ketus. "Kalian berdua keliatan norak."

Dara mengernyit dan memperhatikan baju yang dipakainya, begitu pula dengan pakaian Kenzie. "Lucu, kok, gue suka. Ini—" ucapan gadis itu terhenti ketika bersitatap dengan Ayana. Dia langsung menutup mulutnya seorang baru saja salah bicara.

"Eh? Jangan salah paham, jangan salah paham. Itu tuh hari ulang tahun gue, karena dia gak ngasih gue hadiah makanya sebagai gantinya dia harus pake baju yang samaan sama gue." Kali ini senyumnya tampak dalam. "Dari dulu gue pengen banget bisa couple-an kayak gini sama keluarga. Nah, karena Bapak sama Bunda susah buat diajak beginian, couple-an sama Kenzie aja udah cukup, kok," jelasnya panjang lebar.

Ayana yang merasa menjadi objek atas perkataannya mengerjap dan merasa tidak nyaman. Sungguh, tidak perlu dijelaskan terang-terangan semacam itu dan secara langsung seperti ini. Yah, meksipun tidak bisa dibohongi dia sedikit lega akan penjelasan itu. Namun, tetap saja rasanya masih menjengkelkan.

"Anu, aku pamit ke dalam dulu. Kalian berdua hati-hati, ya, pulangnya."

Ayana segera pergi dari sana demi menyelamatkan perasaan sekaligus wajahnya yang memerah. Malu bercampur dengan kesal.

"Tuh, kan, dia jadi kabur. Kamu, sih!"

"Loh, kok jadi gue? Kan, udah gue jelasin tadi."

Samar-samar Ayana masih mendengar percakapan mereka. Dia melangkahkan kakinya semakin cepat memasuki rumah. Dia berhenti sejekan di ruang tamu. Pikirannya tanpa permisi memutar ulang kejadian tadi lalu menghela napas panjang. Membiarkan nyeri di dadanya terus berlanjut karena dia masih belum menemukan obat apa yang tepat setiap kali rasa sakit ini menghampiri.

"Kayaknya menghapus perasaan ini jauh lebih baik. Kamu dan Kenzie berbeda dalam banyak hal, Ay," ucapnya mengingatkan diri-sendiri.

***

Entah bagaimana bisa satu minggu ini berjalan dengan sangat lambat dan tidak menyenangkan. Ayana tidak lagi memiliki semangat belajar dan hampir menghabiskan sepanjang harinya dengan pergi ke ruang klub lukis untuk menggambar sekaligus mengasah lagi kemampuannya. Apalagi dua minggu lagi kompetisinya akan dimulai. Hal itu membuat Ayana lupa akan Ujian akhir semester yang sudah berada di depan mata.

"Loh? Nilai kamu jadi turun lagi gini, Ay? Semalam enggak belajar?"

Ayana menggeleng. Sebenarnya dia tidak bermaksud sengaja melakukaannha. Dia benar-benar melupakan soal ulangan harian di hari ini. Waktunya terlalu singkat untuk mempelajari beberapa materi, terlebih lagi Ayana benar-benar tidak memiliki semangat yang sama seperti sebelumnya. Dia terus merasa gelisah, entah itu alasan apa.

Tidak mungkin karena Kenzie, kan?

Akhir-akhir ini dia sering melihat cowok itu bersama Dara. Dibandingkan saudara, mereka tampak cocok seperti sepasang kekasih. Ayana segera memeluk jidatnya sendiri. Menegur pikiran negatif yang tidak lelah menghampirinya.

"Namun, tetap aja mereka bukan saudara kandung. Kalau lama-lama ngerasa nyaman bersama, kayaknya enggak perlu kaget," gumamnya tiba-tiba.

Bita mengernyit melihat tingkah aneh Ayana akhir-akhir ini. Dia menepuk pundak sang sahabat membuat gadis itu menatapnya dengan alis terangkat satu.

"Kamu lagi ada masalah? Soal rumah atau Kenzie? Atau jangan-jangan Tante Mala tau soal kompetisi itu? Dia ngelarang kamu buat ikutan? Kalau iya, aku bisa bantu bujuk dia, Ay. Jangan disimpen sendirian kayak gini. Lihat, nilai kamu jadi korbannya. Kalau Tante Mala sampai tahu, dia bisa makin marah besar."

Ayana nyengir dan menggeleng. "Aku cuma lupa aja soal ulangan harian hari ini makanya enggak sempet belajar. Gak ada masalah, kok dan Mama sama sekali belum tahu soal kompetisi itu."

"Tapi kamu kelihatan kayak lagi banyak masalah, tahu?"

Ayana tersenyum. "Kelihatan banget, ya?"

Bita mengangguk meyakinkan, sementara Ayana kembali menghela napas entah untuk beberapa kali di hari ini.

"Sebenarnya ini soal Kenzie."

"Kenapa?"

Ayana diam sejenak, ragu sekali untuk mengatakannya karena dia sendiri masih belum yakin dengan keputusannya ini. Namun, jika dipikir-pikir ini satu-satunya jalan yang paling tepat untuk dipilih.

"Kayaknya aku mau lupain aja soal perasaanku ke dia," uca Ayana akhirnya.

Bita tampak terkejut. "Kamu serius?"

Ayana mengangguk dengan yakin.

"Aku yakin."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 27 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

InteraksiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang