#11. Kelahiran

16 2 0
                                    

Ibu bercerita apabila aku lahir setelah daratan tempat tinggalku disambut oleh ombak yang bergulung-gulung dari arah barat, nun jauh di ujung sana. Sang surya hari itu sebagai saksi bisu, tidak tertidur atau pula dipeluk oleh para mega mendung.

Saat itu, aroma laut masih dapat Ibu hidu. Angin hangat meniti tepi pantai yang serupa hendak mengajak bulir pasir 'tuk terbang bersama, tapi apa mau dikata, pasir lebih senang mengerumuni kaki manusia.

Ibu berkata, apabila pagi itu semuanya tampak baik-baik saja. Warga yang tinggal di pesisir masih beraktivitas seperti biasa, Ibu yang kala itu mengandung diriku memilih bersemuka dengan pantai dari beranda, tidak berani ke sana, sebab Nenek sudah mewanti-wanti sedari lama: jangan jalan-jalan dulu, Nak, inget kata Dokter, anakmu sebentar lagi lahir.

Ibu mengatakan jika aku seharusnya lahir seminggu lebih lama daripada waktu itu, akan tetapi kurasa Allah berkehendak lain.

Menjelang siang, kini penguasa cakrawala sukses berada di atas kepala. Waktu itu Kakek baru tiba di rumah selepas dari laut, sementara Bapak menyusul beberapa menit kemudian seraya membawa ikan di tangannya.

Ibu menjeda ceritanya sembari menyesap teh hangat yang masih mengepulkan asap yang lamat saru tertelan udara, kemudian Ibu bersuara tetapi bukan melanjutkan cerita, dengan netra mematri ke arah salah satu pigura.

"Dulu Ibu sangat suka makan ikan, Nak, apalagi ikan bawal buatan Nenek, tapi sekarang tidak lagi."

Aku bertanya, mengapa? Akhirnya cerita mengalir lagi dari mulut Ibu, yang disana merahimkan rasa kelu berikut sendu.

Bapak membawa ikan dari pasar, ikan bawal, kesukaan Ibu yang telah lama Ibu ngidam ingin memakannya, akan tetapi baru kesampaian sekarang sebelum aku lahir ke dunia.

Nenek sudah berkeras bahwa Bapak tidak perlu repot-repot membeli, tetapi, khas Bapak yang acapkali Ibu ceritakan padaku setiap hari, Bapak itu keinginannya keras layaknya karang di pesisir Semenanjung Jiri-semenanjung yang tidak jauh dari tempat kami huni kini.

Bapak berkata, jika ia tidak ingin anak pertamanya-terlebih anak perempuan yang telah lama Bapak impikan sedari lama-ileran saat ia menatap dunia, hal itu juga ditambah Bapak mencintai Ibu, jadi Bapak membelikan apa saja yang Ibu mau.

Namun, belum sempat ikan itu diolah oleh Ibu, Bapak serta Kakek yang baru tiba segera dapat membaca perubahan laut. Sebagai seseorang yang lahir dan hidup dari tubuh lautan, Bapak dan Kakek menyadari jika akan ada sesuatu yang sebentar lagi 'kan menuju daratan.

Burung-burung dari arah laut terbang tercerai-berai, lebih banyak menghindari laut, sedang menurut saudara Ibu yang kala itu tengah berada di bibir pantai melihat air tiba-tiba menjorok ke arah tengah laut.

Saat itulah semua orang di pantai melarikan diri, menuju tempat tinggi, tak terkecuali Ibu yang berada di rumah bersama sisa keluarga yang lain.

Mereka semua berlarian di tubuh semesta, bahagia yang sempat mereka cecap kini sirna tanpa sisa, banyak asa menggerayangi dada, bersuara yang mereka pinta hanyalah ingin selamat bersama sanak keluarga.

Banyak kumandang 'Allahuakbar' mengudara, serupa hendak menyampaikan kepada Allah SWT di atas sana jika mereka ingin selamat kali ini saja. Tidak banyak pula suara tangis yang terekam oleh telinga, teramat menyesakkan dada.

Ibu berhenti bercerita sebab tangisannya pecah begitu saja, air mata tak dapat is bendung hingga semua rasa sesak itu pecah. Ibu menangis di depanku, aku segera memberi peluk, barangkali dapat menenangkan Ibu.

Sayup-sayup terdengar suara laut dari arah luar, tirai malam telah turun beberapa menit lalu bersama asin laut yang serta-merta menguar. Kami berdua tinggal di rumah yang konon tanah ini dulu adalah tempat rumah Ibu dan Bapak, tetapi hanya ada kami berdua, Bapak tidak ada.

"Di kejadian itu, Nenek dan Kakek hilang, mereka tidak ditemukan walau sekeras apa pun Ibu mencarinya. Sementara Bapak ...," Ibu berusaha mati-matian menahan isakannya. "..., Bapak mengorbankan dirinya untuk kita berdua, Nak. Bapak memeluk Ibu, melindungi kamu yang masih di perut Ibu dan Ibu dengan tubuhnya, katanya biar Ibu tidak terkena benda tajam. Tapi sayangnya, itu yang membuat Bapak meninggal.

"Bapak meninggal kehabisan darah. Tidak ada yang menolong kami waktu itu meskipun Ibu berteriak. Dalam menit-menit menuju kematian, Bapak terus menenangkan Ibu, berkata bahwa ini sudah takdir dari Allah, tidak ada manusia yang bisa melawan takdir dari-Nya," ujar Ibu panjang, air matanya setia mengaliri di kedua pipi.

"Bapak juga menitip nama buat kamu ke Ibu sambil ngomong 'Titip putri cantik kita ya, Bu, maaf Bapak ndak bisa nemenin Ibu selamanya. Bapak sayang sekali sama kalian berdua'."

Saat itulah, air mataku yang sedari tadi menggenangi netra seketika luruh. Bapak sangat mencintaiku, begitu pula cintanya kepada Ibu.

Bapak jua menitipkan namaku lewat Ibu, di kala air laut memeluk mereka di tengah kemelut. Namaku Damai Laut, yang bila Ibu maknai adalah harapan agar laut senantiasa damai, tidak menelan korban lagi.

Hari ini, aku berulang tahun ke-dua puluh. Dan di hari ini pula, aku kehilangan keluargaku, selain Ibu.

──

Tema hari ini pakai setting pasca tsunami, lagi-lagi bingung nulisnya gimana dbwkbdkabd dan ini ditulis sks (sistem kebut sejam) + gak berniat dibikin sedih, tapi kenapa tetep sedih? Nggak tau 😔

Romantika [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang