#23. Kita Berdansa Di Bawah Ikan yang Melayang-layang

11 2 0
                                    

Dia memutuskan bunuh diri kala pendar jingga terlukis pada cakrawala, bilamana sang surya mengecup ujung-ujung ombak di lautan yang nanti 'kan menuju belahan buana nun jauh di sana. Ia membiarkan laut memeluknya menuju alam baka, mengisi rongga-rongga di dadanya, disambut oleh ikan pari yang melayang di birunya laut bersama ikan julung-julung yang tampak hendak bersejawat dengannya.

Semakin laut mendekap erat tubuhnya, selaras dengan sang surya yang lamat sirna di lanskap angkasa kota, ia mengucap kalimat terakhir sebelum benar-benar bersua akan kematian yang sebentar lagi 'kan tiba.

"Sampai jumpa, aku akan menemuimu lagi."

Kemudian, semuanya diliputi kekosongan. Gulita mendera bersamaan sentuhan dingin yang menyapa telapak tangan. Dingin sekali, sampai aku merasa jika seluruh ragaku menggigil. Tidak lama, mataku terbuka, dan kudapati rasa dingin itu bukan sekadar maya, ini sungguh nyata.

Seiring rasa dingin yang enggan saru—justru kian padu, lamat kudengar secercah bisik yang entah dari mana namun telah menyelisik pada rungu.

"Aku kembali, sesuai janjiku padamu."

Angin berhembus menjelma bagai ia yang membisikkan kata itu padaku, tetapi nyatanya bukan itu, ada entitas lain yang berada di dekatku. Kedua manikku berkelana, menyidik setiap sudut ruang yang berlabuh pada kata sia-sia. Tak memberi jeda, suara itu kembali menyapa telinga, kali ini berisikan barisan kata yang teramat aku kenali siapa yang kerap mengatakannya.

"Kamu mau ikut denganku, kan?"

Aku belum berbicara barang sepatah kata. Di kepala, entah mengapa terasa begitu pelik bilamana hendak meramu kosakata. Malam kian turun 'tuk menuju buta sementara binar dewi malam jatuh dari jendela kamar yang terbuka, di depan sana, deru ombak laut terdengar nyata.

Begitu dekat, serta sangat lekat. Hingga bermuara pada realita jika bahwasanya aku perlahan terlena. Di dada lamat-lamat merebak asa bersamaan dengan beribu duka yang bergulung-gulung menyesaki sukma.

Aku tak memberi izin kepada air mata 'tuk hadir malam ini, sebab mereka berkata jika tidak ada gunanya menangisi diri. Karena itu, aku tak pernah menangis lagi kala ia pergi untuk selamanya, sederhananya, tidak ada tempat untukku menangis di dunia ini selain padanya.

"Kamu sudah terlalu banyak terluka di dunia, biarkan aku membawamu ke tempat dimana kita akan bahagia, bersama-sama, seperti dulu kala."

Seketika, aku terkesima kala kalimat itu mengudara. Aku masih tak kunjung temu bagaimana wujudnya kendati sepasang netra terus memburu ke segala arah. Jejaknya sama sekali tidak ada, akan tetapi suaranya justru setia menetap seakan enggan sirna.

Berselang beberapa menit, aku akhirnya mengangkat bicara, "... ke mana?"

Suara tanpa raga itu menjawab pelan, "Ke tempat aku bunuh diri."

Hening mendera lagi, aku sejenak menahan diri agar tak mengutarakan isi hati sebelum bilik minda merangkai kalimat yang benar-benar sesuai. Runguku mendengar suara lain di luar sana; barang pecah, teriakan yang tumpah ruah berisikan sumpah serapah, bermuara pada tidak ada yang saling mengalah.

Aku lelah, menyerah, lalu akhirnya pasrah.

"Tolong, bawa aku pergi dari sini."

Selepas kalimat itu lepas di udara menuju kepadanya yang berupa maya, langkahku segera meninggalkan kamar yang mengarahkan tuju kepada lautan di depan sana. Seraya melompati jendela, kakiku lantas digerayangi bulir-bulir pasir yang begitu erat memeluk jemari. Rasanya menyenangkan, juga mendebarkan.

Aku berlari meninggalkan apa yang selama ini tak pantas disebut rumah, sebab di sana aku tak kunjung temu apa makna bahagia yang acapkali manusia utarakan.

Bahagiaku adalah dirinya, tetapi ia sudah tiada. Jalan satu-satunya 'tuk bersamanya ialah turut jua tiada, atau mengakhiri nyawa.

Tiba di bibir pantai, hawa dingin yang berkelindan di jemari perlahan muncul entitas yang sedari tadi hanyalah imaji. Kian detik sosoknya kian padu hingga solid serupa manusia pada umumnya. Rupa itu, aku sungguh mengenalnya, itu benar-benar dirinya.

"Ayo kita pergi sekarang."

Ia menuntunku menuju lautan, berpeluk dengan dinginnya tubuh laut sementara jemari kami senantiasa bertautan. Aku tak keberatan kendati air perlahan mengisi ragaku, para ikan jua menyambutku, bahagia yang kucari kini telah mencapai titik temu.

Sebelum bahagia sesungguhnya menyapa, hal terakhir yang kedua mataku lihat ialah birunya laut tak ubahnya angkasa raya, kami berdua berdansa, di bawah ikan yang kini melayang-layang di atasnya.

──

Tema kali ini dapat dark (lagi): buatlah cerita yang diawali dengan kalimat terakhir cerita ke-5, punyaku isinya 'dia memutuskan bunuh diri' jadi sempat ngebatin 'ah bkin dark mulu' tapi tetep ditulis, dan aku suka hasilnya....

Romantika [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang