Bab 19. Langit untuk Senja

18 12 0
                                    

"Akhirnya aku mulai terbiasa menerima kenyataan tentang penyakit di tubuhku. Seperti janjiku, aku takkan mengeluh lagi dan akan menjalani hidupku penuh harapan. Biar sisa waktu yang ada ini, kugunakan sebaik-baiknya manusiaku." Arunika Senja.

* * *

Senja dan hal-hal yang pernah Langit lalui adalah alasan baginya tak bisa melupakan tentang gadis itu. Meski beberapa rencana seakan terancam sebagai kenangan belaka. Namun, hatinya tak pernah bisa dipungkiri. Langit tak pernah benar-benar bisa beranjak dari segala sesuatu hal perihal Senja. Segala hal yang pernah diimpikan. Sesuatu yang sampai saat ini masih dipertahankan. Masih diperjuangkan.

Lagi-lagi Langit menangis di dalam keheningan malam. Suara isakkan tangisnya saling bersahutan dengan dentingan pendeteksi jantung milik Senja. Gadisnya semakin pecah ketika melihat jarum-jarum tersebut menyiksa tubuh Senja. Ada selang yang mengalir dari dada,  perut dan bahkan mulut. Kondisi kekasihnya itu jauh lebih mengenaskan daripada sebelum operasi.

"Aku mohon!"

Langit, pria itu hanya bisa berserah sepenuhnya pada kehendak Tuhan. Berharap bahwa mujizat masih terjadi, walau kemungkinannya masih begitu kecil dan tidak mungkin.

"Apa yang harus aku lakukan untuk membuatmu tetap bertahan?"

Tangisnya lagi-lagi pecah. Hati terasa pedih dan pedih, bagai tergores oleh silet hingga mengeluarkan darah.

Barangkali tidak ada cinta yang benar-benar baru di dunia ini selain cinta pertama. Setiap orang punya kisah percintaan yang berbeda-beda. Ada yang berakhir bahagia dan hidup bersama, tak sedikit pula yang harus saling melepaskan untuk rela. Semakin lama menjalani hubungan dengan orang lain, semakin banyak pula kisah yang akan tersimpan di dalam ingatan. Namun, Langit memiliki keteguhan hati. Tak peduli seberapa lama mengenal Senja, baginya gadis itu adalah pemberian terindah yang Tuhan berikan.

"Tuhan!" jerit Langit menggelengkan kepalanya.

Hati siapa yang takkan sakit ketika melihat orang yang dicintai terbaring tak berdaya. Tubuh Senja tak hanya disiksa oleh penyakit, tetapi juga oleh alat-alat rumah sakit.

"Sayang." Tangan Langit terulur mengusap kepala plontos Senja yang ditutupi dengan beanie. "Bangun, lukis aku di atas kertas kosongmu. Lukis kisah kita hingga abadi di antara penduduk bumi," ucapnya lagi.

Senja hampir kalah saat operasi berlangsung, tiba-tiba saja dia kejang-kejang dengah hebat. Jika saja alat medis tak lengkap, mungkin gadis itu takkan masih ada hingga kini.

"Aku ingin menikah denganmu. Lalu, merawatmu dengan baik. Aku tak peduli jika kita tak bisa memiliki anak, aku hanya ingin hidup bersamamu dalam waktu. Bisakah kamu mengabulkan permintaan sederhanaku ini?"

Mengikhlaskan sesuatu itu butuh waktu, tidak bisa instan. Apalagi untuk melepaskan seseorang yang begitu disayang. Tidak mudah, sama sekali tidak mudah. Hanya saja, sesuatu yang memaksakan diri untuk lepas, sekeras apapun mempertahankannya akan terlepas juga. Apalagi itu bersangkutan dengan takdir dan kehendak Tuhan.

Akan tetapi, bolehkah Senja  bertahan bersama Langit? Langit akan berjuang dengan mempertaruhkan nyawa agar gadis tetap berdiri di sampingnya, seperti saat ini. Langit ingin merayu Tuhan agar memanjangkan umur Senja-nya. Langit, dia tidak bisa hidup tanpa Senja.

Kondisi Senja benar-benar menurun drastis. Dirinya seperti lumpuh dan tak bisa sama sekali terbangun. Bahkan mata pun tak lagi bisa dia buka. Sekejam itukah kanker yang menyiksa tubuhnya? Apakah kanker itu tak memiliki rasa kasihan pada gadis mudah tengah menggapai impian?

"Sayang," ujar Langit. "Dadaku sesak melihatmu seperti ini. Aku tidak sanggup bernapas ketika melihat selang yang mengalir dari mulutmu. Pasti sakit ya? Jika bisa aku ingin menggantikan posisimu. Bolehkah, Sayang?" Dia kecup kening Senja dengan sayang. Wajah pucat tanpa darah itu masih terlelap dengan nyaman.

* * *

"Apakah masih ada cara lain, Tang?" tanya Sam penuh harap.

Bintang menggeleng dengan wajah lemas yang sama sekali tak memiliki gairah.

"Aku yakin, Tang. Pasti ada cara lain, tolong! Tolong selamatkan adikku. Selamatkan Senja!" mohon Sam sampai menangkup kedua tangannya di dada.

"Sam." Bintang tertawa getir. "Kondisi Senja semakin memburuk. Tubuhnya tidak mampu lagi menjalani pengobatan lain," jelas Bintang dengan nada berat yang sebenarnya tak sanggup dia keluarkan dari mulutnya.

Sam menggeleng dengan air mata yang sudah tumpah ruah. Hal itu tidak boleh terjadi, tidak! Tidak akan dia biarkan Senja pergi meninggalkannya.

"Cari cara lain, Tang. Kali ini aku mohon kabulkan permintaanku. Senja segalanya, Senja adikku satu-satunya. Kalau dia pergi siapa lagi yang harus aku jahili. Siapa lagi yang akan bermanja-manja denganku."

Ucapan Sam berhasil meruntuhkan pertahanan air mata Bintang. Dia memahami perasaan Sam, bahkan dirinya saja yang baru mengenal gadis itu, merasa tak bisa kehilangan Senja.

"Aku akan bayar berapapun! Berapapun, Tang! Tolong buat Senja tetap hidup, setidaknya beberapa tahun lagi. Aku ingin mewujudkan semua mimpi-mimpinya!" pinta Sam sambil menggoyang bahu Bintang, berharap bahwa dokter tampan nan muda ini bisa menyembuhkan penyakit adiknya, Senja.

"Sam, ini bukan masalah uang. Ini masalah kehendak takdir. Aku manusia biasa, aku tidak memiliki hak apapun terhadap ciptaan Tuhan-Nya. Berserahlah sepenuhnya pada Tuhan. Obat dan alat medis hanya pelantara. Tapi, kesembuhan hanya ditentukan oleh kuasa-Nya." Bintang merengkuh tubuh lemah sahabatnya itu. Air mata turut jatuh di pipi tampannya, dadanya pun ikut sesak dan pasokan udara dalam paru-parunya terasa menepis.

"Aku belum sanggup, Tang," ungkap Sam membalas pelukan sahabatnya itu.

"Aku juga," balas Bintang.

Hingga kini Bintang masih jatuh cinta pada cara pandang Senja menatap dunia. Netra mata indah itu mampu menarik dirinya masuk ke dalam relung hati Senja. Namun, nyatanya gadis itu tak memiliki perasaan yang sama. Bintang harus dibuat patah hati sebelum mengungkapkan perasaanya, tetapi dirinya sudah ditolak oleh kebenaran yang ada.

Sam melepaskan pelukan Bintang. Lelaki itu menyeka air matanya dengan kasar. Dia sengaja menenangkan diri di ruangan sahabatnya itu. Sebab, dadanya bagai terhantam ribuan ton batu saat melihat kondisi Senja yang sekarang sedang kritis.

"Lalu, bagaimana perkembangan Senja setelah operasi?"

Bintang menarik napas sedalam mungkin, sambil melepaskan jas kebanggannya. Sejenak lelaki itu memejamkan mata sebelum menjawab pertanyaan Sam.

"Semoga setelah terbangun dari koma, kondisinya bisa lebih. Tapi..."

"Tapi apa?"

"Tumor itu sangat jinak, perkembangannya begitu pesat. Aku takut dia akan tumbuh di bagian tubuh Senja yang lain."

Sam tersandar lemah di sofa ruang Bintang yang bernuasa putih dan abu-abu tersebut. Dadanya seperti terhimpit dan sempit. Entah berapa banyak luka yang ada di dalam sana.

"Dia tidak bisa lagi menjalani kemoterapi, bahkan obat-obatan sepertinya sudah menolak masuk ke dalam tubuhnya," jelas Bintang.

Pasokan udara di dalam paru-paru Sam terasa menepis. Dia usap dadanya dengan pelan, mencoba untuk menahan sesak yang menyerang.

"Apakah separah itu kondisi Senja sekarang, Tang?"

Bersambung ...

Go From Away Mr. Cancer (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang