CHAPTER 8

44.4K 3.9K 498
                                    


Happy Reading
Vote & Komen ya ~

Sesuai dugaan, hujan deras turun di saat Aruna tak memiliki persiapan apapun, bahkan ia juga tak sempat berteduh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Sesuai dugaan, hujan deras turun di saat Aruna tak memiliki persiapan apapun, bahkan ia juga tak sempat berteduh. Tak ada mantel maupun payung, alhasil ia berakhir basah kuyup.

Mencapai halte bus, Runa duduk di bangku dengan ekspresi kosong, selain rambut dan pakaiannya yang tampak menyedihkan, ia juga kedinginan, apalagi masih ada tetesan hujan yang terus-menerus tertiup angin ke arahnya.

Menggigil ringan, mata Aruna terarah ke jalanan yang sepi. Wajahnya mulai pucat, tampak lelah menunggu bus yang tak kunjung datang. Ia pun merenung agar tidak terpaku pada udara dingin yang menerpa, diam sembari meremas kepalan tangan— sampai bunyi nyaring klakson dari sebuah lexus hitam yang menepi di sudut jalan, menyentaknya dari lamunan.

"Masuk," undang Lingga selagi menurunkan kaca jendela.

"Tidak apa-apa," sahut Runa agak keras agar tak kalah dari suara hujan.

Penolakan halusnya tak dipedulikan, karena Lingga kembali mengulang perintah dengan tabiat memaksa seperti biasa.

Aruna tercenung sesaat, melirik mobil pria itu dengan ketidakpastian yang bergelayut. Dia enggan untuk masuk, namun kendati ragu dan dipenuhi gundah, Runa menyerah pada kenyataan bahwa ia tak punya pilihan yang lebih baik dari ini sekarang.

Melangkah cepat, gadis itu masuki mobil Lingga dengan hati-hati menjaga setiap gerakan juga posisi agar tidak mengotori interior dan bersih. Runa takut kalau-kalau pakaian atau sepatunya meninggalkan jejak yang tak diinginkan.

Aroma aftershave dan cologne meresap ke setiap bagian, tanpa berucap sepatah kata, Lingga menurunkan suhu AC hingga Runa rasakan seluruh tubuhnya menghangat, lebih tenang.

"Seatbelt-nya," peringat Lingga.

"A—ah iya." Aruna gelagapan saat memasang benda itu.

Melabuhkan pandangan, Lingga bertanya, "Kenapa nggak pamit?"

"Udah pamit sama Shane," sahut Runa halus. "Kamu masih telfonan di atas. Aku cuma takut keburu hujan."

"You're still f*cking wet now."  suara berat Lingga terdengar agak kasar. Cara dia mencengkeram erat setir sedetik setelah mengarahkan pandangan pada Aruna juga merefleksikan sesuatu.

Sesuatu seperti tetesan air di pakaian gadis itu, yang membuat dalaman dibalik blus putih sederhananya jadi tembus pandang. Sangat mengganggu. Eksposur yang terlalu intim menyusup pertahanan Lingga, ia seperti melanggar batas privasi yang wajar. Dan Aruna sepertinya masih belum sadar akan tampilan menggugahnya.

"Pakai," pinta Lingga usai jaket yang ia tanggalkan—diletakan begitu saja di pangkuan Aruna.

"Makasih," lirih gadis itu.

Dibalik jaket besar Lingga, Runa tampak hampir tenggelam. Seluruh tubuhnya dipenuhi aroma yang kuat dan menantang. Aroma Lingga.

Hening... tak ada pembicaraan lagi. Lewat sudut matanya, Aruna perhatikan gerakan sederhana dari tangan Lingga yang menggenggam tuas persneling — sedang yang lain bertumpu pada setir. Mendadak sangat menarik melihat seorang pria mengemudi. Tapi di satu sisi menakutkan, karena ekspresi pria itu begitu bengis.

Aksara LinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang