"Saat teman-temanku merancang asa di masa depan, aku masih belum memiliki impian. Saat mereka belajar berjalan, aku masih merangkak. Ketika mereka sudah bisa berlari, aku pelan-pelan merayap. Ketika mereka mulai menikmati hidup, aku seperti bersiap-siap mengakhiri kehidupanku!" Arunika Senja.
* * *
Banyak manusia yang tak mensyukuri kesehatan yang Tuhan berikan. Ada beberapa yang sengaja merusak tubuh mereka demi sebuah kepuasan. Tanpa mereka sadari di luar sana ada orang-orang yang memiliki kesehatan buruk dan harus bergantung hidup pada obat dan rumah sakit.
Arunika Senja, salah satunya. Gadis muda nan cantik jelita yang divonis Sarkoma Jaringan Lunak yang menggerogoti tubuhnya. Menyesal? Marah? Kecewa? Semua perasaan itu sering Senja lakukan. Merasa berbeda dari teman-temannya. Merasa tidak bisa apa-apa dan merasa kehidupannya menyedihkan.
Senja seperti berada di ujung kematian. Dia tidak bisa lagi menikmati dunia luas yang dulu ingin dia lihat setiap hari. Dia tidak bisa lagi menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Dia tidak bisa lagi makan, makanan kesukaannya. Dia tidak bisa ke mana-mana. Tidak boleh jauh dari rumah sakit dan obat. Hidupnya tak sebebas dulu. Fisiknya tak sekuat dan semampu dulu.
Senja keluar dari mobil. Dia tersenyum hangat melihat bantuan sederhana yang ada di depannya. Dia pejamkan mata sejenak untuk menghirup udara segar tersebut.
"Selamat datang, Tuan Putri!" sambut Sam seraya mengulurkan tangannya dengan satu tangan berada di belakang pinggang, persis seperti seorang pengawal.
"Terima kasih, Pangeran," balas Senja terkekeh pelan.
"Ayo, masuk!"
Sam memapah adiknya itu masuk ke dalam rumah mereka.
"Aku kangen sama Inces, Kak," ujarnya.
"Tidak kangen sama Kakak?"
"Tidak, 'kan setiap hari ketemu," jawab Senja jujur.
Setelah menjalani kemoterapi, kondisi gadis itu perlahan membaik. Walaupun masih merasakan sakit di bagian tungkai lemaknya.
"Sayang, Bunda masak bubur dulu buat Senja," ujar Kejora.
"Iya, Bunda," sahut Senja sambil tersenyum.
"Mau langsung ke kamar?"
"Boleh, Kak," sahut Senja.
"Kakak gendong!" Sam berjongkok di depan adiknya agar gadis itu naik ke atas punggungnya.
"Iya, Kak." Senja naik ke atas punggung Sam. Kamarnya berada di lantai atas, kalau harus jalan akan membuat dirinya lelah.
"Pegang!"
Tangan Senja melingkar di leher belakang sang kakak. Sementara kakinya dia goyangkan seperti anak kecil.
"Jangan goyang-goyang, Senja. Nanti jatuh," tegur Sam.
"Kak, kapan ya terakhir Kakak gendong Senja? Kalau tidak salah waktu SD," ujarnya.
"Iya waktu kamu SD. Kamu itu kan tidak mau jalan kalau tidak digendong." Sam geleng-geleng kepala.
"Sekarang Senja pengen selalu digendong Kakak. Soalnya takut nanti Kakak tidak bisa gendong Senja lagi," celetuknya.
Senja tidak tahu bahwa ucapannya tersebut, berhasil membuat sang kakak bungkam dalam ketakutan. Sam terus berjalan sambil diam. Pipinya terasa panas dan air mata terasa menganak. Perbincangannya dengan Bintang kemarin masih terngiang di kepala lelaki itu.
"Kakak sudah lama kenal Kak Bii?" tanya Senja memecahkan keheningan saat Sam menaikan kakinya di salah satu tangga.
"Teman SMA Kakak," jawab Sam.
"Eh, Kak. Besok Senja boleh kan makan bakso langganan kita?!" Air liur gadis itu seperti mau menetes ketika mengingat bakso kesukaannya.
"Boleh, tapi tidak boleh pakai sambal, oke!"
Sam menurunkan adiknya itu ketika sudah sampai di kamar Senja.
"Kamu istirahat dulu ya!" Sam mengusap kepala adiknya itu. "Kalau butuh apa-apa, panggil Kakak," sambungnya kemudian.
"Iya, Kak."
Sam keluar dari kamar adiknya dan tak lupa mengunci pintu. Dia sengaja memberi ruang kepada Senja untuk menikmati waktu sendirinya.
Senja menatap kamar yang sudah lama tak dia tiduri. Tatapan matanya menyapu pada foto-foto yang sengaja dia jepit lalu digantung pada lampu berwarna-warni. Foto-foto bersama teman dan rekan kerjanya. Dulu, waktu Senja masih sehat. Dia aktif dalam setiap kegiatan di kantor.
"Tak disangka, aku akan berakhir menyedihkan seperti ini!" Gadis itu tersenyum kecut.
Senja berjalan ke arah lukisan yang terpampang rapi di dinding kamar miliknya. Tangan gadis itu terulur mengusap mahakarya yang dia buat dengan susah payah.
"Ini akan menjadi kenangan nantinya," ucap Senja terdengar lirih. "Andai waktu bisa diulang aku ingin terus berkarya dan menciptakan lukisan-lukisan hebat," ujarnya.
Senja mengambil lukisan tersebut, lalu duduk di bibir ranjang. Air matanya berjatuhan hingga membasahi benda yang ada di atas pangkuannya.
"Setidaknya, kalau aku sudah tidak ada. Lukisan ini sebagai bukti bahwa aku pernah ada walau sudah tiada," gumamnya.
Senja, gadis yang memiliki hobi melukis. Sejak SMP dia sering mengikuti lomba seni lukis mewakili sekolahnya, hingga dewasa pun dia masih aktif melukis di tengah kesibukannya sebagai seorang karyawan kantoran.
"Akan ada tiba saatnya tanganku tiba bisa lagi melukis!" Gadis itu meletakan lukisannya.
Lalu dia berjalan ke arah sebuah kursi yang di depannya ada kanvas terpampang lebar. Dia duduk dengan senyuman mengembang, tangannya mengambil kuas serta menuangkan cat berwarna-warni di sana.
Sudah lama sekali Senja tidak menyentuh barang-barang ini, sejak dia berada di rumah sakit. Kesehariannya hanya menghitung air infuse yang berjatuhan, berharap segera habis agar bisa cepat pulang.
Jari-jari lentiknya menari dengan lihai di atas kanvas tersenyum. Sudut bibir tertarik dengan lengkungan indah tanpa sedikitpun lipstik. Dia sedang melukiskan apa yang ada di dalam kepalanya saat ini.
"Senja!"
Hingga panggilan itu membuyarkan konsentrasinya. Senja menoleh dan terkejut melihat siapa yang datang.
"Ayah," gumamnya.
Mars berjalan menghampiri anak perempuannya. Kemarin dia tidak menjengguk Senja karena sedang ada hal penting yang dia kerjakan.
"Ayah!" Senja berdiri dan hendak berhambur memeluk Mars.
"Tetap di situ, Sayang. Biar Ayah yang ke sana!"
Mata Senja berkaca-kaca. Bulir bening menggelinding dari kelopak matanya. Pipi gadis itu sudah basah melihat kedatangan sang ayah.
"Senja."
Mars langsung memeluk anak perempuannya itu. Senja menyambut pelukan hangat sang ayah. Sudah lama, sangat lama dia tidak memeluk tubuh kekar ini.
"Ayah merindukanmu, Nak!"
Senja tak menjawab. Gadis itu meresapi pelukan hangat dan nyaman sang ayah. Bohong jika dia tidak rindu, sangat rindu. Kadang Senja merasa iri dengan kehidupan anak-anak di luar sana yang bisa memeluk ayah mereka kapan saja. Sementara Senja, waktu seolah tak memberi dia kesempatan banyak untuk selalu merasakan pelukan nyaman ini.
"Maafkan Ayah."
Dulu Senja membenci ayahnya karena tak pernah pulang untuk sekedar memberi kabar. Namun, kini dia sadar bahwa ayahnya memiliki alasan tersendiri kenapa tidak pernah pulang, selain sibuk dengan keluarga lamanya. Tentu sang ayah juga memiliki kesibukan lain.
"Ayah menyayangimu, Nak. Sangat!" ucap Mars penuh penekanan. Dia mengecup ujung kepala anak gadisnya itu.
"Senja kangen Ayah." Akhirnya kata-kata tertahan itu, keluar begitu saja dari mulut Senja.
Bersambung ...
![](https://img.wattpad.com/cover/363421111-288-k442968.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Go From Away Mr. Cancer (END)
Любовные романыArunika Senja, gadis berusia 22 tahun. Dia salah satu karyawan di perusahaan produk kecantikan yang berharap memiliki kehidupan serupa teman-teman lainnya. Namun, sayang satu kenyataan meruntuhkan tembok pertahanan Senja, ketika dirinya divonis mend...