delapan

20 6 0
                                    

Hari ini tepat saat jadwal kelas gue olahraga. Salah satu pelajaran yang gue suka termasuk pelajaran basket, apalagi bagian nontonin anak anak tanding basket. Hal seru saat seisi kelas heboh harus memilih tim yang akan jadi pemenangnya.

"Ntar, Daffa kesini"

Gue bahkan sampe bosen ngeliat mereka nempel mulu, emang mereka ga bosen ya setiap detik ketemu terus? Tepat disudut lapangan, gue lihat Daffa dan Gibran yang mengampiri Kara.

Daffa yang membawa sebotol air mineral dingin dan Gibran yang menatap sekeliling lapangan dengan dingin. Sama sama dingin.

Gue mengalihkan pandangan saat Gibran tiba tiba melihat ke arah gue.

"Ra, jangan lupa isi absennya ya" Dela, sang wakil ketua yang selalu ngingetin buat isi absen kelas. Gue mengisi kertas yang baru saja Dela berikan. Tak mempedulikan lagi sekeliling yang masih sibuk menyoraki pemain di lapangan.

Sebelum entah apa yang akhirnya justru ngebuat mereka semua diem. Gue mendongak menatap seorang berdiri membelakangi gue dengan bola basket yang sudah ada di tangannya.

Pandangan seisi kelas tertuju pada pria berambut gondrong itu dengan tatapan kagum. Sementara gue? Kayanya gue cuma bisa diem karena udah ngga bisa berkata kata lagi.

Gibran nyelametin gue dari bola basket itu?

"Sorry, Gib!"

Suara itu membuat gue menoleh, ketua kelaspun ternyata takut sama Gibran ya?

Pria itu melempar bolanya kembali sebelum berbalik badan. Terik matahari yang sembari tadi menyilaukan mata sekarang ditutupi tubuh kekar Gibran.

"Protect yourself"

"Makasih"

"Gib, Daffa nungguin" bergabungnya Kara kembali disebelah gue ngebuat tatapan kita berdua sama sama teralihkan. Gue bisa ngelihat punggung Gibran mulai menjauh, bersamaan dengan bisikan bisikan cewek cewek kelas yang sekali lagi mengaguminya.

Oh ayolah! Bahkan mereka terlihat murahan. Bukankah setelah Abiyan datang mereka semua lebih menganggumi pria itu, dan berpaling dari Gibran? Kenapa sekarang kembali lagi ke setelan semula?

"Cie, sweet banget ga sih Gibran?" Sindiran Kara justru gue diemin.

"Gue denger denger waktu itu ada yang dianterin pulang? Sejak kapan kalian deket?"

Kali ini gue menoleh. Menatap wajah genit Kara yang terus saja menggoda gue. Bahkan itu sudah hampir satu minggu yang lalu, kenapa Kara baru mengungkitnya sekarang?

"Gue ga ada deket sama dia"

"Oh ga deket?"

Gue menatap sinis pada Kara yang terus saja menggoda. Bahkan saat kedua pria itu sudah benar benar lenyap dari lapangan ini.

"Deket juga ga papa, biar bisa double date kita"

Gue kali ini diam, meneruskan absensi yang belum sempat gue selesaikan.

Mungkin jam olahraga juga adalah hal yang paling gue suka karena bisa istirahat lebih awal dari kelas lainnya.

Gue sama Kara berjalan beriringan menuju kantin yang masih sepi, setelah berganti pakaian. Memesan dua mangkuk soto dan menikmati ketenangan ini sebelum bel istirahat berbunyi.

Jangan lupakan ice black coffe yang sudah lebih dulu datang sebelum soto yang hampir gue santap.

Tepat saat gue hampir meraih gelas itu, tangan lain lebih dulu meraihnya. Membuat gue dan Kara sama sama mendongak. Menatap Gibran yang mengganti ice black coffee gue dengan es susu coklat.

"Tukeran"

Sebelum gue protes, Gibran sudah lebih dulu menyesap minuman itu dari sedotan, dan duduk tepat disebelah gue. Sementara Daffa duduk di sebelah Kara.

Bel istirahat masih lima belas menit lagi, tapi kenapa kedua manusia itu sudah bertengger disini? Oh jangan lupakan Haris yang baru saja datang.

"Bu, kopi susu!"

Kali ini suara Haris menguasai kantin.

"Jangan keseringan ngopi, ngga baik" suara berat Gibran membuat gue tersedak, bukankah percakapan kita terlalu dekat? Bahkan kalau gue bisa noleh ke arah Gibran, bisa aja gue ngeliat pori pori hidung dia.

"Pelan pelan, Ra" Kara melirik.

Pria itu sedikit mendorong es susu ke arah gue, mengisyaratkan untuk minum.

Kali ini pandangan kita bertemu satu sama lain, sebelum Haris menyenggol lengan Gibran untuk melihat siapa yang baru saja datang ke kantin, melewati kita.

Gue bisa lihat betul Laras datang bersama sahabatnya, yang gue ga tau betul siapa namanya. Tapi sudah jadi tradisi kaya gue sama Kara, kemana mana berdua.

"Ras!" Sapaan Haris kali ini membuat Gibran kembali menatap ke arah gue, menyesap ice black coffee di tangannya.

"Iya"

Gue bisa denger suara lembut Laras, bersamaan dengan kedua gadis itu melewati kita. Gue juga bisa lihat bagaimana wajah penuh dendam Gibran.

"Ga usah diliat kalo masih kerasa sakitnya" bisik gue.

"Lihat siapa, orang ga kenal"

Gue terkekeh, menatap Gibran yang semakin kesal karena Haris terus saja mengodanya. Haris juga sahabat yang laknat! Tidak pernah bisa mendukung atau sekedar mendiamkan saja temannya yang baru saja terkena musibah, putus cinta maksudnya.

"Abiyan ga sama kalian?"

Gibran menggeleng, "dia anak baik baik, katanya pelajaran matematika lebih penting dari pada main ML sama Haris"

"Terus lo bukan anak baik?"

"Bukan"

"Kenapa jujur banget?"

"Kan semua orang juga mikirnya gitu" Gibran melirik, tepat saat bel istirahat berbunyi, dan para siswa yang berkerumunan ke kantin.

"Kalau gue jadi anak baik, ga ada dong anak bandel di sekolahan ini,"

"Ntar ngga ada yang bikin tiba tiba jam kosong karena ngeliat lo berantem!" Pekik gue.

"Iya, terlebih reuni ga bakal rame"

'°•°'

𝑨𝒃𝒊𝒚𝒂𝒏 - Jeongwoo (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang