Bab 181. Edwin yang Tak Sabar

756 114 0
                                    

"Delapan tahun," ucap Fira sambil berdecak.

Edwin memundurkan wajahnya dari wajah Fira dan kembali duduk di posisi semula. Dia tahu arah pembicaraan Fira.

"Delapan tahun kamu menikah dengan Imelda, selama itu pula kamu dikhianati dan kamu sabar menghadapinya. Bagiku itu kesabaran luar biasa. Sementara aku langsung berpaling saat tahu Arman mengkhianati ku."

"Fira. Jangan singgung masa lalu itu."

"Bukan menyinggung. Terkadang ada baiknya mengingat masa lalu sebagai pelajaran." Fira menatap wajah Edwin seolah menyadari sesuatu, berujar dengan nada gumam, "Hm ... tapi kamu memang nggak sabaran sama aku."

"Ck, Fira."

"Aku ngerti, Ed. Waktu yang berbeda, orang yang berbeda, sikap yang juga pasti akan berubah dengan sendirinya. Aku yang memang bodoh waktu dulu, dan bersamamu aku jauh lebih baik."

Edwin tersenyum, kembali mendekatkan wajahnya ke wajah Fira, dan kali ini lebih dekat, sampai bibirnya bertemu dengan bibir Fira, lalu mereka saling berpagutan.

"Apa aku sabar, Fira?" tanya Edwin dengan mata sayunya.

Fira menggeleng, mengubah pendapatnya tentang Edwin.

"Aku merasa aku nggak sabar setelah mengenalmu, Fira," ujar Edwin. "Aku bahkan hampir menikah dengan perempuan lain karena tidak sabar menunggu kabar darimu. Bagaimana bisa kamu bilang aku adalah orang sabar."

"Ya, kamu nggak sabar," ujar Fira akhirnya.

"Tapi aku harus sabar."

Fira dan Edwin tertawa bersama, menyadari percakapan mereka yang agak konyol. Intinya mereka senang karena tidak perlu mengkhawatirkan Liam yang baik-baik saja.

***

Jika Edwin dan Fira sibuk membicarakan hubungan mereka dan Liam, Rina dan Dani malah asyik membicarakan Dwita dan Akmal. Dua hari setelah menikah, pengantin baru itu langsung terbang ke Dubai dan berbulan madu di sana. Dahlia sendiri memilih tinggal di rumah Rubi, karena rumah keluarga Rubi berjarak sangat dekat dengan sekolahnya dan bisa berjalan kaki. Awalnya Dani menyuruh tinggal di apartemennya tapi Rubi telah menawarkannya lebih dulu.

"Benar-benar keluarga om Akmal itu sangat pengertian ya, Dani. Jadi ingat Fira dulu yang ditolong sama Rubi dan om Akmal."

"Tidak hanya pengertian saja, tapi juga kompak."

"Ya."

"Beda sama papaku dan keluarganya. Kamu bisa lihat sendiri mereka yang nggak acuh, nggak peduli sama mama, aku dan Dahlia. Untung mama sadar dan mengalah, meskipun awalnya dia nggak rela harta-harta papa jatuh ke tangan istri barunya. Ternyata setelah mengalah, justru mama lebih bebas dan lebih bahagia. Bahkan bisa menerima laki-laki baru dalam hidupnya."

Rina tersenyum hangat, senang dengan keadaan hidup keluarga Dani yang jauh lebih baik.

"Aku mau tanya, mama ... nggak ngomong ke papa kamu soal pernikahannya?"

"Aku nggak tahu. Sepertinya nggak. Mereka, 'kan sudah nggak punya hubungan apa-apa lagi. Kalo aku dan Dahlia, sampai kapanpun akan terus berhubungan."

Rina mengangguk mengerti. Wajahnya berubah penuh senyum, "Mama dan om Akmal bulan madunya saja di Dubai lo. Pesta mereka sangat meriah dan dihadiri para petinggi perusahaan-perusahaan besar dan ternama."

"Sudah jalan hidup mama seperti itu. Tapi pesta kita juga nggak kalah mewah. Kamu jangan terlalu membandingkan."

"Nggak, maksudku ... mama itu sudah disakiti sedemikian rupa sama papa kamu, sampai papa kamu nggak mau tanggung jawab dan nggak peduli sama kamu dan Dahlia. Aku bisa mengerti betapa sakit hati mama kamu, Dani. Tapi sakit hatinya terbalas, meskipun aku yakin dia tidak menduganya."

Dani tersenyum, dalam hati membenarkan kata-kata Rina tentang mama dan keluarganya yang rumit.

"Dan aku merasa beruntung memiliki mama yang baik, jauh lebih beruntung dari Fira. Sekejam-kejamnya papaku, dia tidak sampai hati mengorbankan nyawa anaknya. Aku yakin juga dia nggak akan mau menganggu."

Mata Rina berkaca-kaca mengingat kembali peristiwa yang mengerikan di pernikahan sahabat Fira, Liam yang hampir menjadi korban penculikan yang dilakukan mama kandung Fira.

"Hidup Fira sangat berat ya, Dan."

"Ya. Dia sudah merelakan semua yang terjadi, dan sekarang dia sudah sangat bahagia, telah bertemu orang yang tepat, dan sekarang akan memiliki dua anak."

Dani meraih kepala Rina dan mendekapnya penuh kasih.

"Dani, kalo mama punya anak lagi, artinya kamu punya adik lagi," gumam Rina yang merasa tenang didekap Dani.

"Haha." Dani mengusap-usap kepala Rina. "Ya, tapi kemungkinan itu sangat kecil. Mereka berdua tahu yang terbaik."

"Aku hanya sedang membayangkan, pasti seru kalo kamu punya adik, dan anak kita akan manggil dia om."

"Haha, bisa saja kamu, Rin."

"Iya, 'kan?"

"Iya, bener juga ya, Rin. Jadi kayak Fira, dia punya adik kecil dua yang nggemesin dan keriting. Dan Liam yang manggil mereka tante nanti."

"Ya ampun, Dani. Aku jadi ingat kita godain mereka berdua, Liam yang seharusnya manggil mereka tante dan mereka kompak nggak mau dipanggil begituan, dan ternyata godaan kita malah berbalik ke kamu, Dani."

"Ya, belum tentu juga mama punya anak, Rin," ujar Dani tidak yakin.

"Hm ... tapi aku berdoa semoga mama ngasih kamu adik lagi."

Dani tertawa, lalu mencubit pipi Rina gemas. "Hei, kapan kita kasih kabar ke mama Ella. Ini sudah tiga bulan lo."

"Tunggu saja tanggal mainnya."

"Mama kayaknya sudah bosan nanyain kamu ya, Rin?"

"Aku juga sudah bosan ditanya-tanya."

Keduanya tertawa membayangkan mama Ella yang pasti terkejut saat tahu Rina sedang mengandung.

***

Hari ini Fira ikut suaminya ke kantor tanpa mengajak Liam. Anak itu sekarang sudah memiliki jadwal sendiri di kesehariannya. Akhirnya Edwin memperhatikan pendidikan Liam sejak dini, dia memutuskan memberikan pengasuh khusus mendidik Liam di rumah dan Kim yang tetap merawat dan mengawasinya. Pengalaman Fira hamil kedua ini sangat berbeda dibandingkan pada waktu hamil Liam. Tanpa Fira sadari, dia jauh lebih manja dan ingin selalu berdekatan dengan Edwin.

"Sudah, jangan dipaksakan kalo belum selesai mengolah data. Biar nanti staff lain yang menyelesaikannya," ujar Edwin mengingatkan Fira untuk tidak terlalu keras menguras otak saat bekerja.

Fira menghela napas panjang. "Dulu aku bisa menyelesaikan data-data ini satu jam. Ini kok malah nggak kelar-kelar lebih dari satu jam."

"Ya, jangan disamakan keadaan kamu dulu dengan sekarang, Fira."

Pintu kantor terdengar diketuk dari luar, dan Edwin berseru masuk.

"Fira?"

"Ah, Bu Niaaa."

Fira memburu Nia dan memeluknya erat, senang karena Nia sudah kembali lagi ke kantor setelah satu bulan liburan pulang ke kota asal kelahiran suaminya di Malang.

Bersambung

Orang KetigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang