#26. Icarus Has Fallen

13 0 0
                                    

Sepanjang hidupku, aku telah terlalu banyak menghitung hingga aku tak tahu akan bermuara ke mana hitunganku. Orang berkata, aku ialah sebaik-baiknya bebas di mata mereka. Namun, bebas yang aku damba bukan semerta bebas raga.

Ragaku benar bebas menapaki mayapada, akan tetapi jiwaku tak berkata sama. Sang sukma terbelenggu sedangkan daksa diinvasi oleh kelu. Aku dipaksa patuh kendati pemberontakan kian membara di relung terdalam kalbu. Mulutku tak pantas menyuarakan perlawanan, kata mereka, tetapi bukankah manusia sekarang dapat bebas bersuara?

Hak bicara kaum kami direnggut paksa. Bagi mereka yang di atas sana, kami tak ubahnya batu lompatan menuju keberhasilan yang seharusnya dapat kami rasakan jua. Namun bilamana mereka sukses menuju atas lewat suara-suara kami yang di bawah, lantas eksistensi kami sirna di kepala mereka.

Pertamanya hanya sekadar melupa, lalu lambat laun bermuara pada mereka menulikan telinga. Pinta kami tak sampai kepadanya yang semestinya menjadi tempat kami mengadu, tak jarang jua nama-nama kami dicari 'tuk dibawa hingga akhirnya tak kunjung pulang menemui keluarga serupa biasa.

Mereka-mereka yang dibawa kini tinggal nama, tak tahu di mana keberadaannya, orang di rumah terus dirundung tanya di mana anak tercinta maupun keluarga mereka berada.

"Tolong, barang tempat kuburan mereka saja pun tidak apa, asal kami tahu di mana keluarga kami berada," ujar Baba yang kala itu berdiri di depan kediaman mereka, berpayung gulita serta air mata semesta yang membasuh habis bentala. Kartu merah dilayangkan bersama barisan kartu kuning di belakang sana, tetap saja, mereka menuli dan melupa.

Kini, Baba telah mati. Aku seorang diri. Keluarga semua telah dihabisi, tinggal aku yang kini tengah meniti menit menuju kata abadi.

"Jangan terlalu jemawa, anak muda, kau tidak akan bisa menggulingkan rezim yang berkuasa, dinasti yang perlahan dibangun atas dasar haus kekuasaan semata." Mereka berkata di dalam bilik minda. Aku kehabisan suara. Tidak ada lagi yang tersisa.

Bilamana aku mendongakkan rupa, lanskap biru terlihat amat menggoda sementara nada harmonika dari Baba lamat-lamat menyapa 'tuk turut memanjakan telinga. Di jendela, nun jauh di sana, pawana membisiki telinga, menyesaki guna banyak kata bahwasanya aku dapat terbang menuju nirwana.

Bebas dari segalanya. Dari apa yang mengikat jiwa. Dari apa yang menyesaki dada. Menuju nirwana, di mana keluargaku semua berada.

Aku hendak meniti tangga bumantara menuju nirwana, tetapi para sejawat yang tersisa tak serta merta memberi izin begitu saja, sebab mereka tak senang apabila aku melarikan diri dari dunia.

Mereka berkata, jika suaraku harus terus menggema di dunia, menghancurkan dinasti yang hendak menjajaki negara. Mengapa aku memilih mati sebelum negara mendapatkan lagi kata demokrasi?

Aku menggeleng serupa tak berminat lagi. "Aku sudah begitu hancur karena mereka. Keluargaku tiada. Sejawat kita perlahan berkurang lalu akan berakhir tanpa sisa jua. Kita akan tinggal nama, dan—"

"Tapi perjuangan kita akan selalu dikenang oleh mereka yang masih hidup, benar, bukan?"

Benar. Mengapa aku melupakan hal yang teramat penting?

Sementara banyak orang yang tak menghendaki apabila kami melawan yang di atas sana, tetapi, aku turut memilih menuli. Aku kian naik melawan mereka, hingga tak lama, aku jatuh di tengah tubuh lautan bersama nyawa yang meninggalkan raga.

Mereka berkata, aku jemawa sebab melawan yang di atas sana, tetapi selama detik-detik akhir menuju nirwana, penyesalan akan apa yang ku lakukan tak pernah terpatri di kepala.

──

Tema hari ini membuat cerita yang mengandung kata biru-harmonika-jendela secara berurutan (minimal 500 kata). Aku gak tau apa yang ku bikin tapi aku nulis apa yang ada di kepalaku ╥﹏╥.

Romantika [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang