Bab 179. Pillow Talk

881 138 6
                                    

Keputusan Rina untuk lebih santai saat bekerja membuat Dani merasa lebih tenang. Rina tidak mengambil jatah lembur seperti biasa, dan pulang tepat waktu. Karena jarak apartemen menuju kantor sangat dekat, Dani juga tidak perlu khawatir. Lagi pula dia dan Rina selalu bersama. Awalnya Dani ingin Rina beristirahat saja di rumah dan tidak perlu bekerja lima hari seminggu. Tapi tampaknya Rina tidak senang dengan saran tersebut. Tidak ingin mental Rina terganggu dan ingin Rina tetap bahagia di masa kehamilannya, Dani akhirnya tetap membiarkan Rina bekerja, dengan catatan tidak terlalu memporsir tenaga dan tidak mengambil lembur. Rina setuju dan dia semangat menjalani keseharian.

Karena Dani lembur di kantornya, dia pulang agak larut malam ini. Dia mendapatkan Rina yang sedang rebah dan asyik menonton televisi di kamar.

"Yah, nggak dicium," rengek Rina karena Dani langsung masuk ke dalam kamar mandi tanpa mau mendekatinya.

"Bau ah. Banyak kuman!" seru Dani yang sudah berada di dalam kamar mandi.

Rina tersenyum kecil dan melanjutkan film seri kesukaannya.

Beberapa menit kemudian, Dani sudah mandi dan segar juga sudah berpakaian tidur. Dia langsung mendekati Rina, memeluknya dan mencium wajahnya bertubi-tubi.

"Dani ih. Mentang-mentang sudah mandi."

Dani mengecup-ngecup perut Rina, kemudian rebah di samping Rina.

"Sibuk banget, Dani?"

"Iya, sampe lembur."

Rina berhenti menyaksikan filmnya.

"Kok. Lanjut aja sih."

"Gampang, nanti tinggal ulang dari awal." Rina menyampingkan tubuhnya menghadap Dani.

"Tadi mama telepon aku, dia bilang baju seragam sudah siap. Besok akan dikirim."

"Wah, mama jadi pengantin baru. Haha, seru pasti."

"Iya dong. Apalagi ini pernikahan besar, Sirojuddin lo. Nggak main-main. Kata mama pernikahannya sekarang jauh lebih mewah dari pernikahannya sama papa dulu. Ya, hampir sama dengan pernikahan kita."

Rina tersenyum kecil, "Buah kesabaran mama dan kebaikan hati kamu, Dani."

"Ya, aku yakin kesabaran itu pasti ada hasilnya, tapi bukan berarti kita harus berharap dengan itu."

Rina mengangguk mengerti.

"Anyway, Om Akmal itu low profile banget ya, Dan. Penampilannya biasa aja, tapi ternyata keluarganya hebat-hebat, pemilik Sirojuddin dan juga dekat dengan Kashawn. Eh, ternyata deket juga dengan Elmer."

"Mereka ini perusahaan tua, Rin. Wajar kalo dekat dan saling kenal, karena beberapa kali terlibat dalam kerjasama sedari dulu. Mitra bisnis yang terpercaya itu memang harus dijaga."

Rina manggut-manggut. Tapi sejurus kemudian dia tertawa.

"Kenapa ketawa?" tanya Dani.

Rina menggeleng tersenyum. "Aku teringat masa-masa magang dulu, Dan. Kita-kita yang masih lugu dalam dunia kerja di perusahaan. Lalu kita yang akrab dengan Fira, padahal di kampus aku malah nggak kenal sama dia."

"Aku juga begitu, Rin. Kenal Fira dari sini dan dia gadis yang baik."

"Kita dekat karena Fira. Kita menikah juga ... karena dia."

"Bukan karena dia, Rin. Karena kita memang jodoh. Kamu ingat si Saski yang cemburuan. Dia cemburu banget sama kamu."

"Ah, apa kabar dia, Dani?"

"Mana aku tahu."

"Kamu nggak ngundang dia pas kita menikah."

"Buat apa?"

Rina tertawa renyah sambil memegang perutnya.

"Hm ... soal Fira." Rina menatap wajah Dani dengan seksama. "Kamu dulu hampir mau menikah dengannya, apa kamu mencintainya, Dani?"

"Eh? Kenapa baru tanya sekarang? Apakah karena kamu hamil?"

Rina tersenyum kecut, dan dia menggeleng lemah.

"Kamu cemburu? Orang dia sudah menikah dan punya anak, dia cinta pak Edwin," ujar Dani.

Rina masih cemberut, dan Dani tentu tidak nyaman melihatnya.

"Hei, aduh, Rin. Masa lalu kok diungkit-ungkit."

"Aku cuma tanya, Dani. Kamu tinggal jawab."

Tentu saja berat bagi Dani untuk menanggapi pertanyaan Rina yang konyol.

"Aku memang menyukainya, dan kamu tahu itu, 'kan? Soal cinta ... ck, namanya hati itu berubah-ubah, Rin. Kayak aku dulu cinta sama Saski, lalu aku yang mungkin sayang dan cinta Fira, sampai aku mau menikahinya meskipun dia hamil anak pak Edwin. Lalu ... aku ... yang cinta kamu." Dani tertegun melihat wajah sendu Rina saat dia menanggapi pertanyaan Rina dengan jawaban panjang lebar. "Mungkin aku sudah mencintaimu dari dulu, Rin. Aku saja yang nggak menyadarinya," ujarnya pelan sambil mengusap pipi Rina.

Rina tersenyum dan perasaannya hangat. Dani memang sangat pandai membujuknya dengan kata-kata mesranya.

"Masih cemburu?" tanya Dani.

Rina menggeleng. "Buat apa cemburu, kamu suamiku dan kamu selalu mendengar aku."

Dani menghela napas lega, senang Rina yang kembali ceria.

"Mama nggak undang mantan suaminya?" tanya Rina tiba-tiba, dan sepertinya dia masih ingin membahas soal mantan.

"Buat apa diundang? Lia minta goban saja keberatan. Kita nikah saja dia nggak mau tahu. Masih ingat alasan dia waktu itu, 'kan? Katanya si Kevin sakit perut dan harus ke dokter. Itu artinya dia sudah nggak peduli sama keluarga kita lagi."

Rina melihat perubahan di wajah Dani saat membahas papanya, terlihat geram dan penuh sesal. "Maaf, Dani," ucapnya.

"Nggak apa-apa, Rin. Namanya juga hidup, pasti ada masalah, dan aku senang dengan pengertian kamu terhadap keluargaku." Dani mengusap-usap rambut Rina penuh kasih. "Oiya, aku lupa mama juga nanyain kamu. Dia ngomel karena kamu tetap bekerja. Aku bilang kamu nggak kerja kayak dulu lagi dan lebih banyak beristirahat di apartemen. Terus dia sarankan kita datang pas acara inti dan segera pulang saja. Dia khawatir keadaan kamu."

Rina mengangguk tersenyum.

Dani melirik jam digital di nakas samping tempat tidur. "Astaga, jam dua belas. Kamu tidur gih. Ikut begadang lagi."

Rina merengek manja dan memeluk Dani erat-erat. Perasaannya begitu tenang bersama Dani, yang selalu mau mendengar celotehannya.

***

Akhirnya Fira mengabarkan kehamilannya yang kedua ke papanya. Tentu saja keluarga di Merauke senang mendengar kabar bahagia ini, terutama Frans yang wajahnya tidak berhenti senyum. Namun, ada hal yang membuat pikiran Fira terbebani. Rosita, mama sambungnya, menyarankannya untuk tidak menyusui Liam, karena dirinya yang sedang mengandung, khawatir menganggu kehamilan dan dia yang pasti akan kelelahan. Menurut Rosita, sebaiknya Liam disapih lebih awal. Lagipula Liam sudah mendapat asi eksklusif dan Fira tidak perlu mengkhawatirkan tumbuh kembangnya di masa depan.

"Tapi dokter bilang nggak apa-apa, Ed. Selagi aku baik-baik saja."

"Ya, tetap saja saran mama diperhatikan, Sayang. Aku justru cenderung sependapat dengan mamamu. Kamu sedang hamil dan pasti kelelahan jika harus menyusui Liam, kamu juga tidak bisa lepas dari merawat dan mengasuh Liam, meskipun sudah ada Kim yang mengasuhnya. Mama Rosita tentu lebih paham, karena dia sudah mengalaminya, Nabila dan Aqila yang berjarak satu tahun, persis sama dengan Liam dan calon adiknya."

Fira terdiam, berpikir cukup lama. "Pasti Liam rewel," gumamnya.

"Ya, itu memang fase yang dia lalui. Kadang kita harus tega jika itu jalan yang terbaik."

Fira hela napas pendek, "Sepertinya aku akan ikut saran mama."

Edwin tersenyum lebar, senang Fira mau mendengar saran mama Rosita, juga pendapatnya. "Aku akan membantu kamu soal Liam. Kita harus bekerja sama," ujarnya pelan, menggenggam tangan Fira dan menciumnya.

Bersambung

Orang KetigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang