CHAPTER 3

47.1K 3.7K 185
                                    

Happy Reading
Vote & Komen ya ~

Happy Reading Vote & Komen ya ~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.

Terkenal akan keambisiusan-nya, Runa selalu membuktikan ia mampu menguasai ranking teratas bukan hanya di kelas, namun seangkatan. Hal itu seringkali membuat ia tak segan menggunjing Lingga, karena cowok itu bahkan tak bisa mencapai setengah levelnya.

Seperti saat ini, dimana Runa tengah tersenyum begitu cerah tatkala ia menjadi satu-satunya murid yang konsisten memanen nilai ulangan sempurna untuk mata pelajaran biologi. Menuai decak kagum  guru dan seisi kelas seperti yang sudah-sudah. Runa telah terbiasa dengan itu semua, ia pun selalu berusaha keras untuk mempertahankannya. Tak masalah dilabeli Narsistic. Toh dirinya memang layak diapresiasi.

Senyum yang sedari awal sudah cerah jadi makin sumringah kala nama Lingga disebut dengan omelan menyusul di belakangnya. Berbeda dengan Aruna, cowok itu menuai decakan dari sang guru karena nilai ulangannya yang cuma tiga puluh. Terendah dari seluruh murid di kelas itu.

'Mampus' batin Runa.

Memangnya apa yang bisa diharapkan dari cowok berandal itu? Dari sini saja sudah kelihatan kalau masa depannya akan suram. Lingga hampir minus di semua mata pelajaran kecuali hitung-hitungan.

Meskipun banyak teman dan gurunya yang bilang jika Lingga hanya malas dan bukannya tak mampu, Aruna tetap menganggap cowok itu bebal murni.

Pembagian hasil ulangan selesai, Runa mengeluarkan buku dan alat tulis dari tas-nya. Siap menyimak paparan materi dengan konsentrasi tinggi, namun saat ia hendak menunduk untuk menuliskan tanggal hari ini, pak Mathias memanggil;

"Ketua kelas."

"Ya pak." Gadis itu mendongak cepat.

"Tolong ambilkan buku cetak di perpus, jumlahnya ngikut yang hadir hari ini ya," ungkap pria paruh baya itu sembari memandang seisi kelas. Irisnya lalu berhenti pada pemuda berhoddie hitam di sudut kelas yang terlihat sedang menopang dagu, mengantuk.

"Lingga, kamu temani Aruna," ucap pak Mathias yang langsung di sanggah Runa dengan sopan.

"Saya bisa sendiri pak."

"Buku cetak biologi tau kan tebalnya kayak apa, Run? Sampulnya keras pula."

Tak dapat mengelak, yang bisa Runa lakukan hanya menghela nafas samar dan menunduk patuh, "Baik pak."

"Lingga, ikut Runa. Biar hilang ngantuk kamu," tandas pak Mathias yang membuat seisi kelas tertawa.

.

.

Dimulai dari menuju perpustakaan hingga sekembalinya mereka dari sana, Runa yang enggan berdampingan dengan Lingga terus-terusan mempercepat langkah meski tumpukan buku-buku tebal memberati tangannya. Padahal mau seberapa keras pun berusaha, Lingga yang memang berkaki jenjang selalu bisa menyamai langkah memburu gadis itu.

Aksara LinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang