03. Teh Poci

241 59 18
                                    

Di persimpangan jalan antara jalur rumah Am dan Felix, ada warung kecil yang baru buka. Bukan warung tenar macam Dapur Ajaib memang, tempatnya pun macam stan kecil diberi tenda, tapi teh dan gorengan mereka juara. Apalagi dimakan pas hujan-hujan.

"Gimana kabar hubungan kamu sama Ansel?" Felix bertanya seraya mencomot mendoan dari piring. Sore itu, mereka jalan berdua—pacar Am sedang pulang kampung. "Dilihat-lihat, makin lama kalian kayak kembar aja. Ke mana-mana bareng."

"Rumah hadap-hadapan, tempat kerja sama, apa yang kau harapkan?" Am mendengkus. "Untung pacar. Jadi tidak bosan lihatnya."

Mendengar hal itu, Felix geleng-geleng. Dasar bucin. Meski begitu, bukannya lelaki itu tidak senang melihatnya. Binar di mata Am lebih cerah dan wajahnya makin segar. Pasti efek bahagia. "Kamu udah bisa ngerasain bubuk perasaan sekarang?"

Kali ini si perempuan berambut pendek yang menggeleng. Tampangnya frustrasi. "Apa coba yang salah dari aku? Padahal aku sudah bisa memasak dengan tulus. Hatiku juga sudah tidak sekeras itu. Kenapa masih belum berefek buat aku sendiri?"

Kasus seperti Am itu jarang, tapi bukannya tidak ada sama sekali. Dulu, mereka bertiga—Am, Felix, dan Liz—suka mencari tahu penyebabnya. Akan tetapi, belum ada penelitian dengan hasil yang bisa menjawab dengan pasti. Sampai detik ini, mereka masih meyakini bahwa faktor utamanya adalah hati ....

"Kayaknya nggak cuma karena hati." Felix bertopang dagu. "Mungkin genetik?"

"Orang tuaku itu masih bisa merasakan efeknya, walaupun memang tidak sekuat itu." Am menyesap teh poci yang sudah mulai mendingin. "Tapi, apa korelasi gen dan kemampuan terkait perasaan?"

Lelaki gondrong itu angkat bahu. "Who knows? Aku juru masak, bukan peneliti, Am."

Am tertawa, membuat mata bulan sabitnya tenggelam oleh pipi. Setelah reda, gadis itu meletakkan cangkir. Tatapannya sendu. "Felix, ingat nggak? Dulu kita bertiga pernah mau bikin warung sendiri sebelum akhirnya janjian kerja di Dapur Ajaib."

Tentu saja Felix ingat. Kalau soal Liz, Felix tidak pernah lupa. Janji soal bekerja di Dapur Ajaib sudah terpenuhi, walaupun akhirnya Felix pindah karena suatu hal. Bikin warung sendiri? Itu yang belum. Banyak hal yang perlu dipersiapkan, dan Am—juga Felix—adalah manusia yang sibuk tenggelam seharian dalam pekerjaan mereka sekarang.

Mungkin bisa di masa pensiun? Masih jauh. Lagipula, tidak ada yang bisa memastikan umur seseorang. Liz saja belum kepala dua sudah minggat.

"Felix?"

Si pemilik nama mengerjap. Ternyata ia melamun. Sumpah, anak itu sama sekali tidak sadar! Felix mencomot sebiji mendoan, lagi. Merespons sekenanya, sebab ia belum bisa benar-benar fokus.

Senyuman Liz menari-nari dalam bayangan. Akhir-akhir ini jadi muncul, padahal biasanya sudah tidak sesering itu. Ketika Am menyinggung warung, Felix jadi ingat lagi. Itu rahasia kecilnya: perasaan yang berbeda untuk sang sahabat yang sudah beda alam. Am tidak tahu—atau berlagak tidak tahu? Entah, yang jelas Felix tidak pernah cerita tentang yang satu itu. Toh orangnya sudah tiada. Membuat pernyataan cinta tidak ada gunanya, kan?

Mungkin, Felix harus mewujudkan ide warung itu suatu hari nanti. Demi Liz.

Tema: buatlah cerita dengan tema warung.

Not in a good mood recently, but I'll try my best.

Tea Time Stories - Daily Writing Challenge NPC 2024Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang