🍃14 : Am I look happy?

11 5 0
                                    

🕊️🕊️🕊️

"Ternyata, kita memang selalu dituntut sama sekitar. Harus ini, harus itu. Selalu nurutin semua yang orang lain mau. Sampai lupa rasanya nyenengin diri sendiri. Sampai rasa capeknya nggak bisa dibagi lagi"

- Perkumpulan Our Home

🤍🤍🤍

Haidar memasuki rumahnya dengan keadaan sedikit gontai. Sebenarnya, semenjak kejadian pagi tadi ia jadi sangat malas untuk pulang. Namun jika tidak pulang ke sini, harus ke mana lagi ia akan menginjakkan kakinya?

Baru saja memasuki bangunan itu, ia masih dapat mendengar pertengkaran kedua orang tuanya. Nyatanya sampai sekarang mereka juga masih belum memutuskan untuk bercerai. Ntahlah, bisa saja keadaan itu datang esok atau lusa. Haidar sudah tidak peduli lagi. Terserah mereka ingin mencampakkan dirinya ke mana, yang pasti ia benar-benar tidak akan peduli lagi.

Melewati kamar kedua orang tuanya, ia semakin mendengar suara-suara pertengkaran itu dengan sangat jelas. Haidar sudah terlalu eneg untuk mendengar pertengkaran mereka, karena yang selalu menjadi bahan pertengkaran mereka pastilah isu-isu memiliki tambatan hati yang lain dari keduanya.

Sama-sama punya pasangan lain saja bertengkar.

Tanpa mempedulikan keributan di ruangan itu, Haidar kembali meneruskan jalannya untuk segera sampai di kamar miliknya dan mengistirahatkan sejenak dirinya. Ya setidaknya untuk saat ini.

Setelah sampai di kamarnya, tanpa mengganti bajunya terlebih dahulu, Haidar langsung menjatuhkan badannya di atas kasur. Netranya kemudian seolah menerawang langit-langit kamar.

Jujur, Haidar lelah.

Haidar lelah untuk selalu terlihat kuat di depan semua orang. Haidar lelah karena harus menggunakan topeng buatannya setiap saat. Haidar lelah terus memalsukan bahagianya.

Haidar tersenyum kecut, "Hah.. kalau ditanya capek atau enggak, udah pasti jawabannya capek sih." Monolog Haidar dengan pandangan yang tak lepas dari langit-langit kamar miliknya.

"Udah berapa lama ya sejak gue bohingin senyum gini?"

"Pasti udah lama banget intinya..." ucapnya terdengar lirih, kini ia lebih memilih untuk menutup kedua matanya. Karena dirasa bisa saja air matanya turun tanpa seizin dirinya.

"Gue udah kelamaan pura-pura ternyata.. Sampai sekarang, mungkin bahagia gue cuman sebatas kepalsuan,"

"Tuhan... Haidar lelah." kini tak dapat dirinya elak lagi, bahwa memang ia sudah terlalu lelah menghadapi perangai semesta. Jika boleh, Haidar hanya ingin mengakhiri semua ini.

"Kenapa harus Haidar yang nerima ini semua?"

Haidar menggulung lengan seragam panjangnya untuk sekedar melihat karya miliknya terpampang dengan jelas disana. Karya yang sudah sedari dulu ia buat di pergelangan tangannya itu dan kini telah membekas, bahkan masih ada yang terlihat basah di sana.

Haidar tersenyum kecut, selain tangannya yang terluka dan tergores, hatinya juga sama. Hati kecil miliknya yang mungkin jika bisa dilihat sudah banyak luka di sana. Luka yang semakin menganga lebar dan akan terus membekas sampai mati.

Alur sang Semesta || TERBIT ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang