Bab 21. Takut Menghadapi kematian

11 8 0
                                    

"Tak banyak kuingini. Jika Tuhan izinkan hidup setahun lagi. Maka, aku ingin memperbaiki hidupku sebagai manusia yang tak memiliki. Kali saja, Tuhan berbaik hati dan memberiku umur lebih panjang lagi." Arunika Senja.

* * *

"Ayo, Sayang."

Langit mengangkat Senja keluar dari mobil.

"Kamu senang, Sayang?" tanyanya membawa lelaki itu masuk.

"Senang-senang!" seru Senja dengan wajah sumringgah. "Eh, Kak. Apa Kakak tidak lelah terus menggendong Senja? Senja berat," ujarnya.

"Mana mungkin aku kelelahan hanya karena menggendong tubuh kecilmu itu, Pendek," celetuk Langit tertawa lebar.

"Kakak, Senja tidak pendek. Hanya kurang tinggi saja," ralat Senja yang tidak terima dikatakan pendek.

"Apa bedanya?" tanya Langit tak habis pikir.

"Beda, Kak. Pendek itu diskriminasi, sedangkan kurang tinggi salah seleksi," jawab Senja dan tak lupa menampilkan puppy eyes-nya. Untung saja mata gadis itu tidak bengkak lagi seperti bulan-bulan lalu.

Langit geleng-geleng kepala, ada-ada saja Senja ini. Selalu saja menemukan ucapan yang membuat dirinya kebingungan, tetapi gemas.

"Surprise! Selamat datang, Senja!"

Mars, Kejora, Sam, Bintang dan juga Tari. Memberikan sambutan kecil-kecilan ala-ala khas gadis remaja. Namun, Senja bukan remaja lagi, dia gadis yang sudah berusia 22 tahun. Dia sudah dewasa walau masih digendong.

"Bunda, Ayah!" Senja menutup mulutnya tak percaya.

Sementara Langit menurunkan tubuh gadis itu. Senja juga sudah bisa berjalan normal seperti sediakala. Tentu dia bisa melewati semuanya karena perawatan dan alat-alat medis yang mahal.

"Selamat datang kembali, Sayang." Kejora memeluk anak perempuannya itu.

"Bunda." Senja melingkarkan tangannya di pinggan Kejora. "Terima kasih sudah menyambut Senja," ucapnya terharu.

"Bunda akan selalu menyambutmu dengan sukacita, Nak," balas Kejora melepaskan pelukan Senja, lalu mengecup kening gadis itu dengan sayang.

"Senja kangen," ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

"Bunda juga kangen sama Senja," ujar Kejora.

Lalu Senja melirik ke arah sang ayah yang sedari tersenyum. Rasanya seperti bermimpi melihat wajah yang selalu dia rindukan itu.

"Ayah!"

Senja memeluk sang ayah dan meresapi pelukan nyaman dan hangat. Seperti tayangan televisi, masa kecilnya seolah terekam kembali di kepala gadis itu. Dulu dia memang membenci Mars karena sang ayah tidak pulang ke rumah selama bertahun-tahun lamanya. Namun, ketika dia tahu alasan yang sebenarnya. Gadis itu sadar, bahwa setiap orang melakukan kesalahan karena ada timpal baliknya.

Terkadang Mars measa bersalah karena tidak mampu menyediakan kebahagiaan terbaik untuk anak-anaknya. Ada perasaan sesal di dalam dada yang terasa mencekik, setiap kali masa lalu. Apakah dia sudah menerima hukum karma dari semua perbuatannya? Namun, dia juga bersyukur karena memiliki kesempatan untuk bisa kembali memeluk anak-anaknya.

Senja merasa bahagia karena disambut dengan sukacita oleh oarang-orang yang dia sayang.

"Ayo, Sayang, duduk!" Mars dan Kejora memapah Senja duduk di sofa.

Mereka merayakan kepulangan Senja dengan acara sederhana, tetapi bahagia. Semua atas ide dari Langit yang ingin Senja merasa bahagia.

"Kamu sedang apa, Sayang?" Langit masuk ke dalam kamar Senja sambil membawa segelas susu untuk gadis itu.

"Kakak, lihatlah!" seru Senja memamerkan hasil lukisannya.

"Luar bisa," puji Langit sambil duduk di samping gadis cantik berkepala plontos itu.

"Kakak, dulu Senja berpikir tidak akan bisa melukis lagi. Tapi, sekarang Senja menuangkan ide dan imajinasi." Gadis itu kembali melanjutkan lukisannya.

Langit menatap dalam gadis yang tampak serius dengan kanvas yang ada di depannya. Tak bisa Langit bayangkan, akan seperti apa hidup dan hari-harinya tanpa Senja. Jujur kadang ada ketakutan yang menjelma menjadi ketidakberdayaan, bagaimana jika suatu saat Senja benar-benar pergi meningggalkannya?

"Kak, ini bagaimana?"

Merasa tak ada jawaban dari lelaki itu. Senja menoleh ke arah Langit.

"Kak!" Senja melambaikan tangannya ke arah mata Langit.

"Eh!" Langit langsung tersadar. "Apa, Sayang?" tanyanya kemudian.

"Ini bagaimana?" tanya Senja sekali lagi menunjukkan hasil ukiran tangannya.

Langit benar-benar takjub melihat lukisan Senja. Gadis ini memiliki bakat yang luar biasa. Padahal sudah lama tidak membuat lukisan, tetapi sama sekali tak melunturkan bakat Senja.

"Aku rasa ini kalau dijual, akan laku dengan harga ratusan juta," ujar Langit.

"Tapi, sayangnya ini tidak Senja jual, Kak," sarkas Senja.

"Kenapa bisa begitu?"

"Bisa saja ini lukisan terakhir Senja. Jadi, kalau Senja sudah tidak ada nanti, setidaknya lukisan ini bisa menjadi pengobat rindu untuk Kakak," jelas Senja dengan senyuman sumringah.

Langit langsung diam. Hatinya bagai diiris oleh ribuan pisau tajam, perih dan sakit hingga meninggalkan jejak luka yang membekas.

"Kak." Gadis itu melirik boss sekaligus kekasihnya. "Berjanjilah padaku untuk selalu bahagia," ujarnya dengan senyuman hangat.

Lidah Langit terasa kelu, bagaimana dia bisa bahagia jika Senja tak ada? Hidupnya takkan baik-baik saja tanpa melihat senyuman kekasih hatinya itu.

"Kak." Senja mengenggam tangan lelaki itu. "Terima kasih ya, selama ini sudah berepot-repot mengurus Senja. Kakak itu lelaki terbaik setelah ayah dan Kak Sam. Senja beruntung sekali bisa kenal Kakak. Senja juga yakin, suatu saat nanti Kakak akan menemukan kebahagiaan yang lain, walau tidak dengan Senja.

Bukan pesimis akan kondisi kesehatannya. Dokter mengatakan bahwa tumor jinak itu bisa tumbuh lagi walau sudah diangkat berkal-kali. Tidak ada salahnya jika Senja berjaga-jaga untuk menghadapi itu.

Bulir bening menganak di pelupuk mata Langit, hingga menggelinding keluar dan membasahi pipi.

"Kakak, kenapa menangis?" Senja mengusap pipi basah Langit. "Baru saja Senja bilang, jangan menangis! Kenapa Kakak malah menangis?" protes gadis itu menggerecutkan bibirnya kesal.

Langit malah menarik Senja ke dalam pelukkannya. Air matanya tumpah ruah. Dia tidak bisa berkata-kata, selain berharap bahwa gadis ini tidak akan pernah meninggalkannya.

"Bagaimana caranya aku hidup tanpa kamu, Senja? Kamu adalah segalanya. Aku tidak mau kehilangan kamu, aku..." Langit tak mampu melanjutkan kata-katanya.

Senja memejamkan matanya dengan tangan yang melingkar di pinggang Langit. Dia pun sama tak mau meninggalkan Langit, tetapi apakah ada orang di dunia ini yang bisa menghindari kematian?

Tangis Senja pecah dan tumpah di pelukan Langit. Selama ini dia hanya berpura-pura kuat untuk menutupi luka yang terasa perih di dalam sana.

"Kakak." Pasokan udara di dalam paru-paru Senja terasa menipis saat dia terus menangis hingga dadanya sesak.

"Senja takut, Kak. Senja takut."

Senja takut, ketika dia beranjak tidur dan dia tak bangun lagi, berada di tempat yang asing seorang dingin kedinginan. Dia sangat takut, bohong jika dia sanggup menghadapi kematian. Senja tak ingin hari itu tiba, tetapi dia tak memiliki kuasa untuk meminta Tuhan akan memanjangkan usianya walau sesaat.

"Senja takut menghadapi kematian, Kak. Tapi rasanya Senja ingin menyerah melawan rasa sakit ini. Dada Senja terasa sesak dan terhimpit."

Bersambung ...

Go From Away Mr. Cancer (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang