"Ternyata Laras selingkuh sama Reno, pantes Gibran semurka itu ya?"
Pandangan gue masih fokus pada lorong sekolah yang ditaburi beberapa murid, karena ini juga sudah waktunya pulang. Gue dan Kara berjalan menuju gerbang sambil membicarakan kejadian tadi siang.
Laras adalah pacarnya Gibran sejak satu tahun lalu, bahkan katanya mereka sudah kenal sebelum masuk ke SMA ini. Seinget gue, Reno dan Gibran memang saling mengenal satu sama lain karena kata Kara, kedua pria itu memang pernah ada dalam satu tongkrongan bersama.
Tapi bukankah justru teman adalah salah satu yang akan berkhianat?
"Kata Daffa mereka emang udah rengang dari beberapa bulan lalu"
"Karena?"
Kara menaik turunkan bahunya dua kali. Sebelum akhirnya menyambut kedatangan Daffa dengan motor kesayangannya itu.
"Gue balik dulu ya!" Kara menepuk pundak gue. Tepat setelah Daffa juga berpamitan.
Sementara gue? Gue berdiri didepan gerbang sambil nunggu angkot biasanya. Bersama beberapa siswa yang juga lagi nunggu jemputan. Namun tak lama kemudian seorang bermotor ninja merah dengan helm fullface berhenti di depan gue. Ngebuat semua orang yang ada disana menatap ke arah kita, terlebih Pak Satpam.
"Pulang?"
Gue ber-oh ria saat sesosok Gibran menampakkan wajahnya dibalik helm itu. Semua pasang mata tertuju pada Gibran yang baru saja membuka helmnya. Bahkan ngebuat gue jadi kikuk karena bingung harus berbuat apa.
"Gue ga mau utang budi"
"Gue ga nuntut buat itu kok, Gib"
Gibran menghela napas. Kali ini gue bisa tau kenapa hampir sebagian cewek disekolahan ini suka sama Gibran. Selain karena dia jago berantem dan agak garang, yang mereka semua anggap itu adalah perbuatan yang keren. Gibran juga ternyata setampan itu jika dilihat lebih dekat. Apalagi saat rambutnya dia sisir kebelakang, ditambah manik tajamnya saat natap gue.
"Naik, biar gue anter"
"Gue naik angkot aja"
"Gue ga ada duit buat traktir"
Apa hubungannya? Bahkan gue ga pernah tu merasa harus diganti karena sudah ingin berinisiatif baik sama orang. Lagian kenapa sih semua orang menganggap kebaikan manusia itu harus dibalas?
"Ga usah, Gib. Udah sana, ntar fans lo pada ngira kita pacaran lagi"
"Biarin sesuai apa yang ada dipikirkan mereka lah, emang lo peduli?"
Ya emang engga sih! Lagian kenapa juga gue ngomong kaya gitu? Perlakuan yang sedang dan akan Gibran lakukan aja atas dasar balas budi gue tadi siang. Kenapa jadi ke-gr-an gini sih?
"Ayo naik"
"Iya iya" dengan susah payah gue naik motornya Gibran. Menghiraukan semua orang yang berdecak kagum atau ada juga sebagian yang kesal. Lagian bener kata Gibran, emang gue peduli? Selagi apa yang ada dipikiran mereka semua ga bener, kenapa gue harus khawatir?
Gue menghela napas sebelum mengiyakan agar pria itu melajukan motornya.
"Lain kali ga usah repot!"
"Ha?!"
Gue bisa lihat manik pria itu dibalik spion, seperti malas mengulangi ucapannya barusan. Bagaimana bisa dengar? Bahkan suara knalpot motornya saja lebih nyaring dari pada suara trakson mobil tronton dijalan raya.
Tapi kayanya itu berlebihan, gue aja yang emang ga denger.
"Thanks" gue berdiri tepat di depan pagar, tepat juga tempat Gibran memarkirkan motornya. Bukannya membalas tatapan pria itu, gue justru salah fokus dengan Biyan yang baru saja memarkirkan motornya di teras rumah.
"Lain kali ga usah repot ngobatin segala"
Gue menoleh, menatap Gibran dengan sedikit memicing. Bukannya segera pergi, pria itu justru membuka helmnya.
"Takut Laras cemburu ya?"
Gibran menghela napas panjang, gue kira ini adalah pertanyaan yang salah yang tanpa segaja gue lontarkan.
"Gih balik" usir gue, berusaha untuk mengalihkan pembicaraan. Lagi pula dia ngga cukup banyak alasan untuk masuk dulu ke dalam rumah kan?
"Cewek tuh emang gitu ya?"
"Maksud lo gimana?" Gue sedikit merapihkan rambut saat Gibran justru menatap gue intens.
"Suka selingkuh"
To the point sekali manusia satu ini! Bahkan dari gaya bicaranya saja penuh penekanan, membuat gue sedikit terintimidasi.
"Enak aja!"
"Dua bukti ga cukup?"
Gue mengerenyit. Dia sedang membicarakan Laras kan? Tapi kenapa dua orang yang dia sebutkan dalam pembicaraan ini?
"Ya mungkin elo yang lagi ga beruntung" tegas gue, walau gue masih sedikit bertanya tentang siapa satu orang yang dia maksud.
"Gue emang dari dulu ga selalu beruntung dalam hidup, makannya gue ga kaget" Gibran kembali memasang helmnya sebelum menyalakan motor ninjanya itu.
"Gue bakal sampe rumah dengan selamat"
"Gue juga ga bakal bilang hati hati kok!" Tegas gue saat suara knalpot itu sudah mulai membisingkan jalanan. Dengan malas gue menatap Gibran yang sudah lebih dulu melaju. Mungkin sikap dinginnya ini yang membuat dia sesuai dengan omongannya tadi, tidak selalu beruntung dalam hidup!
Kali ini gue yang menghela napas, membuka gerbang sebelum benar benar akan mengumpati Gibran lebih dalam. Bahkan saat ini, gue pun sudah ga peduli lagi dengan Biyan. Pria itu sudah masuk entah sejak kapan.
Ga ada orang dirumah dan amannya gue ngga harus ngejelasin secara detail kenapa bisa gue dianterin pake motor modelan kayak begitu.
'°•°'
KAMU SEDANG MEMBACA
𝑨𝒃𝒊𝒚𝒂𝒏 - Jeongwoo (On Going)
Ficción General'Apa aku milikmu yang paling mudah kau singkirkan?' ©Hak cipta [UPDATE RANDOM DAY]