Kalo boleh gue bilang, pelajaran matematika adalah pelajaran yang paling gue benci dalam sejarah gue sekolah. Walau ga menutup kemungkinan matematika adalah salah satu pelajaran wajib di kelas gue sekalipun.
Gue menghela napas resah, memijat pelipis saat seorang guru baru saja selesai menjelaskan. Sementara Kara? Oh bahkan gadis itu sibuk bermain dengan ponselnya dilaci, tak peduli semua orang termasuk gue.
"Kalian bisa latihan soal dulu ya"
Seisi kelas serentak mengiyakan. Disela kepusingan gue akibat mata pelajaran ini, gue bisa melihat dengan jelas Daffa dan Biyan baru saja melewati depan kelas, terburu buru. Bahkan disusul suara kerumunan yang berubah lebih keras dari sebelumnya.
"Apa?" Gue menoleh saat Kara menatap gue dengan tatapan tajam, sebelum kembali menatap ponselnya.
"Gibran gelut"
"Astaga anak mana lagi ini" suara gerutu dari guru yang baru saja beranjak setelah berkutat dengan ponselnya sedikit terdengar.
Kali ini, semua murid dikelas keluar tak terkecuali kelas gue. Mengarah pada lapangan basket yang entah sejak kapan mulai seramai ini.
"Bencana" pekik Kara.
Gadis itu sudah lebih dulu menarik lengan gue. Menyela kerumunan dan mendapati Daffa dan Haris yang berusaha melerai.
Tak bisa dipungkiri, Gibran adalah satu satunya yang handal dalam perkelahian. Terlebih dia mantan anak taekwondo di SMP nya dulu. Tapi memang bisa ya teknik yang diajarkan di terapkan seperti ini? Memukuli anak orang sampai babak belur bukan hal yang etis menurut gue.
"Gib!" Kali ini suara Haris menguasai, saat Gibran hampir melayangkan kepalan tangannya pada perut lawan.
"Breng*ek!"
Brugh...
Gue meringis, bahkan rasa ngilu itu bisa gue rasain saat sebuah pukulan justru dia layangkan pada pipi lawannya.
"Gib, stop!" Daffa menarik paksa lengan Gibran. Pria yang sampai kapanpun tak akan bisa kontrol emosinya untuk sebuah perkelahian.
"Lo pergi!" Haris kali ini mendekat, menyuruh pria itu pergi. Bersamaan dengan manik tajam Gibran yang kali ini tak sengaja menangkap gue, yang berdiri di dekat pilar bersama Kara.
"Kenapa lagi sih?"
Semua murid akhirnya bubar setelah beberapa guru mulai berdatangan. Tepat saat suara guru BK terdengar, picingan mata Gibran pun tak berubah sedikitpun.
"Reno anak sosial, gue rasa dia udah terlalu nyenggol Gibran deh, Na"
Gue tau kalau itu Reno. Salah satu ketua geng motor yang masih aktif didaerah ini. Ya walaupun sudah jarang sekali melakukan balap liar atau semacamnya. Tapi semenjak pria itu diangkat jadi ketua, sepertinya daerah ini jadi lebih damai dari sebelumnya.
Gue pun ada bersyukurnya saat geng motor itu di pimpin Reno. Jadi ga takut kalo pulang larut sore.
Tapi ga bisa gue pungkiri juga kalau kuasa Gibran lebih dari siapapun, terutama Reno. Pria yang ga akan pernah bisa gue ajak diskusi karena ego dan sikap dinginnya mengalahi kutup selatan.
Sudah hampir dua jam setelah kejadian tadi siang, tepat saat makan siang gue dan Kara melewati lorong untuk menuju kantin. Melewati arah kerumunan keempat manusia bar bar itu juga.
"Gib, ga mau di obatin aja?!" Suara Kara kali ini menyela percakapan mereka berempat, lebih tepatnya mendekat ke arah Daffa yang ada disamping Gibran.
Pria itu bebal, bahkan setelah pukulan yang dia dapat yang mengakibatkan sudut bibirnya robek.
"Lagian UKS deket kok" Kara melirik pada ruangan yang tak jauh dari kita.
"Biar gue obatin" Gue mengambil betadine yang sengaja gue bawa dari kelas dan beberapa lembar kapas make up yang gue ambil di tas.
Membuat kelima manusia itu menatap ke arah gue aneh atau mungkin lebih tepatnya tidak percaya? Gue memang selalu membawa hal hal tak terduga seperti obat obatan. Tapi bukankah barang ini juga penting untuk dibawa? Buktinya sekarang berguna.
"Kantong doraemon beraksi" suara Daffa kali ini terdengar.
Kara yang paham pun ikut tergelak. Mungkin hanya mereka berdua yang tau bagaimana absurd-nya isi dalam tas gue. Tapi apa peduli gue? Gue selalu membawa hal hal yang lebih di butuhkan dari pada yang gue mau.
Haris kali ini beralih, menyisakan ruang supaya gue bisa berdiri disebelah Gibran.
"Sorry"
Kali ini cuma Gibran yang menatap gue, sementara mereka sibuk dengan percakapan mereka yang terbangun semakin seru. Gue bisa lihat bagaimana Gibran meringis saat gue sedikit menekan luka itu. Sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Bahkan dia terlihat berbeda dari beberapa jam yang lalu. Jauh lebih kalem dan pendiam. Tapi bukankah Gibran memang seperti itu? Diam diam menghanyutkan!
"Ntar sampe rumah langsung dibersihin dan pake betadine lagi, supaya ga infeksi" ucap gue sambil menutup tutup botol betadine di tangan gue.
"Makasih"
Pandangan gue sekarang teralih pada Biyan yang ternyata sembari tadi menatap ke arah gue dan Gibran. Tapi emang boleh gue se-pd ini? Bahkan gue ga tau dari tadi Biyan natap gue atau engga.
'°•°'
KAMU SEDANG MEMBACA
𝑨𝒃𝒊𝒚𝒂𝒏 - Jeongwoo (On Going)
General Fiction'Apa aku milikmu yang paling mudah kau singkirkan?' ©Hak cipta [UPDATE RANDOM DAY]