sepuluh

20 5 0
                                    

"Kali ini gue nanya serius"

Gue menghela napas panjang. Menatap Kara yang baru saja datang dan langsung melempar tasnya ke kursi, sebelum kembali menghadap gue.

"Lo sama Gibran pacaran?" Tanyanya penuh penekanan.

Manik gue kali ini menatap Kara dengan tawa. Sesekali ingin rasanya gue mengumpati setiap omongan orang orang tentang gue dan Gibran disetiap sudut sekolahan.

"Satu sekolah ngomongin lo"

"Udah pasti kan, Kar?"

Kara menghela napas panjang sebelum kembali duduk di kursinya. Gue melanjutkan tugas yang semalam belum sempat gue selesaikan. Sementara Kara, dia tentu sibuk dengan ponsel di tangannya. Tak sesekali melontarkan pertanyaan pertanyaan yang masih mengganjal di hatinya.

"Biasanya Gibran ga kaya gini, Ra"

"Gini gimana maksud lo sih?"

"Biasanya cewek dulu yang deketin dia, dulu denger denger pun Laras yang ngedeketin Gibran"

Gue menoleh. Jadi ini yang dimaksudkan Laras tadi? Gue bahkan baru tau fakta kalau baru kali ini Gibran berani ngedeketin cewek duluan, kata Kara sih. Dan gue cuma bisa diem saat cewek yang kata Kara lagi di deketin Gibran itu gue.

"Padahal dia susah payah ya ngedeketin Gibran, tapi kaya gampang aja bagi dia ngerusak kepercayaan manusia"

Gue menatap Kara yang baru saja menghela napas resah. Bersamaan dengan benda pipih itu yang dia letakkan dimeja.

"Jadi Biyan atau Gibran, Ra?"

"Ngga milih"

Kali ini gue lebih memilih diam saat Kara justru terus menerus menggoda. Pertanyaan Gibran sudah Kara teruskan, selanjutnya siapa lagi? Membicarakan hal semacam ini sebenarnya pantas karena masa SMA katanya adalah masa terbaik untuk jatuh cinta. Tapi sepertinya engga buat gue. Disaat yang lain dibebaskan berpacaran oleh kedua orang tuanya, gue justru sebaliknya.

Gue rasa hari ini berjalan lebih lambat karena rumor kedekatan gue sama Gibran sudah menyelimuti sekolah. Bahkan sebagian besar dari guru yang pedulipun mengetahuinya.

Gue menghela napas sebelum beranjak dari tempat duduk. Kelas sudah kosong sejak beberapa menit yang lalu dan gue adalah orang terakhir yang keluar. Kara sudah lebih dulu pergi saat Daffa menjemputnya di kelas tadi.

Pandangan gue tertuju pada Gibran yang berdiri didepan pintu, sejak kapan pria itu ada disana? Bahkan kita sama sama saling pandang sebelum gue semakin dekat.

"Kenapa, Gib?"

"Anter pulang"

Gue kira semenjak percakapan kita yang membahas tentang ucapan Bunda, dia tidak akan lagi menganggu gue. Tapi kenapa justru sebaliknya?

"Kenapa diem?"

"Engga, yuk"

Kali ini gue dan Gibran berjalan menyusuri lorong yang hampir sepi. Gue kira Gibran sudah menunggu dari tadi karena Daffa juga keluar lebih awal.

"Itu kenapa?"

Pandangan gue menunduk tepat pada langkah kaki kita, namun beralih pada punggung tangan Gibran yang sedikit terluka. Bukannya menjawab pria itu justru menatap gue, sebelum kembali mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Biasa, jagoan"

Gue mendongak, menatap Haris yang masih ada di parkiran. Duduk tepat di atas motornya sambil menyesap rokok yang sudah setengah. Gue pernah bilang kan kalau cuma Haris yang berani bawa rokok ke sekolah? Ya ini salah satu kelakuan dia. Walaupun sudah jam pulang dan memang sudah tidak ada guru atau orang ramai, tapi kan bisa nanti ya?

"Daffa nganter Kara dulu katanya"

Gue kali ini melirik. Membiarkan Gibran yang melangkah ke arah motornya sambil sedikit menyauti omongan Haris.

"Lo ga bilang mau nganter dia dulu"

"Lo duluan aja" pria itu kali ini menyerahkan helm setelah membalas pertanyaan Haris.

"Oke deh"

"Mau kemana?"

Kedua pria itu menoleh. Haris yang sudah lebih dulu mengeluarkan motornya dan Gibran yang masih berdiri di tempat yang sama. Mereka hanya saling tatap, tidak memberi jawaban. Bahkan setelah Haris melajukan motornya lebih dulu.

"Lo mau balapan?"

"Kata siapa?" Gibran yang kali ini mengeluarkan motornya. Memasang helm sebelum meminta gue naik ke boncengannya.

"Lo mau nyerang lagi ya?" Pandangan gue tertuju pada genggaman tangan kanan Gibran di stang motor. Luka segar yang gue yakini belum lama. Tapi gue ngga ada denger berita apapun hari ini tentang Gibran, entah dari pihak Kara atau orang lain.

"Engga, Ra"

Gue menghela napas. Mendiami Gibran bahkan disepanjang perjalanan dia nganterin gue. Cuma ada suara knalpot motornya yang membisingi jalanan. Sisanya? Oh ayolah, bahkan pria itu seperti tidak ingin mencairkan suasana.

"Gue langsung ya?"

Gue membuka helm dan membenahkan rambut yang berantakan. Menatap Gibran yang masih setia diatas motornya yang menyala dan memakai helm fullface.

"Gue boleh bantu obatin dulu ngga?"

Sejenak kita sama sama diam, sebelum akhirnya Gibran mematikan mesin motornya. Pria itu turun namun tetap bersandar pada motornya. Sementara gue mengeluarkan betadine didalam tas untuk mengobati luka Gibran.

"Berantem sama siapa?"

"Reno"

Gue ngga berharap dia akan menyebutkan nama orang itu lagi. Entah atas dasar apapun gue sebenernya ngga peduli, tapi sepertinya pria itu lebih memilih menceritakan apa yang tak biasanya orang lain ketahui termasuk gue.

"Dia mabuk dan hampir ngelecehin Laras di tongkrongan"

Gue sedikit mendongak. Ternyata bukan hanya Gibran dan Reno yang nakal, bahkan gadis itupun demikian. Bisa bisanya ada di tongkrongan dijam pelajaran?

"Lo bolos?"

"Iya"

Tanpa membalas ucapan terakhir Gibran. Gue meneruskan mengobati lukanya, ini juga bukan urusan gue kan? Gue ngga pantes buat tau ini semua, bukan ranah gue lagi.

Tepat saat gue selesai mengobati dan menutup tutup betadine itu, tanpa sadar selama itu Gibran ngelihatin gue. Emang ada yang salah ya? Tangan kekarnya itu menyelipkan anak rambut dibelakang telinga gue sebelum tersenyum tipis.

"Makasih karena perhatian sesimple ini gue bisa ngerasa masih penting buat hidup"

"Ngomong apa sih?" Gue sedikit malu, engga! Bukan sedikit tapi banyak! Bahkan rasanya telinga gue sedikit panas dan pipi gue mungkin lagi bersemu sekarang.

"I like you, Ra"

Gue sejenak diam.

"But i feel, i don't deserve for it"

'°•°'

𝑨𝒃𝒊𝒚𝒂𝒏 - Jeongwoo (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang