Malam ini tepat jam dua belas malam gue masih belum bisa tidur. Kenapa lagi kalau bukan karena ucapan Gibran tadi sore didepan rumah?!
Gue bahkan udah mencoba posisi apapun untuk bisa tertidur. Tapi agaknya semua sia sia. Dengan napas panjang gue bangkit dan duduk di kursi belajar. Bermain sejenak dengan ponsel yang sama sekali tidak ada notifikasi, kecuali dari Kara yang tentu udah males lagi gue bales.
Gue mengusap wajah kasar sebelum meletakkan benda pipih itu di meja. Ungkapan perasaan Gibran yang sama sekali tidak gue jawab tadi sungguh mengganjal.
Gue tau kenapa dia bilang kayak gitu. Tapi kenapa gue akhir akhir ini menyangkal semuanya? Perlakuan yang Gibran berikan, walau sikap cueknya yang jauh lebih dominan perlahan bikin gue berpikir. Kalau gue kayanya juga suka sama dia. Tapi gue belum bisa mengungkapkannya seperti saat gue bilang gue lebih sukanya ke Biyan.
Ah astaga! Perasaan macam apa ini!
Mata gue sedikit memicing saat nomor tidak dikenal tiba tiba menelepon. Gue hanya butuh beberapa detik sebelum gue mengangkatnya.
"Udah tidur?"
Gue menghela napas lega. Gue kira akan jadi nomor nyasar yang modus penipuan. Tapi ternyata itu Gibran. Pria dengan suaranya yang sedikit serak, sekali lagi mengulangi pertanyaanya karena belum kunjung gue jawab.
"Ngga bisa tidur"
"Kenapa? Lagi mikirin omongan gue tadi ya?"
Kenapa dia bisa tau?! Dia cenayang kah?!
"Ngga usah dipikirin, gue ngga mau jadi beban"
"Siapa juga yang mikirin" gue bermain dengan pulpen sambil sesekali melirik pada setiap sudut kamar.
"Ada kafe yang baru buka, kata Daffa makanannya enak, mau coba kesana?"
Apakah ini yang namanya PDKT? Bahkan ini kali pertama ada laki laki yang ngajakin gue duluan. Ke kafe tuh termasuk nge-date ngga sih?
"Boleh, sebelum magrib ya"
"Biar gue bilang sama om, lo tenang aja"
Gue beranjak, berjalan kembali ke arah ranjang untuk duduk di sudut.
"Aman, Gib?"
"Tenang aja, Ra"
Tau ngga rasanya, lo penasaran tapi bingung harus tanya atas dasar apa? Pasalnya gue bukan siapa siapanya Gibran yang pantas tanya tentang hal hal yang gue kepo in selama ini. Ya disinilah gue sekarang, dengan perasaan penasaran sekaligus bingung karena ngga ada yang bisa gue omongin di telfon sama dia.
"Udah ngga usah mikir yang aneh aneh, gih tidur"
"Ngga mikir kok"
"Ya udah"
Bahkan gue sampe harus nunggu sampai mepet jam subuh untuk bisa tidur. Cuma butuh kurang lebih satu jam aja, dan habis itu udah dibangunin sama Bunda. Habis subuh pun gue ga tidur lagi. Buat apa kalau ngga siap siap sekolah? Ya walaupun dengan sedikit geliyengan, tapi gapapa.
Pagi ini Gibran dateng lebih siang dari awal dia ngejemput gue. Tepat saat gue mau keluar dari gerbang rumah sama Jihan. Pria itu datang dengan motor Vario hitam.
Gue tersenyum, bahkan saat Jihan menatap Gibran bingung, gue lebih dulu menghampirinya.
"Motornya di jual, Bang?" Sindir gue.
Pria itu tersenyum dibalik helmnya sambil menyerahkan helm yang terakhir kali juga gue pakai. Sebelum akhirnya kita sama sama pamit ke Jihan buat berangkat duluan.
Ga ada yang berubah kaya hari sebelumnya. Orang orang disekolah masih menggunakan tatapan yang sama kaya pertama kali mereka ngelihat gue sama Gibran. Cuma mungkin porsinya sedikit berkurang.
Terlebih Laras, gadis itu yang sedang duduk di kursi ujung parkiran. Entah apa yang lagi dia lakuin sama Reno. Tapi yang gue bisa lihat, pria itu agaknya mencekam tangan Laras sedikit erat. Membuat Laras meringis kesakitan.
"Gib, lo ga liat ada yang aneh?"
Gibran kali ini menoleh. Tepat saat gue ngasih helm itu ke dia.
"Biar jadi urusan mereka"
"Kasihan Laras"
Pria itu menghela napas. Menatap gue sebelum akhirnya beranjak untuk mendekati dua manusia itu. Beberapa orang yang melewati Reno dan Laras memilih untuk tidak peduli. Sama kaya yang barusan Gibran lakuin. Sementara gue? Masih adalah rasa empati kesesama manusia terlebih wanita.
Gue cuma berdiri di samping motor Gibran. Menatap dari kejauhan apa yang Gibran lakukan untuk bisa membuat tangan Reno lepas dari pergelangan tangan Laras.
"Gib, udah lo ngga usah ikut campur"
Suara Laras kali ini mendominasi. Bahkan saat gue yakini pria itu sudah lebih dulu menyuruh Gibran pergi. Gue menghela napas sebelum melangkah mendekat. Membuat ketiga manusia itu menoleh bersamaan.
"Urusin aja tuh cewek lo"
Gue tersenyum miring, menggenggam pergelangan tangan kanan Gibran yang sudah lebih dulu terkepal. Ternyata untuk menyelamatkan orang aja kita harus milih milih ya?
Gue dengan tanpa bicara sedikitpun, menarik tubuh Gibran untuk meninggalkan tempat ini. Membiarkan kedua manusia menjengkelkan itu. Sudah mau di tolong tapi tidak tau diri!
"Ngga semuanya harus pake berantem, Gib" ucap gue sambil melepaskan genggaman gue. Tidak menatap Gibran sedikitpun, lebih memilih berjalan selangkah lebih dulu.
"Siapa yang berantem?"
"Elo"
"Gue ga ada berantem, Na"
"Ya kalo gue ga minta lo pergi dari sana lo bakal berantem lagi kan sama Reno?" Gue kali ini berbalik, menatap Gibran dengan sedikit jengkel. Membuatnya menghentikan langkah tepat didepan gue.
"Bukan gue yang rugi kok, tapi semua balik ke diri lo sendiri, Gib"
Gibran kali ini cuma ngelihat ke arah gue, tanpa berniat menjawab atau mengalihkan pandangannya. Gue menghela napas resah sebelum kembali berbalik meninggalkan pria itu. Gue seharusnya ngga ngomong kaya gini kan? Karena gue juga ga punya hak apa apa buat negur Gibran.
'°•°'
KAMU SEDANG MEMBACA
𝑨𝒃𝒊𝒚𝒂𝒏 - Jeongwoo (On Going)
General Fiction'Apa aku milikmu yang paling mudah kau singkirkan?' ©Hak cipta [UPDATE RANDOM DAY]