Lingga berdiri di halaman rumah susun Aruna sambil mengudud kasar rokoknya, asap mengepul cepat di tengah napas yang tak teratur, wajah kusut dan pikirannya yang berkecamuk.Sejak sore tadi, ia mencoba menghubungi Aruna berkali-kali. Tapi tidak berhasil, perempuan itu selalu berada dalam panggilan lain. Bahkan tidak ada balasan untuk pesan beruntun yang Lingga kirimkan. Aruna tidak ada di kampus, sampai di unitnya pun Lingga hanya disambut tetangga yang mengatakan bahwa gadis itu pergi dengan terburu-terburu.
Semakin lama, rasa cemas Lingga menyulut pangkal amarah saat pikirannya mulai dipenuhi berbagai skenario buruk. Ia bukan tipe yang mudah cemas tapi kali ini berbeda.
Mengacak rambut frustasi, Lingga menoleh segera ketika mendengar derap langkah kaki.
Sosok yang sejak tadi mengacaukan pikirannya muncul dari ujung lorong gelap, berlari tergesa tanpa memperhatikan sekitar. Tak merasakan kelegaan yang seharusnya datang, Lingga justru kian tersulut saat menangkap Aruna dalam cengkeraman tangannya.
"Lingga?" Aruna tersengal.
Manik Lingga lekas menyapu wajah hingga tubuh gadis itu. Pakaian Runa berantakan, terlihat masih mengenakan setelan bekas pagi tadi, hanya saja ditutup cardigan. Wajahnya yang pucat agak sembab. Ketika mendapati lutut Aruna lecet dan berdarah, sesuatu dalam diri Lingga hampir retak. Tatapannya mengeras.
"Sialan." Lingga mengumpat samar. "Kamu kenapa?" geramnya, penuh tuntutan.
Runa gelagapan, menengok was-was ke belakang lalu kembali ke arah Lingga. Suaranya gemetar saat mencoba menjawab, "I-itu... aku... tadi ada yang—" napas yang memburu membuatnya kesulitan berbicara, gemetar dari ujung kepala hingga kaki.
Lingga masih menunggu, tapi Runa tahu tak ada jawaban yang bisa memuaskan lelaki itu. Lingga marah, dan kemarahannya tidak akan mudah mereda.
Melihat gadis itu begitu rapuh dan bingung, Lingga putuskan untuk menahan diri, memilih untuk tidak terlalu mendesaknya saat ini. Ia memilih untuk menekan semua emosi itu sebelum berbicara dengan nada dingin.
"Jelasin di kamar." Tepat di bawah tangannya, Lingga bisa merasakan jika Aruna berkeringat dan masih gemetar.
Dia membawa gadis itu ke atas, meraih kunci dari tangan Runa dan membiarkan gadis itu masuk lebih dulu. Lingga menutup pintu agak keras sebelum berbalik dan menatap Runa yang berdiri linglung di tengah kamar.
Menarik napas panjang, Lingga redam sisa kemarahannya. "Kamu dari mana? Kenapa gak angkat telfon?"
Runa berbalik pelan, tubuhnya menegang mendengar nada suara Lingga. Gadis itu terlihat resah, bibirnya bergerak-gerak seakan hendak menjawab, namun tak ada kata yang keluar.
Melihat luka di lutut Aruna hanya memperkeruh suasana hati Lingga. Emosi mengaburkan segala rasionalitas. Sorot matanya bahkan tak menunjukkan iba, hanya ada kemarahan yang betah menyala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Lingga
RomanceLingga itu berandalan, liar dan serampangan, sumber kepusingan bagi Aruna, karena jabatan ketua seksi ketertiban-kerap membuatnya berseteru dengan si pembuat onar. 'Cowok tanpa masa depan' Begitu Runa melabeli Lingga saat mereka masih remaja. Sampa...