Bab 7. Pengkhianatan

1.7K 196 7
                                    

"Ya ampun, Armaaan. Kamu pura-pura bodoh atau gimana sih?" Mata Inge bergerak-gerak bergantian ke wajah Arman dan ke dada montoknya.

"Ah, itu toh maksudmu. Haha, kamu benar. Berarti Fira sama dengan Chandra dong, sama-sama bo—"

"Eits, nggak juga, Chandra nggak sebodoh Fira. Aku kadang sulit minta uang ke dia, dan pacarmu itu selalu ada untuk kamu, bahkan pontang panting kerja demi kamu, 'kan?"

Arman terkekeh mengiyakan.

Tak lama kemudian, pesanan minuman untuk Inge datang, seseorang mengantar minuman dingin berupa jus alpokat untuknya. Inge tidak lupa mengucapkan terima kasih sebelum melanjutkan pembicaraannya dengan Arman.

"Kamu ke apartemenku sekarang? Atau kamu ada acara lain?" tanya Inge seolah menawarkan Arman sesuatu.

Arman mencubit paha Inge lagi sambil mengedipkan matanya dengan sikap genitnya.

***

Siang itu cukup panas di Jakarta bagian Selatan, tapi tidak bagi sepasang muda mudi tanpa ikatan, Arman dan Inge. Mereka asyik bersetubuh di kamar Inge yang sejuk. Tubuh polos keduanya melebur jadi satu, dengan beragam posisi untuk mendapatkan kesenangan dan kenikmatan.

"Akh."

"Ayo, Arman, mana dia, kocok yang cepat, ayooo." Inge menggeram saat Arman mengocok miliknya dan menyemburkan cairan kental ke wajahnya.

Keduanya lalu berpelukan dan saling melumat bibir. Entah berapa kali keduanya mencapai puncak siang hari itu, sehingga keduanya keletihan dan sama-sama enggan beranjak dari tempat tidur.

"Fira nggak bisa kasih ini, hm?"

"Ya. Dia kurang bergairah bagiku. Terlalu banyak yang dia pikirkan."

"Kamu nggak coba merayu?"

Arman menggeleng, "Pasti nggak asyik kayak kamu. Dia kaku sekali. Ciuman bibir saja nggak membuat aku bergairah. Dia juga seperti takut-takut kalo berduaan."

"Lalu kenapa kamu memacarinya?"

Arman terkekeh. "Dia pintar."

"Ahaha. Oh, aku baru menyadari satu hal, tugas-tugas kuliahmu dia yang buat selama ini."

"Begitulah. Dia juga ... cantik, kebanggaan para dosen."

"Oh ya?" Inge memiringkan posisi tubuhnya dan menekan dada Arman dengan telunjuknya. "Mana cantik aku atau dia?"

"Kamu yang cantik, dan bisa aku rasakan."

"Hahaha. Lalu sampai kapan kamu dengannya?"

Arman menghela napas panjang. "Entahlah, aku ... kadang aku memang mencintainya, aku nggak bisa menahan cemburu kalo dia dekat dengan laki-laki lain."

"Kamu jahat, Arman."

Arman terkekeh. "Kamu sendiri?"

"Iya. Aku juga, haha."

Keduanya tertawa kecil menyadari bahwa apa yang mereka lakukan adalah sebuah pengkhianatan.

"Chandra bagaimana? Mana hebat dia atau aku?"

"Kalo dia hebat, mana mungkin aku ajak kamu main di sini."

"Hahaha." Arman seketika merasa bangga atas dirinya yang bisa memberi kesenangan untuk Inge.

"Aku nggak suka dia selalu minta aku melakukan oral, hanya ingin menghindar kehamilan. Kadang ya ... dia minta begituan, dan nggak mau tau apa aku puas atau nggak. Tapi ... aku suka uangnya."

"Haha." Arman tertawa renyah.

Herannya, Arman dan Inge sepertinya lebih menyukai hubungan yang telah mereka jalani dalam satu tahun terakhir, berhubungan "dekat" sampai melakukan hubungan badan meskipun sama-sama telah memiliki kekasih. Keduanya juga enggan melepas kekasih masing-masing, Arman yang tidak ingin melepas Fira dan tidak rela Fira lepas darinya, selalu ingin menguasai Fira. Lalu Inge yang juga tidak mau melepas Chandra yang juga cemburuan jika Chandra berdekatan dengan perempuan lain. Sepertinya mereka tidak puas-puasnya, hingga akhirnya melakukan pengkhianatan.

***

Setelah selesai membersihkan lantai dan kaca swalayan bersama seorang pegawai laki-laki muda lainnya, Fira lanjut merapikan stok barang yang baru masuk pagi ini, sekaligus membersihkannya dengan lap.

"Hari ini nggak di kasir, Fira?" tanya Wawan, karyawan laki-laki yang bekerja dekat Fira.

"Nggak, soalnya ada karyawan baru. Paling aku kerja di sana besok atau lusa."

"Aku kapok di kasir, emang sih cuma berdiri doang dan nggak capek. Tapi kalo udah nombok, bikin pusing. Kamu pernah nombok?"

Fira menggeleng. "Makanya harus hati-hati kalo di kasir, harus teliti juga," tanggapnya santai. Fira memang dikenal bekerja dengan teliti dan cekatan, juga cepat. Mungkin karena dia sudah lama bekerja di swalayan tersebut dan tentu memiliki segudang pengalaman, sedangkan Wawan baru bekerja enam bulan.

Tiba-tiba karyawan kasir mendatangi Fira yang sedang bersih-bersih. Fira dan Wawan sontak menoleh ke arahnya.

"Kak Fira, aku minta bantuan boleh?"

"Ya?"

"Itu ada bapak-bapak nanyain rokok merek ini, tapi dia butuh satu slop. Di rak sana nggak ada."

"Oh. Ya udah, kamu tunggu aja di meja kasir, nanti aku antarkan."

Fira mengerti dan langsung pergi ke pintu menuju gudang, tepat di belakang posisinya berdiri, sedangkan karyawan baru itu kembali ke meja kasir dan melayani pelanggan yang lain dan tidak lupa menyuruh bapak yang ingin membeli satu slop rokok mahal itu untuk menunggu.

Fira sudah menemukan rokok yang dimaksud, kembali ke meja kasir, mengambil alih pekerjaan dan melayani bapak tersebut.

"Terima kasih, Dik," ucap bapak itu setelah menerima barang dari Fira dan membayar sejumlah uang, lalu ke luar dari swalayan.

Entah kenapa, Fira tergerak melihat langkah bapak itu menuju sebuah mobil hitam mewah yang parkir di depan swalayan. Matanya tajam ke arah tukang parkir dadakan yang meminta sejumlah uang ke bapak yang baru membeli rokok dari swalayan. Fira menduga bapak itu adalah sopir kantor, terlihat dari seragam yang dia pakai dan mobil sedan mewah yang dia bawa.

Jiwa Fira terusik melihat bapak itu adu mulut dengan tukang parkir. Bapak itu sudah memberinya uang dua ribu, tapi si tukang parkir meminta lebih. Fira berlarian ke luar dari swalayan, menghampiri tukang parkir dan mengusirnya.

"Eh, jangan sok, Neng."

"Apaan yang sok, Bang? Jelas-jelas di sini bebas parkir, kenapa Abang minta-minta. Lahan Abang, 'kan ada di sono noh. Bukannya kita nggak tau."

Si tukang parkir sinis melihat Fira. Tapi dia akhirnya memilih mundur setelah mendapat uang dua ribu, sambil mengomel, "Mobil aja bagus, uang dua puluhan aja nggak punya. Kaya pelit!"

Fira malah yang mengatur mobil itu ke arah jalanan, dan si bapak sopir tidak lupa berucap terima kasih kepadanya dari kaca jendela mobil di sisinya yang terbuka, sehingga Fira bisa melihat penumpang yang ada di samping sopir itu yang tidak lain adalah bos Elmer Group, Edwin Benedict Elmer.

Fira sempat terdiam kaku ketika bos itu melihatnya dengan tatapan tajam dari dalam mobil.

Sambil mengusir emosi yang bercampur aduk, Fira kembali masuk ke dalam swalayan dan melanjutkan pekerjaannya.

Sedangkan Edwin yang di dalam mobil, ternyata juga terdiam mengingat Fira yang membela sopir kantornya, dia tertegun dengan sikap Fira, kembali mengingat gadis itu membela perempuan tua yang hampir dia tabrak beberapa hari lalu.

Bersambung

Orang KetigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang