Bab 186. Bahagia Fira dan Edwin(TAMAT)

1K 161 16
                                    


Fira terkejut bukan main saat kembali ke rumah papanya. Dia melihat Lindsey menyambutnya sambil berjoget menggerakkan pinggul semoknya. Edwin malah tertawa terbahak-bahak melihat tingkat lucu putri kecilnya yang di luar dugaan. Lindsey dikenal sangat pendiam dan tidak ceriwis. Namun, setelah bertemu dua tante kecilnya yang usil, anak berambut blonde itu berubah centil dan banyak berceloteh.

"Papa. Aku joget bagus, 'kan?" tanya Lindsey yang sudah berada di dekapan Edwin. Dia ingin tahu pendapat papanya.

"Iya, bagus sekali tadi. Siapa yang ajarin kamu?"

"Kak Nabila."

"Oh. Tante Nabila."

Nabila cemberut, dia tidak suka dipanggil tante, dan Edwin menunjukkan senyum usilnya ke Nabila.

"Ayo, Lindsey. Kita main lagi," ajak Nabila, yang tidak lagi peduli panggilan tante kepada dirinya.

Sementara itu Liam sedang asyik bermain sepeda bersama Fahri di halaman berlakang rumah. Pertumbuhan fisik anak itu sangat cepat, padahal usianya tiga tahun lebih, tapi sudah tinggi dan lihai mengendarai sepeda roda dua tanpa roda bantu. Semakin lama wajah anak itu malah mirip sekali dengan mendiang opa Elmer.

Liam berhenti bermain sepeda ketika melihat kedatangan mama dan papanya, juga Fahri. Keduanya langsung memburu Fira dan Edwin. Liam tidak banyak bertanya keadaan kedua orangtuanya, dia malah menceritakan keseruan bermain bersama paman kecilnya.

Rosita dan Frans tampak sibuk di dapur sederhana mereka di halaman belakang. Sudah ada banyak makanan yang terhidang di ruang makan yang beratap nipah. Keduanya ke luar dan menyambut Fira dan Edwin, lalu menyuruh mereka segera menikmati makanan karena tahu pasangan yang selesai berlibur itu pasti letih setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan.

"Ini masih hangat. Makanlah dulu. Ayo, Fahri, panggil adik-adikmu."

Edwin tersenyum bahagia melihat Frans yang semangat menghidangkan makanan yang dia buat bersama istrinya. Ada kue-kue tradisional yang sangat lezat dan Edwin langsung menikmatinya dengan lahap.

Dalam waktu sekejap ruang dapur yang juga ruang makan menjadi sangat ramai. Semua anggota keluarga berkumpul dan makan bersama, setelah doa dipanjatkan Frans.

"Puas liburan? Malu tambah lagi harinya?" tanya Frans tang terlihat sangat bahagia.

"Cukup, Pa. Kalo dibilang puas nggak pernah puas. Indah sekali di sana," ujar Fira.

"Tapi menginap di pondok?" sela Rosita dengan dahi mengernyit.

"Haha, orang kota terkadang bosan hidup dalam kemewahan. Sekali-kali hidup di alam bebas. Bukan begitu, Edwin?" tanya Frans.

Edwin mengangguk membenarkan ucapan Frans. Dia dan Fira sangat menikmati liburan berdua di alam bebas, tanpa gangguan, tanpa internet, dan tanpa tivi.

Suasana makan siang sangat ceria dan membahagiakan. Tampak Liam dan Lindsey cepat beradaptasi dengan kesederhanaan. Mereka tidak tampak canggung dan malah menikmati kebersamaan. Sampai-sampai Lindsey mengeluh ingin lebih lama tinggal bersama opanya.

"Oh, kamu mau tinggal sama opa Frans?" tanya Fira lembut.

"Iya, Mama. Aku suka tinggal di sini," jawab Lindsey kenes. Mulut kecilnya lebih ceriwis sekarang. Anak itu lebih cepat berbicara daripada berjalan, sehingga kata-kata yang ke luar dari mulutnya terdengar jelas pelafalannya.

Tampak Nabila dan Aqila senyum-senyum berdua, dan Fira mengerti. Dua kakak beradik itu yang pasti telah berhasil "mencuci otak" Lindsey.

"Atau kak Nabila dan Aqila ikut ke Jakarta!" seru Fira.

Nabila dan Aqila saling pandang, perjalanan menuju Jakarta sangat membosankan dan melelahkan. Mereka bingung, karena di sana juga menyenangkan.

Kedua gadis itu tersenyum ragu, tapi setelah sang papa memberi semangat, barulah mereka mengangguk mantap. Ternyata Fira dan Edwin sudah berencana mengajak keluarga Frans berlibur ke Jakarta, karena kebetulan pula anak-anak sedang libur panjang.

***

Malam sebelum keberangkatan kembali ke Jakarta, mereka asyik bercengkrama di ruang tengah. Edwin dan Fira saling merangkul berdekatan sambil memperhatikan anak-anak yang ribut bermain bersama. Fahri terlihat sangat dewasa membimbing adik-adik dan dua keponakannya bermain bersama, dia akrab sekali dengan Lindsey, yang duduk di atas pangkuannya.

"Seru, 'kan kalo anak banyak, Ed?" ujar Fira.

Edwin tertawa menggeleng. Fira yang selalu menuntut banyak anak darinya. Dia sebenarnya tidak masalah, tapi dia mengkhawatirkan Fira yang pasti lelah ketika melahirkan. Dan itu pasti akan menyita pikirannya.

"Iya, seru. Tapi capek juga," sela Rosita yang duduk berdampingan dengan Frans.

"Dia mau lima, Bu, Pa," ujar Edwin.

"Lima? Ya nggak masalah kalo anak-anaknya seperti Liam dan Lindsey. Mau sepuluh pun tidak mengapa," sela Frans yang malah mendukung. Liam dan Lindsey adalah anak-anak penurut dan mudah diatur serta bersikap sopan dan hati-hati.

Edwin menggeleng dan Fira yang tertawa senang.

"Cukup tiga, Pa," ujar Edwin.

"Fira masih muda dan kuat, mumpung dia semangat tidak masalah. Yang penting kesepakatan dan komitmen merawat anak-anak dan memastikan mereka mendapat kasih sayang yang layak dan sempurna," ujar Rosita bijak dan menengahi.

Edwin dan Fira saling pandang, lalu mengangguk. Entah Fira yang ingin menambah banyak anak, atau Edwin yang tetap dengan pilihannya.

Edwin menatap Frans yang tersenyum hangat ke arahnya, entah kenapa dia seolah tersadar bahwa dia dan Frans memiliki kesamaan dalam pernikahan. Kecewa di pernikahannya yang pertama, lalu sama-sama bahagia dengan pernikahan kedua.

Malam semakin larut, dan mereka masih saja asyik berbincang di ruang tengah, sampai anak-anak tertidur pulas di ruang tengah dengan beralas kasur tipis. Edwin lalu mengajak Fira masuk ke dalam kamar yang sudah disiapkan.

"Fira," tegur Edwin setelah menutup pintu kamar.

Fira menoleh ke Edwin yang berdiri di belakangnya. "Ya?"

"Ini."

Kantuk Fira mendadak hilang, Edwin menunjukkan sebuah kotak beludru berwarna hitam pekat dan membukanya.

"Edwin!"

Edwin membalikkan tubuh Fira, lalu memasangkan sebuah kalung berlian di leher Fira. "Ini kalung almarhum mamaku. Fronie yang mengingatkanku. Kamu yang layak memakainya sekarang."

"Kenapa sekarang?"

Edwin tertawa kecil. "Aku baru ingat. Seharusnya aku mengalungkannya ke lehermu saat di Raja Ampat. Fronie yang memberikannya kepadaku karena dia juga baru ingat."

Fira membalikkan tubuhnya menghadap Edwin.

"Mamaku pernah berpesan kepada mama Fronie, kalung ini akan dia serahkan ke wanita yang menikah denganku. Bertahun-tahun mama Fronie menyembunyikan kalung ini dariku karena ... dia menilai Imelda tidak pantas mengenakannya. Mama Fronie lupa dan baru mengingatknya sebelum kita pergi berlibur."

"Edwin. Oh, aku ... aku sangat bahagia."

"Aku juga, Fira."

Keduanya lalu berpelukan erat dan malam itu terasa indah dan tenang.

TAMAT

Thank you ya atas supportnya, 

buruan baca sebelum kita hapus yaaa


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 14 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Orang KetigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang