Bab 183. Frans yang Tegas

743 127 3
                                    

Fira sedih hari ini karena mendapat kabar bahwa mamanya sakit-sakian di rutan. Bukan karena makanan atau minuman yang membosankan di sana, tapi sepertinya karena pikiran. Tanpa sepengetahuan mamanya, Fira tetap rutin mengirim makanan atau uang agar mamanya bisa membeli apa yang dia butuhkan. Fira mengupah seseorang yang bekerja di sana agar bisa dekat dengan mamanya dan menampung segala keluh kesahnya. Orang tersebut melapor kepada Fira bahwa mamanya telah menyesali perbuatannya sampai sakit-sakitan, dan dia sebenarnya ingin bertemu Fira sekaligus meminta maaf.

"Apa aku harus bertemu Mama, Ed?" tanya Fira yang merasa bimbang apakah harus pergi menemui mamanya atau tidak.

Edwin menghela napas panjang. "Dia orang yang sangat berbahaya, Fira. Manipulatif. Kamu sedang hamil, ck ... entahlah aku tidak percaya."

"Tapi Eni bilang mama kurusan dan tidak mau makan."

"Mungkin dia hanya ingin cari perhatian."

Fira menggeleng tidak yakin.

"Kasus mamamu sangat berat, Fira. Terkait pembunuhan, dan judi online. Kita sudah menarik kasus penculikan Liam." Edwin berdecak, dia juga tidak tahu harus bagaimana bersikap. Menghadapi orang yang problematik dan manipulatif membuatnya sangat muak. Tapi ini mama kandung Fira, nenek dari anak-anaknya.

"Kamu mau menemuinya? Aku akan menemani," ujar Edwin membujuk.

Fira menarik napas dalam-dalam sembari berpikir keras. "Aku hubungi papa saja."

Edwin sedikit merasa lega, berharap mertuanya bisa menghilangkan kebimbangan Fira. Sebenarnya dia sangat berharap Frans menyarankan Fira untukmu tidak bertemu mamanya di penjara. Fira sudah bertemu mamanya di penjara dan dia mendapatkan caci maki dari mamanya sendiri, menuduhnya menjual diri ke laki-laki kaya raya dan masih banyak lagi, serta sumpah serapahnya.

Fira duduk di atas sofa dengan ponsel di telinga.

"Halo, Papa."

"Fira, apa kabarmu, Sayang?"

"Sehat, Pa. Papa sendiri?"

"Sehat sekali Papa dan mamamu di sini. Adik-adikmu juga semuanya sehat. Ada apa, Fira?"

"Pa, kabarnya mama sakit dan dia ingin bertemu aku. Dia mau minta maaf. Aku ingin tahu pendapat Papa soal mama. Apa aku harus bertemu dengannya?"

"Tidak. Tidak perlu."

"Pa."

"Jangan." Suara Frans terdengar garang dan tegas.

"Tapi—"

"Tidak ada tapi-tapi, Fira. Kalo kamu mau bertemu mamamu sekarang, Papa akan berangkat ke Jakarta. Kamu harus sama Papa."

"Papaaa." Fira tumpahkan tangisnya.

"Dia mama kamu, ya ... itu benar. Tapi kamu harus ingat bahwa apa yang sudah dia lakukan, membahayakan kamu dan keluarga kamu juga membahayakan orang banyak. Papa tidak setuju kamu ke penjara sendirian, atau sama Edwin sekalipun. Papa tidak rela."

Fira menelan ludahnya, berusaha meyakinkan dirinya.

"Kamu anak yang berbakti, Fira. Kamu baik dan penurut. Dia tahu kelemahan kamu dan dia mencoba lagi. Dia sudah terbiasa melakukannya kepadamu yang lengah, memanfaatkan kebaikan kamu. Kamu harus kuat dan tegas. Dia itu penjudi, mudah bertaruh dan mencari peruntungan. Dan dia sedang melakukannya sekarang."

Tangis Fira reda, dia mencoba menguatkan hatinya.

"Mana Edwin? Papa ingin bicara dengannya."

Fira lalu menyerahkan ponselnya ke Edwin, dan Edwin langsung berbicara dengan Frans tentang kabar terbaru mama Fira yang ingin bertemu Fira. Edwin menyetujui alasan papanya yang menolak pertemuan Fira dan mamanya di penjara, dengan alasan Fira yang sedang hamil, dan dia sendiri yang tidak mempercayai mantan istrinya itu, serta yakin keadaan pasti akan memburuk. Alasan Frans sangat kuat, apalagi saat menyinggung mental Fira yang pasti terganggu jika dia bertemu mamanya.

Edwin juga bertanya pendapat Frans tentang kesediaannya membantu meringankan hukuman yang sudah diputuskan pengadilan untuk Mona. Frans juga lagi-lagi menolak, karena kasus Mona sangat berat, dan menurutnya, sebisa mungkin Edwin dan Fira tidak berurusan dengannya, lebih baik fokus dengan keluarga kecil mereka, mengingat Fira yang sedang hamil.

Edwin mengangguk puas, senang telah mendapat penjelasan dari papa mertua dan dia pun jadi lebih mudah mengambil sikap, begitupula dengan Fira yang tidak lagi ragu.

"Kamu sendiri bilang kepadaku bahwa mamamu tidak mungkin lagi berubah," ujar Edwin setelah mengakhiri pembicaraannya yang cukup lama dengan Frans.

"Iya, Ed. Tapi bagaimanapun dia adalah mamaku."

"Ya, aku tahu. Tapi penjelasan papa jauh lebih rasional. Dia bertanggung jawab dengan penjelasannya. Aku sangat setuju saat papa bilang jangan sampai kita yang terus berkorban, terutama kamu, Sayang. Kamu sangat berarti bagiku, bagi Liam, juga bagi keluarga kita berdua. Kalo kamu berkorban lagi, sedih lagi, semua pasti akan merasakan kesedihan kamu."

Fira bahagia mendengar kata-kata suaminya, merasa dirinya sangat berharga.

Edwin lega saat tidak lagi melihat air mata di wajah Fira. "Bagaimana kalo kita yang bertaruh?" ujarnya tiba-tiba.

"Maksudnya?" delik Fira bingung.

Edwin terkekeh pelan. "Kita bertaruh, apakah anak ini laki-laki atau perempuan."

"Edwin!"

"Aku menebak anak kita kali ini perempuan."

"Itu tebakanku, Ed."

"Nggak masalah jika dugaan kita sama."

"Ck."

"Baiklah, dugaan kita sama bahwa anak yang kamu kandung adalah perempuan. Kalo ternyata benar, kamu mau aku belikan apa?"

Fira tertawa menggeleng. "Ini konyol, Edwin."

"Ayolah."

"Nggak seru kalo kita punya dugaan yang sama saat bertaruh."

"Oke, kalo begitu aku akan mengatakan bahwa anak kita laki-laki lagi."

"Itu juga nggak seru, karena sebelumnya kamu mengatakan anak kita perempuan."

Edwin berdecak, perempuan memang sangat membingungkan. "Kalo begitu, pertaruhan digagalkan saja."

"Haha. Bagaimana kalo aku bertanya kepadamu, jika jawaban kamu salah, kamu belikan aku sepatu baru, kalo benar, kamu nggak perlu belikan aku apa-apa."

"Oke. Lalu apa pertanyaanmu?"

"Rina sedang mengandung anak laki-laki atau perempuan?" tanya Fira akhirnya.

Edwin kontan tertawa.

"Kamu sudah tahu ya?" tanya Fira.

"Nggak, Sweety. Aku nggak tahu. Tapi aku akan menjawab."

Fira menunggu jawaban pasti Edwin.

"Anak Rina ... laki-laki," jawab Edwin mantap.

"Oke."

"Apa aku benar, Sayang?"

Fira mengangguk.

"Yes!" seru Edwin senang. Dia merangkul bahu Fira dan berkata pelan, "Tapi aku akan tetap membelikan kamu sepatu baru."

"Jawaban kamu benar, Ed. Jadi kamu nggak perlu beli."

"Tapi aku mau membelikannya untukmu."

Fira melirik Edwin yang tersenyum hangat menatapnya. "Jadi kamu yakin anak kita perempuan, Edwin?" tanyanya.

"Ya."

Bersambung

Orang KetigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang