Bab 15. Masalah Baru

1.1K 135 3
                                    

Fira yang terkejut cepat-cepat meletakkan foto-foto yang baru saja dia bersihkan dan rapikan. Untungnya dia sudah menyelesaikan tugasnya membersihkan ruang kerja Edwin. Dan lemari itu adalah bagian terakhir yang di bersihkan.

"Siapa kamu?" tanya wanita cantik, tubuhnya langsing dan mungil. Matanya berkilat-kilat melihat sekujur tubuh Fira yang berdiri di sisi lemari.

Dengan cepat pula Fira menebak bahwa wanita yang di hadapannya adalah Imelda, karena dia barusan melihat foto Edwin dengan gadis kecil yang wajah serta perawakannya sangat mirip dengan wanita itu.

"Sa ... sa ... saya—"

"Bu Imelda!"

Fira merasa sangat beruntung, Nia tiba-tiba datang tergesa-gesa ke dalam kantor Edwin. Fira yakin pasti Nia akan menjelaskan keberadaannya di ruang kerja Edwin.

"Nia. Aku mencarimu di ruang kerjamu, tapi kamu tidak ada."

"Maaf, Bu. Saya sedang di ruang Johnson."

Nia lalu mendekati Imelda dengan sikap hormat, sekilas melirik Fira yang takut dan bingung.

"Siapa dia?" tanya Imelda dengan wajah tidak suka ke arah Fira.

"Oh." Nia buru-buru mendekati Fira. "Ini Fira, Bu. Asisten saya dan saya memang menugaskannya untuk merapikan dan membersihkan ruang kerja pak Edwin," jelas Nia.

Imelda mengernyitkan dahinya. "Bukannya itu tugas Meli ... petugas kebersihan?"

"Fira saya tugaskan untuk merapikan dokumen-dokumen penting perusahaan, yang tentu Meli tidak mengerti."

Imelda melirik Nia dan Fira sekilas, lalu berjalan menuju meja kerja Edwin dan membuka lacinya. "Aku ingin menemuimu, Nia. Ada yang ingin aku bicarakan—"

"Soal izin pameran, Bu? Pak Edwin sudah memberitahu saya soal itu dan sudah saya ajukan ke panitia pelaksana pameran. Sebentar lagi surat izin itu akan Ibu dapatkan."

Imelda sudah mendapatkan barang yang dia inginkan, sebuah jam pintar, lalu memasukkannya ke dalam tas kecil mahalnya.

"Baiklah," gumam Imelda. Lagi-lagi dia melirik Fira sekilas sebelum ke luar dari ruang kerja suaminya.

"Kamu sudah selesai, Fira?" tanya Nia ke Fira yang masih tampak takut.

"Iya, Bu."

Nia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruang kerja Edwin dan tersenyum puas.

"Tinggal saya hidupkan pewangi ruangan," ujar Fira.

"Baiklah. Saya menemui bu Imelda dulu, kamu bisa istirahat sekarang di dapur."

"Baik, Bu."

Fira cepat-cepat pergi dari ruang kerja Edwin yang sudah rapi dan bersih, perasaannya tidak karu-karuan saat itu, sosok Imelda menurutnya sangat mengerikan dan sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia perempuan yang ramah atau menyenangkan.

Fira sudah berada di ruang dapur kantor, dan sudah ada beberapa staff dan peserta magang berkumpul di sana, menikmati waktu istirahat sebentar di pagi hari.

"Hai, Fira." Salah satu peserta magang menyapa Fira dengan wajah gembira. Dia Tiwi, satu fakultas dengan Fira di kampus.

"Eh, Tiwi. Sudah minum?"

"Iya, baru aja selesai. Kamu kok telat?"

"Baru aja nyelesaian tugas."

"Oh."

Tiwi duduk di samping Fira yang sedang memegang cangkir berisi teh panas yang baru saja dibuat.

"Gimana kerja langsung di bawah pak Edwin?" tanya Tiwi pelan, tidak ingin pembicaraannya didengar yang lain yang ada di ruang dapur saat itu.

"Ya, biasa. Aku suka kerja di kantor bu Nia, sekretaris pak Edwin."

"Oh ya? Aku dengar bekerja di bawah pak Edwin itu menakutkan, ditekan dan dimarahi kalo kita buat kesalahan. Jadi kamu jangan sampai buat kesalahan."

Fira mengangguk. Mungkin selama ini dia tidak melakukan kesalahan apapun, sikap Edwin menurutnya biasa dan tidak semenakutkan yang Tiwi pikirkan. Tapi memang ada saat di mana Edwin marah dan wajahnya terlihat kejam. Menurut Fira itu wajar, karena orang yang dimarahi Edwin telah berbuat kekeliruan yang merugikan perusahaan.

"Makasih, Tiwi. Nasihat yang sangat berarti buat aku."

Tiwi menghela napas panjang dan wajahnya terlihat resah, Fira pun bertanya ada apa.

"Aku nggak suka kerja di bawah pak Johnson. Dia genit dan suka pegang-pegang pinggangku," keluh Tiwi pelan.

"Kenapa kamu nggak laporkan keberatan kamu?"

"Aku takut aku akan diberhentikan. Apa kamu mau bertukar tempat?"

"Kamu mau aku dipegang-pegang?"

"Bu ... bukan begitu, Fira. Aku pikir ... kamu ... lebih kuat dan—"

"Tiwi. Biar aku jelaskan ke bu Nia soal ini. Aku akan membantumu. Bu Nia dan pak Johnson sangat dekat," ujar Fira seraya memegang punggung tangan Tiwi, memberinya kekuatan.

Tiwi mengangguk.

"Nggak masalah kalo aku bekerja dengan pak Johnson, dan kamu yang menggantikan posisiku di kantor bu Nia," ujar Fira.

Tiwi menghela napas panjang, senang bisa mencurahkan perasaannya kepada Fira, akhirnya ada jalan ke luar dari permasalahan yang dia alami selama magang.

***

Fira tidak mau menunda memberitahu Nia tentang masalah yang dihadapi Tiwi. Setelah makan siang dan melihat Nia sedang memiliki waktu luang, Fira dengan hati-hati menceritakan masalah Tiwi yang bekerja di ruang Johnson.

"Haha, Fira. Tolong kamu sampaikan ke Tiwi, sebenarnya pak Johnson itu nggak genit. Itu hanya menunjukkan bahwa dia suka dengan Tiwi. Pak Johnson memang begitu dengan gadis-gadis muda. Bukan bermaksud melecehkan, tapi itu sebuah sikap akrab. Tapi kalo Tiwi keberatan dengan sikap pak Johnson, saya bisa memindahkannya."

"Tiwi ingin bertukar tempat dengan saya, Bu."

"Itu nggak bisa, Fira. Kamu langsung ditunjuk pak Edwin dan bukan kepegawaian. Lancang sekali temanmu itu, meminta bertukar tempat kerja dengan kamu. Posisi magang kamu adalah tertinggi dan menjadi incaran. Itulah dunia kerja, dan kamu harus siap-siap jika ada yang bersikap begitu. Harus lebih peka dan bisa memilah mana yang tulus meminta saran dan mana yang bulus."

Fira terdiam, dia tidak sampai berpikiran sejauh itu, bahwa Tiwi yang cemburu dengan posisinya. Fira pikir mungkin Tiwi sedang putus asa dengan masalah yang dia hadapi. Tapi lucunya dia mengingat kata-kata Tiwi, bahwa bekerja langsung di bawah Edwin tidak menyenangkan dan Edwin yang dikenal kejam, lalu kenapa dia ingin bertuka posisi dengannya? Fira menggeleng dan masih berpikir positif, mungkin saja Tiwi menyukai sosok kejam daripada sosok genit. Satu hal, dia jadi tahu bahwa Johnson memiliki cara lain untuk menunjukkan keakraban. Begitulah informasi yang dia dapatkan dari Nia.

***

Baru saja Edwin tiba di kamar dan melepas jas kerjanya, Imelda langsung ngomel-ngomel dengan wajah garang.

"Aku nggak suka gadis itu bekerja di kantormu!"

"Imelda, dia nggak kerja di kantorku, dia bekerja di ruang Nia."

Bersambung 

Orang KetigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang