Happy Reading
Vote & Komen yg banyak ~
***Cahaya remang menyoroti kerutan di wajah Lingga juga tatap tajamnya yang terarah pada Aruna. Duduk dengan sikap tenang di tepi tempat tidur —dalam keheningan yang hanya terganggu oleh desir napas Runa yang teratur, Lingga tertegun.
Gadis itu tak kunjung bangun, masih terbaring menyamping dengan kedua kaki ditekuk dan satu tangan berada di atas lekukan pinggul. Posisi yang tak berubah sejak Lingga merebahkannya lebih dari setengah jam lalu.
Mengamati Aruna di ruangan yang hanya ada mereka berdua, tak sedetikpun Lingga lewatkan meski pikirannya betah dibelit amarah. Sialan, memikirkan kemungkinan gila yang bisa terjadi pada gadis ini andai Ia tak disini, hanya membuat aliran napas Lingga tersendat seolah ada yang mencekiknya.
"Bodoh," gumamnya, sembari dengan lembut menepikan helai rambut yang menghalangi wajah lelap itu.
Raut damai Aruna terpapar sinar bulan yang menyelusup melalui jendela. Rambut halusnya tergerai diatas permukaan beludru. Sementara nafas tenangnya bak melodi tidur, memanggil Lingga untuk terpenjara—terpikat dalam pesona tak terelakkan dari sosok lelap di hadapannya.
Mata pria itu menatap ke bawah, melewati bibir indah Aruna, leher putih, hingga tulang selangkanya. Kain tipis longgar yang membungkus sosoknya tidak bisa menyembunyikan lekuk tubuh gadis itu.
Lingga sadar akan sesuatu, Ia hampir tidak pernah melihat Aruna selain dalam balutan warna cerah. Mungkin karena hitam jadi pilihan yang berbahaya. Kulitnya sangat putih, warna hitam hanya memberi Aruna kesan bunga rapuh yang bisa pecah kapan saja.
Telah terperangkap dalam ragu sekian lama, kini Lingga punya kesempatan untuk memeluk dan mencium bunga rapuh itu. Lingga bisa melakukannya tanpa dibebani reaksi atau konsekuensi yang akan ia terima. Tapi bukankah itu berarti Lingga tak ada bedanya dari para bajingan yang menjebak Aruna? Antara keterikatan emosional dan keinginan untuk menghormati batas yang ada. Setiap detik terasa seperti pertarungan yang menyiksa. Nafas Lingga memburu..
Menjatuhkan pandangan pada sepasang kaki kecil yang terkuak dibalik gaun, jemari Lingga terulur- meraba kulit halus itu. Dalam gelap yang menghampiri sepasang matanya, Lingga ikuti tiap gerak jari yang menelusuri kulit bersih Aruna.
Obsidian-nya bak pemantau setia— dimana setiap belaian menyulut kilatan tajam. Tak hanya mencipta panggung mencekam di kedalaman pandangannya. Tapi juga napas yang tertahan di tenggorokan Lingga. Ia mulai serakah. Sentuhan ringan di permukaan tubuh Runa terasa seperti menyentuh sutra halus, mengundang untuk dijelajah lebih jauh.
Aruna menggeliat samar dalam lelap, dan geliatnya hanya memperumit pertarungan batin Lingga.
Lantas beralih pandang, Lingga menarik napas dalam-dalam. Ketegangan seakan mengendap di udara, setidaknya sampai pesan dari Kemal tiba di ponselnya- menghentikan belaian tangan pria itu di atas tubuh Aruna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Lingga
RomanceLingga itu berandalan, liar dan serampangan, sumber kepusingan bagi Aruna, karena jabatan ketua seksi ketertiban-kerap membuatnya berseteru dengan si pembuat onar. 'Cowok tanpa masa depan' Begitu Runa melabeli Lingga saat mereka masih remaja. Sampa...