1. PROLOG

8.6K 343 15
                                    

Suasana pemakaman ayahnya diiringi hujan deras, membuat Edwin dan beberapa orang harus berlarian untuk berteduh di dekat bangunan kecil di sisi pemakaman. Hujan turun secara tiba-tiba sehingga tidak ada persiapan untuk berteduh tepat di dekat makam. Untungnya, pemakaman sudah selesai dan doa juga sudah dipanjatkan.

Edwin mencari-cari Imelda saat menuju bangunan, tapi dia tidak menemukannya. Padahal Imelda juga ikut bersamanya.

"Pak Ed. Ibu ada di dalam ruangan," lapor Muja, salah satu staff kepercayaan Edwin.

Edwin langsung mengikuti langkah Muja menuju tempat di mana Muja menemukan Imelda, yang ternyata berada di dalam sebuah ruangan.

"Imelda!" Mata Edwin terbelalak melihat istrinya sedang menangis di dalam pelukan pria yang dikenalnya.

Imelda menoleh. "Edwin. Maaf, bukan maksudku—"

Pria yang memeluk Imelda cepat-cepat kabur dari ruangan, dan Edwin tampak mencegah Muja untuk mengejar pria itu.

"Kenapa? Kenapa sekarang? Aku sedang berduka, Imelda."

"Maaf, aku ... aku—"

"Apa yang kamu lakukan? Kamu masih bertemu dengannya?"

"Damar hanya ingin bertemu karena ... karena ... dia akan pergi ke Belanda siang ini."

Edwin berdecak sebal, menatap sesal wajah Imelda.

"Jadi, ck ... kamu masih bertemu Damar?"

"Ini pertemuan terakhir, Edwin. Aku mohon pengertianmu."

Edwin menghela napas berat, menyayangkan sikap istrinya yang sangat keterlaluan, bertemu dengan mantan kekasihnya di saat dirinya sedang berduka. Dan ini kesekian kalinya pula Imelda meminta maaf dan kesempatan untuk memperbaiki diri.

"Edwin, maafkan aku. Ini adalah terakhir, nggak akan ada lagi pertemuan aku dan dia, dia hanya ingin bertemu aku—"

"Pulanglah."

Tidak ingin suasana kacau atau orang-orang bertanya-tanya, Edwin akhirnya memaafkan Imelda. Dia merangkul Imelda dan kembali berjalan ke laur bangunan karena hujan pun sudah reda.

***

Sejak Elmer meninggal, pekerjaan di perusahaan dilimpahkan ke Edwin. Bukannya relaks, Edwin malah disibukkan dengan segudang pekerjaan dan proyek yang belum diselesaikan ayahnya semasa hidup, membuatnya selalu telat pulang ke rumah.

"Ini daftar nama-nama peserta magang tahun ini, Pak." Nia, sekretaris utama Edwin menyerahkan selembar dokumen di atas meja kerja Edwin.

"Masalah ini jangan saya lagi yang urus, suruh Kresno yang mengurusnya."

Nia menarik kembali dokumen dari meja kerja Edwin, mendekapkan di dadanya, menunduk hormat ke arah Edwin, lalu berbalik ke pintu kantor.

"Nia!" panggil Edwin tiba-tiba.

Nia berbalik. "Ya, Pak?"

"Apa soal internship saya juga yang terlibat?"

Nia mendengus kesal dalam hati, "Iya, tentu saja. Ini perusahaan Bapak dan Bapak bebas memutuskan."

"Bagaimana dengan almarhum ayah saya?"

"Ya, dia juga memperhatikan nama-nama tersebut dan melihat latar belakang pendidikan mereka apakah sesuai yang dibutuhkan perusahaan atau tidak."

Edwin berpikir sejenak setelah Nia menjelaskan. Dia mengulurkan tangannya agar Nia memberinya dokumen peserta magang kembali. Pantas saja banyak proyek perusahaan yang terbengkalai saat dipimpin ayahnya, hal-hal kecil seperti ini harus ayahnya yang mengurus, seharusnya diserahkan kepada bawahan.

Edwin melihat nama-nama mahasiswa serta jurusan kuliah mereka dengan cepat.

"Ini ini ini dan ini. Kita butuh berapa peserta magang tahun ini, Nia?"

"Lima, Pak."

"Ya, tambah satu yang ini." Edwin menunjuk sebuah nama Fira Cahya Amanda, karena dia tertarik dengan jurusan kuliahnya.

"Jadi enam, Pak?"

"Ya."

***

Fira mendengus kesal saat dihubungi mamanya, yang menyuruhnya mengirim uang sekolah adiknya di Magelang. Sementara dia tidak punya cukup uang. Ingin menagih hutang ke Arman, pacarnya, dia tidak enak hati.

"Kamu nagih?"

"Iya, Arman, aku lagi butuh banget."

"Bukannya aku sudah bilang kalo aku akan mengembalikannya minggu depan."

"Tapi aku benar-benar perlu sekarang."

"Kamu sih nggak bisa kelola uang. Bagaimana nanti kalo berumah tangga."

Fira menghela napas pendek, ada kesal dirasakannya juga perasaan khawatir Arman akan ngambek dan tidak mau lagi bertemu dengannya.

"Kamu coba pinjam sama teman kamu deh. Aku nggak bisa kembaliin uang kamu. Memang buat apa sih?"

"Uang spp adikku."

"Sekolah swasta? Gaya banget, kenapa nggak di negeri saja, 'kan nggak ada pungutan bulanan."

Fira menggigit bibirnya dengan perasaan kesal. Padahal sebelumnya Arman sudah tahu adiknya sekolah di sekolah swasta dan harus membayar uang bulanan.

"Iya, Arman. Nggak apa-apa kalo kamu nggak bisa, aku cari pinjaman ke teman kosku."

"Nah gitu dong. Aku kirim sekarang seperempatnya, buat tambah-tambah."

"Oke."

Fira mematikan ponselnya dengan perasaan gamang. Dia sudah menjalin asmara dengan Arman, teman sekelasnya, sejak awal kuliah. Arman memang kerap berhutang dengannya dan tetap mengembalikan. Tapi waktu mengembalikan selalu telat dan juga kurang dari jumlah yang dihutang. Fira terkadang jengkel, tapi saat Arman bersikap manis, dia berubah sayang.

Di tengah perasaan gamangnya, Fira tersenyum senang. Sebuah notif email yang ditunggu-tunggu muncul juga. Dia diterima untuk magang enam bulan di sebuah perusahaan ternama di bidang keuangan. Perusahaan tersebut memberikan gaji lumayan di tiap bulan, lebih besar dari gajinya sebagai pegawai supermarket di dekat kosnya. Hampir saja dia ingin memberitahu Arman tentang kabar bahagia ini, tapi entah kenapa dia menundanya, dan memutuskan untuk memberi tahu Arman saat jumpa di kampus.

Bersambung

Orang KetigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang