Di tengah hutan belantara, ditemani cahaya rembulan yang tak begitu terang, sosok pria berbadan kekar terlihat berjalan tertatih sembari memegang dadanya.
Merasa telah cukup jauh dari tempatnya kabur, pria itu akhirnya terduduk dan bersandar pada pohon. Ia mencoba menarik nafas layaknya manusia. Namun itu terasa sangat sulit, ia merasakan sakit yang teramat didalam dadanya.
Cukup lama ia berdiam, ia pun mulai berdiri. Sepertinya telah cukup kuat, tubuh itu kini berdiri tegap seperti tak ada kesakitan disana.
Gevon, kekasih Alhea itu menatap lurus, tatapannya menyorot akan kepastian pada gelapnya malam didepan sana. Sejenak ia menoleh kebelakang dengan senyum tipis, entah apa artinya.
Tepat pada pukul 3.45, tubuh pria itu telah berada didepan pintu cet putih. Sebuah pintu yang lama tak ia pegang, pintu rumah kekasihnya.
Gevon mendorong pintu namun tak ada pergerakan. Ia tersenyum. Sekarang gadisnya tak lupa untuk mengunci pintu.
Ia kemudian mencoba membuka sandi dari smart lock yang menempel. Mengetik beberapa angka dan terdengar suara yang menandakan sandi benar. Dengan binar bahagia ia gegas memutar gagang pintu itu, namun harapannya lagi lagi pupus kala pintu didepannya tak bergerak.
Kerutan samar terlihat diwajahnya. "Tidak bisa?" Tanyanya pada diri sendiri.
Ia merogoh saku, menimbang apakah harus ia hubungi?
Gevon melangkah keluar dari teras. Kepalanya mendongak, menatap jendela kamar yang masih terang di jam segini, bahkan bisa dipastikan akan berlanjut sampai pagi. Senyum menawan terlukis dibibir pria itu, ia begitu rindu pada gadisnya, Alheanya.
Jika dulu ia tak perlu repot-repot memikirkan cara masuk dan dengan begitu mudahnya memeluk sang terkasih, kini ia harus berpikir ribuan cara.
Ingin memanjat dan masuk lewat jendela kamar, ia sadar bahwa dengan kondisi yang seperti sekarang ia tak mampu untuk itu.
Menelfon? Apa akan terjawab di jam segini? Gevon rasa Alhea kini tengah tertidur lelap.
Pria itu mengulas senyum sebelum melangkah kembali ke teras. Pria yang memakai celana bahan hitam dan kemeja putih lusuh itu memilih menempatkan tubuhnya di kursi teras. Perlahan mata merahnya tertutup kaki panjangnya ia luruskan. Gevon tertidur dengan posisi duduk dan ditemani hawa dingin. Meski begitu, senyuman masih tampak di wajah lelah itu.
Yeah, Gaven terlalu senang akan bertemu sang kekasih.
Waktu berlalu,
Kini, pagi telah datang. Matahari siap akan tugasnya, di ujung timur sana ia pelan pelan naik kepermukaan.
Didalam kamar, Alhea telah bersiap. Hari ini ia akan olahraga, lari-lari kecil disekitar komplek. Hanya untuk mengalihkan pikiran dari buku itu. Ngomong-ngomong tentang buku, Alhea hampir menyelesaikan bacaannya. Maka dari itu ia perlu merefresh pikiran agar tak terbelenggu dengan cerita disana.
Dengan ponsel digenggaman tangan, serta topi putih menutupi kepala, gadis cantik itu menuruni tangga dengan wajah bahagia.
Suara pintu terbuka, kaki berlapis celana training abu-abu itu terlihat. Alhea keluar, ia kembali menutup pintu rumahnya, menguncinya kembali tanpa sadar ada sosok rupawan yang masih memejamkan mata di kursi.
Rasa semangat menggebu ingin menikmati pagi membuat Alhea benar-benar tak menyadari keberadaan Gevon disana. Ia melangkah begitu saja keluar dari pekarangan rumahnya. Saat sampai di gerbang, ia terheran.
"Apa aku lupa menguncinya?" Gumamnya merasa aneh, seingatnya, Alhea sudah mengunci. Bahkan memastikan berulangkali karena ia sadar saat ini tak ada orang lain yang akan menjaganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Boyfriend Turns Uot A Vampire
VampirosApa reaksi kalian ketika bertemu vampire? Terlebih saat mengenali wajah makhluk penghisap darah itu adalah wajah sang kekasih? Terkejut? Sedikit terkejut? Atau benar-benar terkejut!? Aku tidak menyangka makhluk penghisap darah itu masih ada di era...