Tiga hari berlalu sejak Alhea berbicara dengan ibu Gevon. Sejak saat itu pula ia menurut apa kata wanita yang telah melahirkan Gevon itu. Akibatnya, ruang obrolan Gevon Alhea pun tak ada pesan maupun telepon.
Alhea berusaha tak menghubungi Gevon hingga detik ini. Gadis itu menunggu setiap detik panggilan dari sang kekasih, tapi tampaknya sejak malam dimana ia meminta kedatangan Gevon di Senin pagi, sejak saat itu ia tak lagi mendengar suara pria itu.
Alhea merasa kesepian. Ia tak memiliki teman. Jika kalian bertanya dimana Grace maka Alhea akan menjawab dengan sedih sebab temannya itu pergi keluar kota untuk mengobati sang ibu.
Hari berlalu lambat. Alhea menjalani harinya dengan semangat lima puluh persen. Hari ini Alhea berangkat sekolah menggunakan ojek online. Sejak diminta untuk tak menghubungi kekasihnya sejak saat itu juga Alhea tak lagi mendapatkan mobil yang biasanya selalu mengantar jemput sekolah dirinya jika Gevon tak ada.
Lama-lama Alhea merasa sudah tak memiliki hubungan dengan pria tampan itu. Jangankan memikirkan nasib hubungan, keberadaan Gevon saja Alhea tak mengetahuinya. Seolah-olah pria itu ditelan bumi. Entahlah, semakin Alhea memikirkan, semakin sakit hatinya.
Desas desus disekolah pun tak dapat dihindari, sepanjang Alhea melangkah, telinganya selalu menangkap suara tak mengenakkan. Banyak diantara mereka yang membicarakan Gevon, mereka berkata prianya memanfaatkan kuasa uang untuk selalu izin. Ya Alhea akui, selama ini Gevon tak pernah mendapatkan masalah karena ketidak hadirannya di sekolah.
Ada juga yang berkata, Gevon telah dikeluarkan, maka dari itu pria tersebut tak lagi tampak di sekolah.
Mereka juga ada yang mengasihinya, berkata jika tak ada lagi orang yang berteman.
Kaki Alhea berhenti tepat disamping tempatnya duduk. Melihat kaki berbalut sepatu yang sangat ia kenali, kepala Alhea pun terangkat. Matanya melebar, terkejut melihat keberadaan Grace.
"Kau kembali?!" Buru-buru Alhea menaruh tasnya di atas meja, duduk ditempatnya serong mengarah temannya.
"Kejutan." Grace menampilkan deretan giginya. "Oh!" Gadis yang hampir seminggu ini tak terlihat itu beralih fokus ke tasnya. Ia seperti tengah mencari sesuatu.
"Lihat!" Grace menyodorkan sebuah gelang rajut dikedua telapak tangannya.
"Aku sempat mendatangi pameran disana. Aku lihat gelangnya cukup unik dan cantik! Jadi aku membeli dua. Satu untukmu," Grace menaruh satu gelang, meletakkannya ditangan Alhea. "Dan satu untukku." Ia kemudian menggenakan gelang itu sendiri dipergelangan tangan.
"Terimakasih," Alhea tersenyum, ia juga ikut memakai gelang berwarna hitam merah itu.
"Hei, kau ingin bercerita denganku? Aku tak sengaja mendengar orang-orang membicarakan mu."
* * *
"Bagaimana?"
Alan menggeleng. Jaringan menunjuk layar yang berisi sesuatu tak jelas bentuknya namun selalu membelah membentuk sejenisnya lagi. "Maafkan aku, lagi-lagi ini gagal. Lihat makhluk kecil ini? Aku pikir dia yang menyebabkan kau seperti itu."
"Jika kau ingin melihat," jarinya meraih mouse, menggerakkan benda itu, sesekali menekan hingga terdengar suara 'klik' sampai, "Ini," jari tangan kirinya menunjuk layar bergerak sesuai penjelasan yang keluar dari mulutnya. "Milik Paman, dan Bibi. Mereka tak terlalu aktif, sebab Paman dan Bibi bukan seperti kau atau Lucy yang lahir dari dua makhluk sama jenis atau beda jenis. Kasus Bibi dan Paman sebenarnya lebih mudah daripada kasusmu dan Lucy."
"Jika kau tahu seperti itu mengapa mengabaikannya?" Gevon ditempatnya menaikkan dagu.
Alan menghela nafas, "Mengabaikan bagaimana? Kau tentu ingat, Paman memintaku untuk menyembuhkanmu dan Lucy dulu kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Boyfriend Turns Uot A Vampire
VampireApa reaksi kalian ketika bertemu vampire? Terlebih saat mengenali wajah makhluk penghisap darah itu adalah wajah sang kekasih? Terkejut? Sedikit terkejut? Atau benar-benar terkejut!? Aku tidak menyangka makhluk penghisap darah itu masih ada di era...