Pagi menyapa, Alhea menggeliat sebelum perlahan membuka matanya. Ia menoleh pada jam yang menunjukkan pukul setengah sembilan. Gadis berwajah sembab itu bangkit, duduk bersandar dikepala ranjang. Mata kosongnya mengamati sekitar kamar. Kamarnya telah bersih. Tirai sudah tersingkap. Bahkan pintu balkon pun ikut terbuka. Alhea sadar jika hanya dirinya sendiri didalam kamar ini. Kemana Grace?
Alhea menarik nafas panjang untuk menguatkan diri. Setelahnya gadis itu bangkit, keluar dari kamar bersama langkah malasnya. Ia menyusuri lantai dua rumahnya dengan bayangan bayangan Gevon. Sampai ditangga, Alhea melangkah turun.
Melihat ruang tamunya bersih tidak seperti semalam sebelum ia ikut tidur membuat pikiran tentang Gevon hilang. Alhea jadi bertanya dalam hati, kapan Grace melakukan semua ini?
"Grace," Panggil Alea sedikit keras. Ia kemudian memilih melangkah ke dapur. Dapat ia lihat pintu lemari pendingin terbuka. Semakin dekat, Alhea bisa melihat Grace yang berjongkok didepan pintu yang terbuka itu.
"Terima kasih, Grace."
Duk!
"Aduh," Grace mengaduh ketika ia ingin mengeluarkan kepalanya.
"Yaampun!" Alhea seketika mendekati gadis yang masih mengusap bagian kepala depannya itu.
"Alhea!" Rengek Grace setelah berhasil mengeluarkan kepalanya.
Kedua gadis itu terlihat berdiri didepan lemari pendingin yang pintunya terbuka dengan Grace yang berdesis dan Alhea yang merasa bersalah ikut mengusap bagian benjolan kepala Grace.
"Maafkan aku..."
"Sudahlah tak apa. Lain kali jangan datang tiba-tiba. Mengejutkan tahu!"
"Ya, aku tak lagi melakukanya. Tapi, Grace ngomong-ngomong, aku sudah berteriak tadi memanggilmu. Kau saja yang tak mendengar. Lain kali kau bersihkan telingamu oke?"
Grace melotot. Alhea tertawa.
Suasana pagi yang cukup membuat fokus Alhea teralihkan.
Dua gadis yang masih sama-sama menggunakan baju tidur itu kemudian membuat sarapan bersama diiringi obrolan ringan.
Waktu berlalu, kini matahari telah sampai diatas. Tidak ada tugas dan memang ingin bermalas-malasan mendorong para gadis itu tidur abstrak sambil menonton drama yang belum selesai ditonton tadi malam di ruang tv. Alhea terlihat serius memandang laptop didepannya yang menampilkan adegan baku tembak, sedangkan Grace tengah melakukan telfon diteras depan.
Alhea tak menyadari jika sedari awal menerima telfon Grace selalu mencuri pandang padanya, seolah sedang memastikan Alhea tak mendengar apa yang dibicarakannya.
"Aku harus pulang, bibi mengabari jika ibu jatuh dan harus dirawat dirumah sakit. Alhea maaf, sepertinya aku tak bisa menepati janji untuk pulang nanti sore. Aku benar-benar harus pulang sekarang." suara Grace mengudara begitu langkah terburunya berjarak 3 meter dari tempat Alhea
Alhea terkejut, ia dengan cepat berdiri mengabaikan video yang terus berjalan.
"Yaampun, jangan khawatirkan hal itu. Sekarang yang terpenting adalah ibumu."
Grace mengangguk, "Baiklah jika begitu, aku pamit dulu ya!"
"Grace, tunggu. Aku ingin ikut..." Alhea sibuk menoleh mencari ponselnya.
"Maaf, Lhea, aku tak bisa membawamu sekarang. Aku sungguh terburu. Maafkan aku." Grace menyela cepat, memeluk Alhea sejenak lalu berlalu dari rumah itu.
"Okay, Baiklah. Tak, apa. Kabari aku jika kau butuh teman disana, Grace!" Teriak Alhea mengikuti Grace dibelakang.
Grace sudah menggenakan helmnya, memutar gas motor. Tangannya terangkat membantuk isyarat oke, sembari melaju keluar halaman rumah Alhea. "Kau gadis baik, Alhea." Mata Grace melirik keberadaan Alhea lewat kaca spion motor. Sudut bibirnya terangkat, "Tapi, maaf."
Alhea masih berdiri sampai penglihatannya tak lagi melihat sosok temannya itu. "Semoga semua baik," gumamnya.
Kembali masuk rumah, Alhea melihat ruang tv yang berantakan. Dapur, kamar, dan lainnya sudah dibersihkan Grace tadi. Menghela nafas, Alhea menjatuhkan tubuhnya tengkurap di sofa panjang. Lima detik dalam posisi itu, Alhea merasa sesak. Ia membalikkan tubuh, terlentang menatap langit-langit rumahnya. Suara film dari laptop tak membuatnya sadar untuk kembali menonton. Pikiran gadis yang belum mandi itu akhirnya melalang buana.
"Gevon..." Alhea beranjak, ia mencari ponsel.
Setelah mendapatkan benda canggih itu, dengan segera Alhea menekan simbol ponsel hingga panggilan mengudara.
Tiga detik berlalu, Alhea belum mendapatkan suara kekasihnya.
Hingga didetik terakhir, panggilan itu pun terangkat.
"Gevon!" Suara Alhea naik satu oktaf, entah karena senang atau khawatir.
Tak ada sautan.
Ekspresi Alhea meredup. "Gevon?" Alhea berbisik memanggil nama sang kekasih seolah tengah ada bahaya yang mengharuskannya untuk berbicara pelan.
"Gevon tertidur. Kau siapa?"
Tubuh Alhea kaku. Pandangannya tiba-tiba kosong. Itu bukan suara Gevon. Itu bukan suara pria, tapi itu suara perempuan. Mata Alhea panas.
"Ah, rupanya kau orang yang membuat anakku tergila-gila ya?"
Suara di seberang sana membuyarkan lamunan Alhea tentang sosok wanita seksi yang menjadi selingkuhan Gevon.
Anak?
"Halo? Apakah masih ada orang disana?"
Mata Alhea mengerjab, buliran air turun namun tak berproduksi lagi hingga hanya sekali kedip air dalam pelupuk mata itu hilang. Lidah Alhea kelu, ia tak bisa berbicara. Otaknya bingung harus memerintahkan suara apa yang keluar.
"Kenapa tak ada sautan?"
Alhea dapat mendengarkan suara itu meski terdengar agak jauh. Sepertinya ibu Gevon menjauhkan ponsel dari bibirnya.
"A,a,a" Alhea gagap, ia tak mungkin membiarkan sambungan itu putus.
"Ya?"
Suaranya terdengar jelas lagi.
"Halo, Nyonya. Saya Alhea," lidahnya ia gigit. Malu.
"Ah, namamu manis sekali."
Pipi Alhea memerah.
"Bagaimana kabar Nyonya? Apakah sehat? Gevon berkata padaku jika ia memerlukan waktu lebih lama disana. Aku pikir ada yang tak sehat disana."
Akhirnya kalimat itu keluar dari kerongkongan gadis cantik itu.
Terdengar suara tawa pelan. Itu seperti milik Gevon versi wanita. Akhirnya, Alhea tau dari siapa tawa kekasihnya berasal.
"Ya, kami memang sedang tidak enak badan."
"Sungguh? Semua anggota keluarga? Mengapa bisa?"
"Kau sungguh gadis yang pengertian, sayang. Aku berharap, anakku bisa memilikimu."
Wajah Alhea memerah, oh, tidak. Seluruh tubuh gadis itu mendadak panas.
"Begini, keluarga kami memiliki alergi yang sama. Jadi, saat ini kami hanya bisa beristirahat dan menunggu untuk sembuh. Gevon aman disini, jangan khawatir."
Alhea menggigit ujung jari telunjuknya, bingung membalasnya apa.
Ditengah otaknya berputar mencari apa balasan yang sekiranya cocok, suara ibu Gevon terdengar.
"Sayang, ibu ingin meminta satu hal dari mu."
Suaranya terdengar lembut namun terkandung sebuah ketegasan diucapannya.
"Jika aku bisa, dengan senang hati akan kuberikan, Nyonya."
"Pertama, panggil aku Ibu seperti Gevon memanggil ku,"
Alhea mengangguk, permintaan ini mudah ia kabulkan.
"Kedua..., aku ingin meminta, jangan hubungi Gevon sampai putraku sendiri yang menghubungimu."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Boyfriend Turns Uot A Vampire
VampirosApa reaksi kalian ketika bertemu vampire? Terlebih saat mengenali wajah makhluk penghisap darah itu adalah wajah sang kekasih? Terkejut? Sedikit terkejut? Atau benar-benar terkejut!? Aku tidak menyangka makhluk penghisap darah itu masih ada di era...