26. Lemon Tea

123 39 2
                                    

Dinding biru. Alunan harmonika yang datang dari jendela terbuka. Angin lembut mengiringi, menyapa wajah Felix yang terduduk di sudut ruang.

Bukan. Ini bukan adegan galau. Felix sedang mengantar Meuti untuk mencari bahan yang ia butuhkan, dan sekarang cowok itu menunggu sementara si gadis mengitari seluruh penjuru toko.

Kenapa bukan Juan yang mengantar? Kemarin, anak itu baru keseleo kakinya, dan entah apa yang dilakukan sampai-sampai efeknya merembet pada kesulitan menyetir. Jadilah Felix tumbalnya. Yah, setidaknya stok pastry sudah aman dan tidak ada janji dengan pelanggan khusus, jadi ia bisa lebih leluasa dalam menunggu Meuti.

Harmonika mengingatkan Felix kepada satu momen di masa sekolah. Waktu itu, Liz sedang suka-sukanya bermain musik. Sahabatnya yang satu itu, kalau sudah menyukai sesuatu, 24 jam sehari pun rasanya tidak cukup. Berhubung Felix dan Liz rumahnya bersebelahan, jadilah kuping Felix selalu mendengar alunan harmonika di pagi dan malam hari.

Masalahnya, ketekunan Liz tidak berbanding lurus dengan kemampuannya.

"Liz, kamu kapan bosannya, sih?" Cowok yang masih cepak rambutnya kala itu berdecak saat mereka berdua pergi ke rumah Am. "Berisik lho harmonikamu itu!"

Yang diprotes hanya terkekeh sebagai jawaban. "Kapan-kapan," tanggapnya asal. Jelas tidak ada niatan berhenti dalam kalimat itu.

Liz dan harmonikanya berkencan selama tiga bulan. Titik baliknya adalah ketika gadis itu mendapat nilai C dalam kesenian musik. Ia mendumel tak henti-henti seraya menyeruput lemon tea dan nasi kotak dari Dapur Ajaib.

"Kurang apa coba aku mainnya?" Felix masih ingat betul muka merengutnya Liz yang menggemaskan kala itu. "Udah latihan tiap hari, juga! Felix tuh saksinya!"

"Iya. Sampai mau pecah gendang telingaku rasanya."

"Felix!" Liz melayangkan buku milik Am ke kepala Felix. Am, yang sejak tadi fokus belajar, melotot karena bukunya berpindah tangan.

"Kalian kenapa, sih?" Manusia dengan tinggi paling pendek di antara ketiganya itu berdecak. "Biasanya juga aku yang ribut sama Felix?"

Telunjuk Liz menuding. "Berarti memang cowok ini biang kerok, Am."

"Hoi!" Felix langsung protes, tentu. Percakapan itu diakhiri derai tawa. Namun, jauh di lubuk hati, Felix tahu kalau Liz masih kecewa. Maka dari itu, lelaki itu membawakan sekotak nasi uduk dari Dapur Ajaib dan segelas lemon tea yang sudah di-request untuk ditambahi bubuk bahagia.

Bungkusan makanan itu diserahkan ketika Liz hendak membuka pagar rumahnya.

"Buat makan malam." Felix mencoba terdengar secuek mungkin, walaupun jantungnya mulai berdebar lebih kencang tanpa diminta.

Alis tipis Liz terangkat. "Si Am nggak dibeliin juga?"

"Am nilai musiknya AB. Yang dapat C kan kamu, Liz."

Liz langsung memicingkan mata. Raut kesal jelas tersurat di wajahnya. "Felix, kamu sendiri juga dapat nilai jelek buat musik. Ngaca, dong."

Tidak salah juga, sih. Felix terbahak. "Ya udah sih. Orang dikasih makanan tuh diterima. Lagian kamu suka makanan dari Dapur Ajaib, kan?"

Gadis itu menghela napas, lantas menyunggingkan senyum. "Kamu selalu peka. Terima kasih banyak, Felix."

Setelah itu, Liz masuk ke rumahnya. Senyuman manis Liz diiringi lambaian tangan muncul dari balik jendela, sebelum tirainya ditutup juga.

Felix jadi ingin melihat senyum itu lagi, tapi mustahil.

"Aku belanjanya kelamaan, ya?" Suara cempreng Meuti mengembalikan Felix pada kenyataan. "Maaf, maaf! Tadi aku keasyikan ngobrol sama tukang daging!"

Lelaki berambut pirang itu menggeleng. "Nggak masalah. Kita pulang sekarang?"

Meuti mengangguk. Mereka berdua kembali ke Kafe Rahasia, tapi pikiran Felix masih tertinggal di masa lalu.

Tema: tulis cerita dengan kata biru-harmonika-jendela. Hrs urut. Min. 500 kata. Sungguh penyiksaan buat aku yang jarang nulis di atas 300 kata buat DWC 😭🙏

Tea Time Stories - Daily Writing Challenge NPC 2024Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang