CHAPTER 1

57.1K 3.9K 123
                                    


Happy Reading
Vote & Komen ya ~

Happy Reading Vote & Komen ya ~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.

Senin pagi menjadi hari yang sangat ingin Runa hindari semenjak pemuda gila bernama Aksara Lingga pindah ke sekolah mereka.

Saking suntuknya, sedari perjalan menuju sekolah, Runa sempatkan diri berdoa, minimal agar Lingga tidak usah masuk saja hari ini dan maksimal ada keajaiban cowok itu akan mentaati aturan dengan ber-atribut semestinya, ya meski 1% kemungkinan untuk opsi kedua.

Sebagai ketua seksi ketertiban, Runa hanya ingin awal minggunya tenang, itu saja. Karena di pertengahan sudah pasti ada kerusuhan yang bersumber dari orang yang sama.

Bunyi bel disusul pengumuman untuk segera berkumpul di lapangan upacara mulai berkumandang, sebelum keluar kelas Runa memeriksa satu-satu atribut teman-temannya yang syukurlah lengkap semua, gadis itu lalu beralih pandang ke arah kursi terbelakang, mendapati jaket dan ransel milik si pembuat onar belum ada di tempatnya yang menandakan ketidakhadiran Lingga.

Aruna tersenyum dengan binar legah di matanya— yang tak bertahan lama ketika suara berat seseorang mengudara.

"Ngapain senyum-senyum sendiri?"

Menoleh ke arah sumber suara, senyum Aruna luntur seketika, digantikan oleh manik redup dan helaan nafas berat.

Sosok jangkung Lingga berdiri di ambang pintu masuk kelas dengan satu tangan memegang tali ransel sementara lengan satunya bersandar di kusen. Seperti biasa, hanya mengenakan seragam polosan dan jaket berwarna hitam.

"Kesurupan?" cibir Lingga selagi melangkah masuk, melewati Runa untuk menaruh barang-barang di tempat duduknya.

Tak ada jawaban dari Runa, akan tetapi saat Lingga hendak keluar, gadis bertubuh mungil itu menghadangnya.

"Rompi sama dasi, mana?" cegat Runa, berusaha terlihat seintimidasi mungkin di hadapan cowok yang tubuhnya dua kali lipat lebih besar itu.

"Lupa," sahut Lingga dengan santainya, membuat Aruna geram.

"Lupa ke seribu kali? Itu kemeja juga isi dalam apa susahnya? Rapi sehari bikin kamu meriang kah?" cerca gadis itu dengan nada lebih tinggi satu oktaf. "Nambah kerjaan orang doang bisanya."

Lingga menundukan kepala, berucap rendah— tak kalah garang. "Gue yang suruh lo kerja?"

"Murid kayak kamu ini yang buat anak osis jadi ga becus di mata guru. Padahal udah diingetin berkali-kali."

"Bodo amat ga peduli."

Aruna tak bergeming, tampak menimbang-nimbang sesuatu di kepala tanpa melepas tatapan permusuhan. Tiba-tiba dengan pelannya ia berkata "Kalau gitu ga usah ikut upacara."

Aksara LinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang