Bab 18. Belum siap kehilangan

16 12 0
                                    

"Aku berusaha menerima takdir yang diperuntukan untukku. Aku yakin Tuhan memiliki rencana, mengapa memilih aku merasakan sakit sehebat ini. Namun, sampai di titik ini aku tak meminta banyak, izinkan aku sejenak menikmati dunia luar untuk sekedar melepas penat juga dahaga!" Arunika Senja.

* * *

Langit, Sam, Kejora, Tari dan Mars sedang menunggu di depan ruangan operasi. Wajah kelima orang itu menunjukkan ekspresi yang sama. Tak ada senyum apalagi tawa, semuanya penuh kecemasan.

Kejora terduduk lemas sambil bersandar di dinding. Wanita itu sudah tak bisa lagi menangis, air mata seolah sudah lelah menampakkan dirinya. Tak bisa dia bayangkan, akan seperti apa hidupnya tanpa Senja. Sejak kecil dia memang dia tidak pernah berpisah dengan anaknya itu. Senja tumbuh dengan kasih sayangnya, sedikitpun dia tidak pernah menyakiti atau sekedar berkata kasar pada anak gadisnya itu.

Lalu, sekarang hatinya remuk redam ketika Senja harus menderita penyakit mematikan ini. Kenapa harus Senja? Kenapa tidak dia saja? Senja masih muda, dia masih memiliki asa dan impian di masa depan yang harus dia raih. Namun, semua itu lenyap saat dirinya harus berjuang melawan kanker yang mengerogoti tubuh kecilnya. Anaknya itu selalu bisa membuat dirinya tersenyum, walau tengah terluka.

"Maafkan Mas!"

Hingga suara lelaki di sampingnya membuyarkan lamunan Kejora. Dia melirik ke arah lelaki yang masih berstatus suaminya itu.

"Mas sudah meninggalkan kalian," ucapnya merasa bersalah. "Mas takut kalian kenapa-napa," sambungnya kemudian.

Kejora tak menanggapi. Wanita paruh baya itu melanjutkan lamunannya. Rasa sakit yang Mars turihkan telah mendarah daging, rasanya sulit untuk membuka hati maaf bagi pria itu.

"Maafkan Mas juga yan pernah berpikir mengambil kebun teh itu dari tanganmu. Mas benar-benar menyesal," ungkap Mars.

"Ambil saja, Mas. Bukankah semua karena permintaan istrimu? Tanpa kebun itu, aku masih bisa menghidupi anak-anak!" ujarnya. Seperti ada belati yang menusuk-nusuk hatinya.

"Tidak, Kejora. Aku yang terlalu tamak tanpa mengerti penderitaanmu selama ini," tukasnya.

Kejora memejamkan mata sejenak. Pipinya mulai panas dan menjalar sampai ke daun telinga. Hingga buliran bening bergulir dan menggelinding keluar dari kelopak matanya. Tadinya dia pikir, air matanya sudah mengering dan takkan bisa keluar lagi. Namun, ternyata masih menampakkan wujud di tengah patah hati yang hebat ini.

"Aku takut kehilangan Senja," ucapnya. "Aku benar-benar takut, Mas. Sangat takut, kadang saat dia tertidur aku selalu menatapnya lama, takut dia tak bangun lagi," imbuh Kejora.

Mars bergeser mendekati istri, lalu dia rengkuh tubuh lemah wanita yang sudah lama tidak dia peluk itu.

"Senja harta paling berharga yang aku miliki. Tak apa aku kehilangan semuanya, asal jangan Senja!"

Usapan tangan suaminya, seolah mampu mentrasfer kekuatan dalam tubuh Kejora. Benci dan cinta itu bercampur menjadi satu. Meski ribuan kali dia mengatakan benci pada pria ini, tetapi dia tak bohong bahwa rasa cintanya lebih besar.

"Entah akan seperti apa hidupku tanpa Senja, Mas."

"Tenanglah!" Mars menempelkan kepala wanita itu di dada bidangnya. "Mas merasakan hal yang sama."

Rasa penyesalan menusuk dan menyiksa hati Mars. Selama ini dia biarkan Senja tumbuh tanpa hadirnya. Dia tinggalkan anaknya itu demi kehidupan pribadi yang mengikatnya. Tak ada waktu sama sekali untuk mengabari atau sekedar menemui anak gadisnya, hanya karena kesibukan yang menyita waktu. Kini, rasa bersalah itu membuat hatinya dibelenggu oleh rasa yang takkan hilang oleh waktu. Bisakah waktu diulang kembali? Bisakah Mars menggendong Senja kecil lagi? Bermain dan mengajari anaknya itu naik sepeda di taman belakang rumah mereka.

"Senja pasti kuat melewati semua ini. Dia akan baik-baik saja dan tetap bersama dengan kita," ucap Mars menenangkan.

Hati Mars bagai tercabik-cabik ketika mendengar penjelasan Bintang. Sekarang, anaknya itu harus dioperasi untuk mengangkat tumor yang mulai tumbuh di bagian tubuh Senja yang lain.

Kedua orang tua itu saling berpelukan satu sama lain, meluapkan rasa sakit lewat tangis yang menggema.

Sam, hanya duduk tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Tangannya mengepal kian erat, mencoba menahan segala rasa yang membuncah dada.

Sama seperti kedua orang tuanya, dia juga merasakan sakit yang sama. Takut kehilangan adik yang begitu dia sayangi.

"Andai bisa memutar waktu, Kakak ingin kembali ke masa kecil. Di mana kamu manja dan minta digendong, lalu kamu menangis saat masuk universitas di luar kota karena tidak sanggup berpisah dari Kakak. Andai semua itu bisa diulang kembali, Kakak takkan menyia-nyiakan waktu dan akan selalu ada di sampingmu," gumam Sam.

Ke manapun seseorang pergi dia tidak akan bisa menghindari yang namanya kematian. Hal itu akan tiba sekalipun berusaha berlari sejuah sepuluh kilo mill untuk menghindarinya. Tetap saja dia akan mengejar. Lalu Senja? Senja tak ingin berlari menghindarinya karena sekuat apapun dia mencoba pergi dari kenyataan. Namun, akan tetap datang menghampiri jika waktunya sudah tiba. Meski mungkin akan ditolak sangat keras oleh Sam, tetapi hal tersebut takkan merubah kenyataan dan keadaan.

Hidup ini hanya sementara. Tidak ada yang abadi termasuk kebersamaan. Walau Senja menolak pada takdir Tuhan karena harus pergi di saat semua kehidupannya membaik. Senja takut, dia benar-benar takut berada di tempat yang asing dan dingin. Lalu, tak ada siapapun di sana. Di tempat yang sunyi dan juga dingin.

"Kakak tidak bisa kehilanganmu!" Sam menangkup kedua wajahnya, nyatanya dia tak sekuat apa yang dia ucapkan.

Isakkan tangisnya terdengar di ruang tunggu. Badannya bergetar karena menangis kian hebat. Ingin rasanya Sam mendatangi Tuhan dan merayu-Nya agar tidak mengambil Senja dari sisinya. Adiknya itu adalah sosok yang selalu ingin dia temui di kehidupan manjanya.

Begitu juga dengan Tari, sahabat baik Senja. Gadis itu merasa bersalah karena tak mengetahui keluhan Senja selama ini. Padahal mereka begitu dekat dan hampir selalu bersama. Harusnya dia curiga ketika pertama kali melihat wajah pucat Senja yang sampai mimisan.

"Cepat sembuh, Kelinci Kecil.  Aku rindu mengajakmu ke kondangan tanpa diundang!" Tari terkekeh ketika mengingat kegilaan mereka berdua. Demi makan gratis, keduanya datang ke acara pernikahan orang tak dikenal. "Awas saja jika kamu ingkar janji dan pergi, aku akan terus menghantuimu sampai di kehidupan seratus," celetuk Tari sambil terkekeh seraya mengusap bibir mata dengan ibu jarinya.

Lagi-lagi air mata Tari menetes dengan deras. Gadis itu memukul dadanya untuk menghilangkan segala sesak yan terasa menghantam dada. Jiwanya seperti hilang dan tiada. Senja adalah sahabat terbaik yang pernah ada. Walau terkadang suka membuat kesal dan naik darah karena tingkahnya, tetapi Senja juga yang selalu ada di setiap masalah yang mendera.

"Kamu juga masih banyak hutang padaku. Tiket bioskop aku yang bayar, katamu kita akan bergantian. Tapi, belum juga kamu belikan aku, masa iya kamu harus pergi meninggalkan aku duluan. Nanti kena azab!" Gadis itu tertawa getir seperti orang gila.

Bersambung ...

Go From Away Mr. Cancer (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang