Bab 3. Sebuah Kegagalan

3.3K 257 14
                                    

Fira menggeleng. "Belum," katanya dengan nada pelan. Bagaimana Elvi tidak mengatakan mamanya Fira adalah toksik, dia kerap meminta Fira memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan sejumlah uang yang terkadang tidak masuk akal, bahkan Fira dibebankan setiap bulan biaya sehari-harinya serta biaya sekolah Fahri, adiknya.

"Saranku, jangan dikasih tahu dulu, kalo sudah magang selama satu bulan dan kamu terima uang gaji pertama, baru bebas kamu kasih tahu," usul Elvi dan tampaknya Fira setuju.

***

Fira bangun pagi hari ini dan memulai hari pertama magang dengan hati riang. Dia sudah cantik dengan pakaiannya, celana panjang cokelat gelap dan kemeja putih polos. Sesekali dia memastikan penampilannya di depan kaca cermin.

"Ya, sudah cocok jadi pegawai di SCBD dengan gaji dua kali lipat UMR deh. Nggak lama lagi kopi starbu*k setiap hari sampe mabok, tetap gaya selangit meski baru dua bulan kerja," sindir Elvi.

"Haha, nggaklah. Ngapain juga gaya-gaya kalo nggak sesuai kantong," tanggap Fira santai.

"Bilangnya di awal begitu, ntar kalo sudah kelelep sama gaya hidup ... udah deh, bye bye Elviii, bye bye Rubiii. Kalo bye bye Arman sih nggak apa-apa, aku dukung seribu persen."

Lagi-lagi Elvi menyinggung Arman.

Tidak lama kemudian, ponsel Fira berbunyi, ternyata Arman yang menghubunginya.

"Ah, orang toksik selalu panjang umurnya, baru juga disebut-sebut—"

"Aku pergi dulu ya, Elvi. Doakan aku."

"Iya, dong. Selalu terbaik buat Fira cantik."

Fira pergi dari kamar kosnya dengan hati berbunga-bunga. Baginya, tidak masalah orang-orang menyebutnya bodoh berhubungan dengan Arman, dia yang merasakan begitu nyaman berdekatan dengan Arman, dan dia yang tahu cintanya yang amat dalam terhadap Arman.

Ternyata Arman mengantarnya dengan mobil. Fira tahu bahwa mobil yang dibawa Arman adalah mobil milik ayahnya yang bekerja di kantor pemerintahan propinsi DKI Jakarta. Dan perjalanan menuju gedung perusahaan Elmer Group pun terasa sangat menyenangkan.

"Kamu cantik sekali hari ini."

Ah, sudah dua orang yang memuji Fira di awal pagi ini, Elvi dan kini sang kekasih yang menatapnya dengan mata penuh rayuan. Fira memang cantik, apalagi semangatnya yang menyebabkan siapa saja yang melihatnya akan memujinya. Dia gadis yang pantang menyerah, dan realistis, kecuali soal Arman.

"Makasih, Arman. Kamu memang selalu yang terbaik."

"Aku akan selalu ada untuk kamu, Fira."

Mendengar kata-kata sayang dari orang yang dicinta memang memabukkan, tidak terkecuali Fira.

"Aku antar sampai di sini saja, nggak apa-apa kamu jalan sedikit ya?" ujar Arman dengan nada membujuk. Gedung kantor Elmer Group berjarak sekitar lima puluh meter dari posisi mobilnya, tapi di jalan raya begitu padat, dan Arman sepertinya tidak mau repot jauh-jauh memutar mobil , sementara dia harus berbalik arah menuju pulang sekarang.

Fira mengangguk mengerti. Setelah berciuman bibir, dia turun dari mobil.

"Hati-hati, Fira Sayang," ucap Arman sambil siap-siap memutar setir.

"Iya, Arman. Kamu juga hati-hati!" balas Fira dengan lambaian tangannya. Lalu dia berjalan menuju gedung kantor dengan langkah tegap.

Tak lama mobil Arman hilang dari pandangannya, Fira tiba-tiba saja melihat pemandangan yang kurang mengenakkan di depan. Sebuah mobil mewah berhenti mendadak tepat di depan seorang ibu tua yang sedang berjalan dan sang sopir menghardiknya dengan kata-kata kurang mengenakkan, juga membentaknya.

Fira mempercepat langkahnya menuju mobil dan menghampiri sopir yang berkata kasar kepada si ibu tua.

"Heh! Mata tarok di mana?! Yang sabar jadi orang! Mikir pakai otak! Ini orang tua! Jangan congkak jadi orang! Mentang-mentang punya mobil!" sembur Fira sambil menendang ban mobil dengan perasaan kesal.

"Bukan urusanmu!" balas si sopir dengan tatapan bengisnya.

Fira diam tidak membalas, dia membimbing ibu tua itu ke tepi jalan, dan ibu itu tidak lupa berucap terima kasih setelah perasaannya tenang.

Fira menyesalkan tindakan orang itu yang semena-mena terhadap orang tua yang lemah. Menurutnya tidaklah salah menunggu beberapa detik membiarkan ibu itu melewati gerbang gedung, karena ibu itu juga sudah lebih dulu berada di tengah gerbang dan akan melewatinya. Tapi karena langkahnya lambat, membuat si sopir congkak itu tidak sabaran.

Fira melupakan kejadian tadi dan memasuki gedung kantor Elmer Group dengan langkah mantap.

Ada enam calon peserta magang, termasuk Fira, yang akan mengikuti induksi pagi ini. Semuanya adalah mahasiswa dari kampus yang sama dengan Fira, tapi dari Fakultas dan jurusan yang berbeda-beda. Tentu Fira baru saja mengenal mereka, bahkan di antara mereka ada yang sudah semester jauh di atas Fira.

"Kalian adalah peserta yang beruntung. Ada seratus lima puluh satu pelamar yang mendaftar. Setelah kami melakukan seleksi ketat, maka kalianlah yang terpilih." Nia, sang sekretaris menjelaskan dengan wajah tegas dan senang, karena melihat penampilan calon peserta magang yang sangat rapi dan siap mengikuti induksi pagi ini.

"Ini adalah Pak Johnson, yang akan memandu kalian. Silakan, Pak Johnson."

Nia mundur dari rombongan dan membiarkan Johnson memandu para peserta untuk melihat-lihat keadaan kantor dan ruang kerja mereka masing-masing.

Bukan main Fira senang dengan keadaan kantor Elmer Group yang sangat nyaman dan sejuk, dengan fasilitas standar internasional. Dia melihat beberapa pegawai ekspatriat yang serius bekerja di depan komputer dan mereka terlihat sangat serius dalam bekerja. Rasanya Fira ingin memulai magangnya saat ini juga.

Namun, perasaan Fira mendadak tidak semangat saat Johnson memperkenalkan pimpinan Elmer Group yang kebetulan melewati mereka.

"Kalian sangat beruntung hari ini, karena Pak Edwin hadir di tengah-tengah kita, beliau ini adalah pimpinan tertinggi Elmer Group," ujar Johnson penuh semangat.

Semua peserta memandang perawakan pria berdarah campuran itu penuh rasa kagum. Bagaimana tidak, Edwin memiliki pesona dengan kesempurnaan fisik. Tubuhnya indah seindah wajahnya, pun kulit tubuhnya yang putih bersih. Para peserta magang dengan semangat menyalaminya. Hanya satu yang tidak semangat, Fira. Gadis itu lemah saat ditatap tajam Edwin, tatapan disertai dendam. Karena dia adalah pria yang membentak seorang ibu tua dan Fira yang telah melabraknya dengan penuh amarah.

Benar saja apa yang dikhawatirkan Fira saat ditatap tajam dan sinis oleh Edwin. Setelah acara induksi usai, tiba-tiba Nia datang mendekatinya.

"Fira Cahya Amanda?"

"Iya. Saya, Bu."

Nia menghela napas sejenak, wajahnya tampak sedih. "Maaf, Fira. Kamu ditolak."

Fira mengangguk lemah. Dia menyadari konsekuensi sikapnya. Meskipun dia berpikir bahwa tindakannya benar sekalipun, tidak akan mengubah nasibnya hari ini.

"Baik, Bu." Fira lalu melangkah gontai menuju lobi kantor.

Entah kenapa Nia merasa iba melihat punggung gadis itu. Dia sudah berdandan cantik hari ini dan tentu saja sudah mengharapkan bisa magang seperti peserta lainnya.

Nia lalu kembali masuk ke dalam kantor dan berpaspasan dengan Johnson.

"Kenapa Pak Edwin menolaknya? Bukannya gadis itu memiliki nilai terbaik?"tanya Johnson terheran-heran.

"Aku juga nggak tau alasannya. Pak Edwin hanya bilang bahwa jumlah peserta magang kembali ke peraturan awal, lima dan bukan enam. Itu saja. Dan memang kemarin itu nama Fira adalah yang terakhir disebutkan."

Johnson menggeleng tidak berdaya. "Dia peserta yang paling cepat mengerti dan tanggap. Sayang sekali," sesalnya.

Bersambung

Orang KetigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang