Sudah dua hari gue ngga denger kabar dari Gibran. Bahkan sudah dua hari juga Gibran tidak berangkat sekolah. Sempat sekali mendengar desas desus kalau pria itu sedang sakit. Tapi beberapa juga bilang kalau Gibran hanya sedang membolos.
Tepat dijam empat sore setelah pulang sekolah. Gue masih duduk di teras dengan seragam sekolah lengkap. Menatap layar ponsel yang akhir akhir ini berulang kali gue lihat, hanya untuk memastikan Gibran mengirim pesan atau tidak.
Tapi ternyata, apa yang gue lakuin cuma sia sia. Bahkan untuk duduk disini dan berharap dia datang pun tampak menjadi kegiatan terbodoh gue.
Pandangan gue tertuju pada pekarangan rumah Biyan. Hanya ada Bunda nya Biyan yang sedang menyirami tanaman. Bersama motor yang beberapa saat lalu diparkiran di sana.
"Dek, ganti baju dulu"
Gue menoleh, menatap Bunda yang membawa segelas coklat panas. Namun kali ini tatapan gue justru teralihkan pada seseorang yang baru saja datang. Gadis yang kala itu datang ke rumah Biyan kali ini datang lagi. Tak peduli dengan Bunda yang sudah lebih dulu masuk.
Sebenernya dia siapa sih?
Gue bisa lihat dengan jelas Biyan keluar dengan pakaian santainya. Bersamaan dengan gadis itu yang memberikan salam kepada Bunda nya Biyan. Gue ngga tau pasti apa percakapan mereka yang ngebuat akhirnya Biyan masuk lagi ke dalam rumah. Sampai gue melihat notifikasi yang gue tunggu.
Sudah pulang?
Gue tersenyum tipis. Disela notifikasi Kara dan beberapa grup sekolah, gue bisa melihat dengan jelas nama Gibran tertera. Selang beberapa saat setelah gue membalas pesan Gibran. Pria itu datang dengan motor varionya, memarkirkannya di pekarangan bersamaan dengan Bunda nya Biyan masuk ke dalam. Mungkin untuk memanggil Biyan kembali?
"Cepet banget?"
"Chatnya didepan" Gibran kali ini bergabung untuk duduk di teras. Dengan kaus hitam yang diselimuti jaket hitam dan celana jeans, pria itu tampak baru saja mandi.
"Oh"
"Baru banget pulang?" Pria itu menatap ke arah gue yang masih memakai seragam. Sebelum akhirnya tersenyum saat gue hanya mengangguk kecil. Tangannya mengusap puncak kepala gue sebelum kembali membuka percakapan.
"Biasanya langsung mandi, Na"
"Lo dari mana aja?"
Gibran kembali tersenyum. Kali ini sedikit menampakkan gigi rapihnya, tanpa mengalihkan pandangan dari gue.
"Ngga dari mana mana"
"Janji ngga bohong?"
"Dirumah aja, Na"
Gue menghela napas. Lagian berharap apa agar pria itu bisa ngomong yang sebenarnya? Sampai detik ini gue selalu menekankan ke diri gue kalau bukan siapa siapa nya Gibran. Yang peduli sama dia disini cuma gue, bukan Gibran juga yang peduli ke gue. Yang nyariin dia disini cuma gue, bukan dia yang akan bales hal itu ke gue.
"Ngga perlu khawatir"
"Ngga ada yang khawatir" gue sejenak melirik, menatap Biyan yang keluar menemui gadis itu tanpa Bunda nya.
"Janji ngga bohong?"
Gue menoleh ke arah Gibran yang masih dengan senyum yang sama.
"Lagi ada sedikit masalah yang harus di selesein"
"Iya, gue ngga perlu tau lebih lanjut"
Kali ini Gibran lah yang menghela napas. Menatap gue penuh dengan keraguan. Gue bisa rasain dia lagi bingung mau cerita atau engga. Tapi agaknya, dia lebih memilih untuk memendam semuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝑨𝒃𝒊𝒚𝒂𝒏 - Jeongwoo (On Going)
Ficción General'Apa aku milikmu yang paling mudah kau singkirkan?' ©Hak cipta [UPDATE RANDOM DAY]