Bab 16. Ikhlas

25 16 0
                                    

"Apa aku pantas merutuki keadaan atau bahkan menyalahkan Tuhan? Apa aku boleh menyerah ketika ada orang terdekat yang begitu semangat memberiku dukungan, tidak kah mereka akan kecewa jika diriku sendiri saja tak mau berusaha bahagia? Aku belajar menerima semua yang tertulis untuk takdir yang tak bercanda ini, tetapi kenapa rasanya sangat sulit?" Arunika Senja.

* * *

"Sekarang kamu sudah bersih dan wangi, Sayang. Aku ingin mengganti bajumu tapi tidak bisa," ujar Langit sendu.  "Coba kamu bisa bangun, aku pasti bisa memasangkan baju di tubuh mu." Dia tertawa sumbang, seolah diejek oleh takdir yang tak mengizinkannya bahagia. 

Lelaki itu mengusap kepala Senja. Membersihkan minyak yang menempel di wajah gadis itu. Wajah sang kekasih pucat seperti tak berdarah. Sudah lama, sangat lama Senja terpejam begini. Tidak adakah niat agar bangun kembali?

Tak tahan. Tak tega. Air mata luruh lagi di pipi Langit.  Ternyata pura-pura kuat tak semudah yang dia bayangkan. Bagaimanapun dia berusaha tegar, tetaplah dia pria lemah dan rapuh saat melihat wanita yang begitu dicintai terbaring tak berdaya.

"Ayo bangun, Sayang. Sampai kapan kamu akan terus tertidur seperti ini? Aku merindukanmu. Aku rindu berdebat denganmu dan rindu kopi buatanmu," ucapnya terdengar lirih dan meyayat hati. Air mata murahan lelaki itu jatuh lagi di pipi tampannya.

Secepatnya Langit menyeka air mata yang leleh begitu saja. Tidak, dia tidak boleh terus-menerus menangis. Dia harus kuat. Demi Senja. Demi impian dan cita-citanya.  Langit percaya kekasih hatinya akan sembuh. 

Sambil terisak Langit berbicara dengan Senja. Berharap wanita itu mendengar ucapannya. Apa yang harus dia lakukan? Jika bisa, Langit ingin menggantikan posisi wanita yang terbaring itu. Biar dia saja yang sakit, asal Senja bangun dan sembuh.

Bagaimanapun Langit tidak pernah memungkiri, bahwa Senja menjadi satu-satunya wanita yang penting dalam perjalanan hidupnya. Wanita yang tidak mudah dia hilangkan dari pikiran nya. Semesta yang berharga yang sangat dia perjuangkan. Tak ada sesak atau lelah ketika dia menunggu Senja seperti ini. Meski pedih dan perih saat melihat kekasih hatinya terbaring dengan tubuh lemah di atas ranjang. Namun, dia berusaha menjadi pria kuat di saat keadaan menghantam tubuh dan jiwanya. Tak banyak yang tahu, jantung Langit takkan tenang saat rindu menghampiri nya. Tak ada tenang saat merindukan kemanjaan dan kecerewetan dari Senja.

Langit tak akan pernah bisa lari. Pelukkan yang pernah melekat pada tubuhnya adalah kesungguhan hati. Dia tak akan bisa membunuh rindu dengan racun apapun. Perasaannya dihantui kecemasan. Sesuatu yang akan kembali membawanya kembali mencari. Mencari kehangatan dari tubuh Senja. Mencari rasa rindu yang mulai mengembang dalam dada. Kapan semua ini akan berakhir? Dia lelah dengan hidupnya yang hampa tanpa suara yang sudah membuat nya candu.

Bintang masuk ke dalam ruangan Senja. Melihat kedatangan dokter itu, segera Langit menyeka air matanya dengan kasar.

Tak ada pembicaraan di antara mereka. Bintang langsung saja memeriksa kondisi gadis yang masih terbaring dengan mata terpejam itu. Segalanya dipastikan oleh Bintang bahwa Senja akan baik-baik saja.

"Cepat bangun!" ucapnya tersenyum mengusap kepala plontos Senja.

"Bagaimana?" tanya Langit.

"Kondisinya belum stabil," jawab Bintang sambil duduk di kursi samping ranjang Senja.

Langit mengenggam jari-jemari gadis itu. Tatapan matanya tak beralih pada wajah pucat gadis yang menjadi penghuni hatinya.

"Bisakah kamu mengabulkan permintaanku, agar Senja tetap hiudp?" pinta Langit.

"Aku tak memiliki banyak kuasa atas semua itu. Tapi, akan aku lakukan segala yang aku bisa," jawab Bintang.

Di ruangan yang hanya terdengar dentingan alat pendeteksi jantung. Kedua pria itu sama-sama menangis, mencoba membangunkan Senja dengan isakan tangis yang menggema.

"Senja!" panggil Bintang. "Kamu tidak boleh meninggalkan kami."

Sebagai seorang dokter, tentu Bintang tahu kondisi tubuh gadis itu sekarang. Tak ada harapan, begitulah yang bisa dia katakan.

"Kami menyayangimu," sambungnya kemudian. "Apa kamu tidak ingin hidup bahagia dengan Langit?"

Mendengar ucapan Bintang, sontak Langit menoleh ke arah dokter tampan itu.

"Dia sangat mencintaimu." Ada perih dalam dada ketika kata itu terucap dan keluar dari bibir Bintang.

Bintang sadar akan perasaanya selama ini. Dia tidak bisa memaksa Senja untuk menerima cinta yang ada di dalama hati. Jika memang, Senja memiliki rasa yang sama pada Langit. Maka, Bintang akan mengikhlaskan gadis itu demi kebahagiaannya.

"Bangunlah!" tukasnya lagi.

Langit hanya diam. Dia masih mengenggam tangan Senja. Sebenarnya Langit belum paham dengan apa yang dikatakan oleh Bintang karena dia tahu bahwa dokter itu memiliki rasa pada gadis manisnya.

"Aku titip Senja," ucap Bintang. '"Jaga dan temani dia melawan penyakitnya. Dia butuh kamu saat ini." Nadanya terdengar berat, tetapi tak ada pilihan lain selain ikhlas dan mencoba berlapang dada.

"Tang."

"Jangan pikirkan aku. Selama Senja bisa bahagia, aku juga akan bahagia," kata Bintang menepuk pundak lelaki tampan itu.

"Terima kasih," ucap Langit tulus.

Bintang membalas dengan anggukan kepala. Lalu dia melihat ke arah Senja yang masih saja terpejam.

"Setelah kondisinya stabil, dia akan menjalani operasi pengangkatan tumor di tungkai lemaknya," jelas Bintang.

"Apakah itu akan berhasil?" tanya Langit ragu, melihat kondisi Senja yang belum juga berubah sejak kemarin.

"Kemungkinannya kecil, tapi jika tidak diangkat. Maka, tumor itu akan semakin membesar dan itu membahayakan Senja."

Langit tertunduk lemas. Sendi-sendi dalam raganya seperti tak memiliki jiwa untuk digerakkan. Napas terasa tercekat di tenggorokan. Dan dunia Langit seketika gelap tak memiliki cahaya.

"Kita harus siap menerima segala kemungkinan yang akan terjadi pasca operasi Senja," sambung Bintang lagi. "Aku akan bicarakan ini dengan Sam!"

Tak mau berlama-lama, nanti hatinya akan luka. Lebih baik dia menenangkan diri untuk sejenak. Bintang keluar dari ruangan Senja.

Langit masih tertahan di sana, seolah enggan beranjak untuk sejenak melepas penat. Jiwanya benar-benar seperti melayang terbang, saat mendengar penjelasan dari Bintang.

"Senja!"

Raungan rintihan yang menyayat hati terdengar dari mulut Langit. Lelaki itu menangis sepuasnya sambil menyandarkan kepalanya di tangan Senja. Bolehkah Langit merayu Tuhan agar membiarkan Senja hidup bersamanya dalam waktu yang lama? Apakah Tuhan bersedia mengabulkan doa yang mungkin saja terdengar mustahil.

"Jangan pergi, jangan tinggalkan aku! Jika kamu pergi, aku juga akan pergi. Aku tidak mau hidup sendirian," ungkap Langit. "Bangun, Senja! Bangun, dengarkan aku! Aku mencintaimu."

Langit terkejut merasakan sentuhan di kepalanya. Segera lelaki itu mengangkat kepalanya.

"Senja?" Dia mengucek matanya berulang kali untuk memastikan.

Segera Langit memanggil Bintang agar memeriksa Senja.

"Bagaimana, Ja? Apa kamu sudah merasa enakkan?" Gadis itu membalas dengan anggukan kepala. "Kalau begitu Kakak lepas saja oksigennya ya."

Lagi-lagi Senja membalas dengan anggukan kepala. Bagian mata gadis itu masih terlihat memar dan merah, wajahnya terdapat bintik-bintik. Kemoterapi kedua memiliki efek samping yang lebih kuat karena dosisi obat yang tinggi juga.

"Kakak, apa mata Senja menyeramkan?" Gadis itu melihat pantulan dirinya pada cermin kecil

Bersambung ...

Go From Away Mr. Cancer (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang