Gercep amat, biasanya butuh semingguan 🙂↔️
Kalau goal part depan 4,4k vote dan 1,5k komen bisa dong ya? WkwkWarning! This chapter kinda spicy. Bocah minggir!
Bak samudra tak terjangkau kedalamannya, begitulah pendar manik Lingga saat menatap Aruna. Ia jumput rambut Runa yang lolos dan menyelipkannya ke belakang telinga. Sekaligus meraup wajah gadis itu dengan kedua tangan. Memandangi lebih dekat."Take your time." Mengusap pipi merah Runa dengan ujung jari. Lingga tampak menahan diri, dengan tidak menawari janji manis, tidak memohon, dan tidak pula memaksa.
Meski cenderung mengontrol segala hal, Lingga masih tahu kapan harus memberi ruang. Aruna perlu waktu. Dan kendati keinginan untuk mengunci gadis itu di sisinya terlampau kuat, Lingga paham bahwa tidak semua hal tentang Aruna pantas untuk Ia kendalikan.
Aruna selalu ambisius sejak dulu, dan Lingga memaklumi itu. Menyuruhnya menyerah dan bergantung sepenuhnya pada Lingga hanya akan membuat Runa merasa terkekang.
Meski demikian, mulut Lingga tetap meringkuk menjadi geraman kecil memikirkan Aruna menikah dengan pria lain. Itu tidak rasional, tetapi sejak awal tidak ada reaksi Lingga yang rasional ketika menyangkut Aruna. Gadis ini selalu memangkas semua logika dan kesopanan yang dimiliki Lingga.
Dan Ia punya cara untuk membuat Runa menetap dengan kesadaran penuh, tanpa pernah berpikir untuk pergi jauh.
"Aruna."
"Uhm?" Aruna bergumam sembari menyamankan posisi di dada bidang lelaki itu.
Mata Lingga terkunci ke matanya. Rasanya seperti menatap dinding baja yang kokoh.Bergerak turun, jemari Lingga menekan ringan leher gadis itu. Lalu mendekat hingga cukup untuk mempertemukan napas mereka.
Aruna bisa merasakan detak jantungnya berdebar tak beraturan. Entah karena hawa dingin yang tiba-tiba menyeruak, atau sentuhan Lingga yang menyiratkan kepemilikan
"I'm falling," berdesis rendah, Lingga tatap Aruna lekat-lekat. "So badly."
Setelah kalimat itu terucap, ia mengendurkan sentuhannya. Meninggalkan Aruna dengan wajah memanas.
Atmosfer berubah dalam hitungan detik—dari cerah yang menjanjikan, ke muram yang tak tiba-tiba datang.
Iris Runa terpaku pada tirai kelabu dari ujung cakrawala, dimana awan abu-abu menggumpal seperti arak-arakan raksasa, saling menumpuk dan memadat dengan cepat.
"Tiba-tiba banget mendung," alibinya alih-alih membalas ucapan Lingga.
Merengkuh tubuh ringkih yang masih bersandar nyaman di dadanya. Lingga kecup puncak kepala gadis itu sebelum berkata. "Ayo pulang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Lingga
RomanceLingga itu berandalan, liar dan serampangan, sumber kepusingan bagi Aruna, karena jabatan ketua seksi ketertiban-kerap membuatnya berseteru dengan si pembuat onar. 'Cowok tanpa masa depan' Begitu Runa melabeli Lingga saat mereka masih remaja. Sampa...