Gue sama Biyan emang satu sekolah, tapi kita beda kelas. Selain tetanggan di komplek, gue sama Biyan juga tetanggaan kelas. Jadi ga jarang gue sering liat di lewat pas gue sama temen lagi nongkrong didepan kelas.
Bahkan dihari inipun, disaat yang lain bengong setiap ketemu sama Biyan, gue justru bingung apa yang pantas di bengongin dari laki laki itu.
Tidak ada yang berubah dari kemarin. Bahkan wajah Biyan masih sama seperti saat satu bulan dia datang kesekolahan ini. Tapi mereka selalu tidak habis topik jika membicarakan Biyan.
"Biyan anggota basket disekolah lama ya?"
Gue mendegus, setiap apapun aktivitas yang gue lakuin sama ni anak. Selalu saja membahas Biyan. Tentang makanan kesukaan Biyan, Biyan berangkat sekolah naik apa, Biyan pelihara anjing galak, Biyan mantan ketua tim basket.
Oh ayolah, gue bahkan sampe bosen denger nama 'Biyan' terus dari mulut Kara.
Gue tau sebagian dari manusia yang ada disekolahan ini obses sama anak baru itu. Tapi cuma Kara yang terlihat lebih dari seorang panggemarnya Biyan untuk saat ini.
"Eh, Na! Menurut lo Biyan lebih suka coklat mint atau engga?"
"Kaya makan odol" entah apa yang baru aja gue omongin. Cuman sepekan yang lalu, saat Biyan datang kerumah dan lagi main game sama Jihan. Gue sekilas denger kali Biyan ga suka coklat mint, ya kurang lebih sama kaya yang barusan gue bilang ke Kara.
"Tau dari mana lo?"
Gue menoleh, "cuma nebak"
Karamel, dia harusnya ga seheboh ini sama cowok! Karena dia udah punya pacar yang bisa gue bilang lebih ganteng dari Biyan.
Gue menghela napas, Kara lebih sibuk dengan ponselnya. Sebelas dua belas sama Jihan! Dengan dalih lagi chatan sama Daffa, pacarnya. Padahal mah lagi sibuk stalk instagram Biyan yang ga ada postingan satupun. Bahkan ga ada profilnya, cuma ada satu sorotan ga jelas yang sampai detik ini gue aja ga ngerti kenapa dia masih nyimpen video itu.
"Daffa di kantin, join ga?"
Gue menggeleng pelan. Ini masih pagi dan gue udah sarapan nasi goreng buatan Bunda tadi. Demi menyelamatkan uang saku yang di potong Ayah karena seling telat bangun subuh, gue lebih baik jarang datang ke kantin, atau akan tamat gue ga bisa balik.
Ya! Gue ga ada di beliin motor. Katanya biar sama kaya Jihan waktu SMA, Jihan bahkan baru punya motor setelah kuliah. Kata Bunda sih dari uang tabungannya semasa sekolah, tapi gue ga percaya! Pasti ada campur tangannya bunda. Lagian Jihan emang anak kesayangan bunda. Bikin iri aja!
"Siapa tau ketemu Biyan, yuk!"
"Gue udah kenyang!" Seruan gue membuat Kara sedikit mendegus kesal.
Gue tau dia kemana mana harus sama gue, tapi emang boleh seharus ini?
"Ya udah iya!" Decak gue sebal. Kali ini permintaan Kara tidak bisa gue tolak lagi, lagi, dan lagi.
Sesuai dugaan, Biyan ada disana bersama teman temannya. Kayanya yang lebih tepat adalah teman teman barunya ga sih? Haris, Daffa, dan Gibran, cuma itu.
Pria kutup utara itu harus berkelahi dengan tiga pria menye menye. Bahkan udah gue pastiin kalo sebentar lagi Biyan akan jadi buaya seperti ketiga manusia itu.
"Bu, nasgor level satu!"
"Sayang!"
Gue menghela napas saat Kara meneriaki nama Daffa. Membuat seisi kantin menatap kearah ini tanpa ragu. Gue udah biasa, tapi Biyan? Pria itu memang memasang raut wajah biasa saja, tapi gue yakini dia pasti heran dengan kelakukan Kara yang bar bar itu.
"Kamu belum makan?"
"Pesen buat Haris, sayang"
"Level satu cupu amat" Kara melirik pada Haris yang sembari tadi berkutat dengan ponselnya. Tentu saja saling mengumpati lawan mainnya, si Gibran yang sembari tadi diam saja.
"Bangs,"
"Haris gue pukul ya pala lo!" Siapa lagi kalau bukan Karamel. Gadis yang duduk ditengah antara Daffa dan Haris.
Sementara gue? Mojoklah biasa, berusaha bodo amat dengan kebucinan kedua manusia itu, dan ga begitu akrab dengan manusia sisanya.
"Na, pesen apa?" Kara menatap ke arah gue yang udah lebih dulu menggelengkan kepala.
"Gue traktir"
Engga deh! Lagian gue udah sering banget di traktir Kara. Gue tau Kara anak orang kaya, kalo bisa disebut keturunan konglomerat yang uangnya ga akan habis sampe tujuh turunan. Tapi bukan karena itu kan persahabatan gue sama Kara terjalin?
"Udah deh, ice black kaya biasa?"
Gue menghela napas pasrah saat Kara memesan, bersamaan dengan pandangan Biyan yang tertuju ke arah gue.
"Inget asam lambung!" Seru Haris dibarengi dengan ponselnya yang sudah tegap. Pria dengan potongan undercut itu kali ini meletakkan benda pipihnya dimeja, sebelum membuka kotak rokok yang baru saja dia beli diwarung depan sekolah.
"No smoking area, Ris" sindir Kara.
"Gua ga ada riwayat asam lambung" sela gue, kali ini gue bisa melihat Haris memasukkan kembali rokok yang sudah dia buka kedalam saku celana.
Gue baru ingat kalo dia satu satunya yang berani membawa rokok ke sekolah.
"Siapa tau?"
"Ga ada yang tau" kali ini Gibran menyimpan ponselnya disaku, tepat saat pesanannya datang, segelas kopi susu yang dibarengi dengan pesanan Haris.
"Makasih, Bu"
"Njih sama sama, Mas"
"Kar, gue ke kelas deh"
"Apaan masih lama lagi"
"Fisika gue!" Bukan menghindar atau pengalihkan isu. Jam masuk akan bunyi lima belas menit lagi dan gue baru ingat kalau ada PR fisika. Gue otomatis meraih ice black coffee dan membawanya pergi dari kantin secepat mungkin.
'°•°'
KAMU SEDANG MEMBACA
𝑨𝒃𝒊𝒚𝒂𝒏 - Jeongwoo (On Going)
General Fiction'Apa aku milikmu yang paling mudah kau singkirkan?' ©Hak cipta [UPDATE RANDOM DAY]