Bab 04. Berharap Memiliki Kesempatan

35 22 2
                                    

"Di mana gadis itu?" Langit duduk mondar-mandir tidak tenang.

Beberapa kali lelaki itu mengusap wajahnya dengan kasar.

"Ke mana kamu, Senja? Awas saja kalau kamu dekat laki-laki lain!" ujar Langit  dengan wajah ketusnya, seolah Senja ada di sana.

Langit keluar dari ruangannya. Dia menuju ke arah meja Senja, tetapi tak ada gadis itu di sana.

"Tari!" teriaknya.

Segera Tari berjalan ke arah Langit dengan langkah terburu-buru.

"Iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Tari sambil membungkuk hormat.

"Ke mana Senja?" tanya Langit dengan ekspresi wajah datar.

"Saya tidak tahu, Pak," jawab Tari.

Lelaki ini aneh, jika ada Senja dia terus saja memarahi gadis itu. Namun, kalau Senja tak ada malah dicari seperti pencuri. Semua orang di kantor menjadi pelampiasan kemarahan lelaki itu, biasanya kalau ada Senja. Maka Senja lah yang dia jadikan bahan amarah.

"Kenapa kamu tidak tahu? Kamu 'kan temannya?" ketus Langit.

Tari mendelik melihat wajah kesal Langit. Padahal kalau ingin tahu, lelaki itu bisa mendatangi kediaman Senja dan melihat sendiri kondisi gadis itu. Ini malah marah-marah tidak jelas. Memang kadang gensi bisa membuat orang terlihat bodoh.

"Kenapa Bapak tidak temui Senja saja?" tanya Tari dengan suara pelan.

"Untuk apa saya menemui dia?" kilah Langit. Oh mana mungkin dia datang menemui Senja, bukankah sudah terlihat jika dia merindukan gadis itu.

"Siapa tahu Bapak merindukannya?" goda Tari menahan tawa. Kalau ada Senja, sudah pasti dia akan mendapatkan pukulan kecil dari sahabatnya itu.

"Apa kamu bilang?" Langit menatap Tari tajam. Lelaki itu mencebik kesal, apakah sungguh terlihat jika dia merindukan gadis perusuh itu?

"Tidak bilang apa-apa, Pak," sangkal Tari sambil menggelengkan kepalanya.

Langit melenggang meninggalkan Tari. Lelaki yang memiliki gengsi setinggi langit itu masih tak mau mengakui perasaannya, kalau dia merindukan sosok Senja.

Langit masuk ke dalam mobil. Beberapa kali dia memukul stir mobil dengan penuh amarah. Entah kenapa, tak melihat Senja membuat dirinya seperti kehilangan separuh dari rasa yang mencengkram dalam dada?

"Awas saja kamu, Senja. Saya tidak akan melepaskan kamu."

Akhirnya Langit merendahkan egonya untuk menahan diri agar tak bertemu Senja. Dia melawan segala rasa gengsi yang menjunjung tinggi kesombongan yang ada padanya. Pada kenyataan yang ada dia sungguh ingin melihat gadis yang selalu membuatnya kesal setiap hari itu.

Mobil Langit terparkir di depan pekarangan rumah sederhana. Lelaki itu keluar dari sana. Tampak suasana rumah yang sepi seperti tak berpenghuni.

"Kenapa rumahnya sepi?" gumam leleeaki itu.

Tak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Rumah sederhana, tetapi terlihat nyaman itu seperti ditinggal mati oleh penghuninya.

"Apa Senja tidak ada di rumah?" gumamnya lagi.

Langit sudah sering datang ke rumah Senja, kadang juga mengantar gadis itu jika sudah terlalu larut malam dari kantor.

Lelaki itu membuka pintu gerbang rumah Senja. Tampak bunga-bunga berjejer rapi di bagian pekarangannya. Bunga yang sepertinya sengaja dirawat untuk menghiasi sekitaran rumah.

"Tidak ada siapa-siapa," ujarnya dengan menghela napas panjang. "Ke mana gadis itu? Apa dia baik-baik saja?" Wajah Langit tampak gelisah tak menentu. Apalagi terakhir dia bertemu Senja, gadis itu sempat mimisan dan wajahnya sangat pucat. Apa mungkin Senja sakit? Namun, kenapa tak ada pemberitahuan sama sekali?

Langit segera menghampiri ibu-ibu yang kebetulan lewat di depan rumah Senja.

"Permisi, Bu," sapanya ramah.

"Iya, Nak. Ada apa?" tanya ibu-ibu itu melihat Langit dengan tatapan menyelidik. Wajah pria ini terlihat tak asing.

"Apakah Ibu tahu di mana Senja?" tanya Langit hati-hati, tetapi tatapan matanya tertuju pada rumah arsih tersebut.

"Oh neng Senja..."

"Iya, Bu," sahut Langit. "Dia di mana ya, Bu?" tany Langit lagi tampak tak sabar.

"Kalau tidak salah Neng Senja masuk rumah sakit, Nak. Kurang tahu sakit apa. Tapi, kemarin dia sempat pingsan dan sampai sekarang belum pulang!"

* * *

"Ayo, makan lagi!" ujar Langit sambil menyedorkan sendok berisi bubur ke arah mulut Senja.

"Memang harus Dokter ya yang suapin Senja?" tanya gadis itu polos.

"Harus, supaya cepat sembuh," sahut Bintang asal.

"Ada hukumnya begitu?" Kening Senja mengerut heran.

"Secara saya tampan, Senja. Tentu saja kamu akan cepat sembuh kalau melihat ketampanan saya!" ujar Bintang tertawa lebar. Dia merasa suka ketika melihat wajah Senja yang tampak mendelik mendengar ucapannya.

Saat ini mereka berdua sedang duduk di taman rumah sakit. Kejora dan Sam menitipkan Senja pada Bintang karena mereka sedang mengurus perkebunan teh yang akan dijual, untuk pengobatan Senja di rumah sakit.

Senja sedang mempersiapkan diri untuk menjalani kemoterapi pertama.

"Dok, Senja sudah kenyang."

"Ayo, minum dulu!" Bintang membantu Senja menunggak air dalam gelas itu hingga tandas.

"Terima kasih, Dok," ujar Senja.

"Mulai sekarag, jangan panggil dokter," tukas Bintang. Dia sudah akrab dengan Senja, rasanya terlalu formal jika gadis itu memanggilnya dokter.

"Lalu Senja harus panggil apa?" Gadis itu mengerutkan keningnya heran.

"Panggil Kak Bintang saja," saran Bintang menahan senyumnya, entah kenapa dia senang jika Senja memanggilnya kakak?

Senja menangguk patuh. "Iya, Kak Bii," ujarnya tersenyum.

Bintang terkekeh gemas ketika gadis itu memanggilnya dengan panggilan tersebut.

Keduanya terdiam menikmati angin-angin sepoi di taman rumah sakit. Senja memejamkan matanya, tak bisa dia pungkiri bahwa ada rasa takut yang terasa membuncah dalam dadanya, bagaimana jika dia tertidur untuk selamanya? Apakah yang akan terjadi pada sang ibu dan kakak yang paling dia cintai? Rasanya Senja tak cukup mampu meninggalkan kepedihan di hati orang-orang yang menyayanginya.

Tanpa dia sadari, sedari tadi ada sepasang mata yang menatapnya dengan kagum. Bintang, ya lelaki itu Bintang. Entahlah, dipertemuan pertama mereka dia merasa bahwa Senja memiliki daya tarik tersendiri.

"Kak," panggil Senja.

"Iya, Senja. Kenapa?" Bintang tersenyum hangat.

"Apa Senja akan sembuh?"

Bintang terdiam sejenak, dia tampak berpikir sebelum menjawab pertanyaan gadis yang duduk di kursi roda tersebut.

"Senja tidak akan sembuh ya, Kak?" Gadis itu tersenyum getir. "Lalu berapa lama kira-kira Senja akan hidup, Kak? Apakah Senja masih punya waktu untuk memperbaiki semua kesalahan yang pernah Senja lakukan?" tanya Senja bertubi-tubi. Gadis itu tak memiliki banyak angan-angan, bisa melihat hari esok saja sebuah keistimewaan.

"Ja..." Lidah Bintang terasa keluh.

"Katakan saja, Kak. Senja kuat kok." Gadis itu terkekeh, tetapi buliran bening yang lolos dari kelopak matanya seakan menandakan tawa itu hanya untuk menutupi luka yang membelit hatinya.

Bintang menarik napas sedalam mungkin. Tangannya mengusap mengusap kepala Senja dengan lembut. Lelaki itu berusaha kuat agar tak terlihat lemah.

"Kamu pas–"

"Senja!"

Bersambung ...

Go From Away Mr. Cancer (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang