tigabelas

16 4 1
                                    

Pagi ini setelah sholat subuh gue di suruh Bunda buat ke pasar, sama Jihan buat beli beberapa bahan makanan yang habis. Kurang lebih jam setengah tujuh gue baru balik karena Jihan yang kelamaan beli jajanan pasar. Seharusnya gue pergi sendiri aja tadi, dari pada harus sama dia, merepotkan saja!

Setelah meletakkan belanjaan di dapur. Gue berniat nyiram tanaman depan rumah, karena gue juga ga ada agenda apapun hari ini. Setiap kali keluar rumah, gue ngga pernah sekalipun ngga ngelihat ke arah rumahnya Biyan. Entah akan ada Biyan atau tidak, gue pastiin mata gue selalu ngeliat ke sana.

Rasanya, akhir akhir ini seperti satu bulan pertama gue kenal sama Biyan. Tidak ada interaksi apapun dan rasanya setiap ketemu tuh bener bener canggung.

Terlebih saat kita ngga sengaja papasan waktu di sekolah atau sekedar saling tatap karena sama sama lagi dihalaman rumah. Kaya hari ini, pandangan gue tertuju tepat pada Biyan yang sepagi ini sudah rapih dan bersiap menyetel motornya.

Sampai detik ini, yang masih saja memutar dikepala gue adalah pertanyaan seputar gadis itu. Gadis yang belum pernah gue lihat sebelumnya. Siapa sih dia? Siapapun itu, tolong jawab ke kepoan gue!

Gue menghela napas setelah Biyan melewati halaman rumah tanpa melirik sedikitpun. Memang seburu buru itu ya sampai tidak bisa sejenak menyapa?

Selang beberapa menit setelah Biyan pergi. Bundanya Biyan datang dengan sepiring makanan di tangannya. Gue yakin itu pasti akan di kasih ke gue karena langkah kakinya mengarah ke rumah.

"Nana, tante ada buat nasi kuning"

Gue meraih piring itu setelah meletakkan jerigen yang sembari tadi gue pegang. Membalas dengan senyuman saat Bunda nya Biyan melakukan hal yang sama.

"Biyan ulang tahun"

"Salam untuk Biyan, Tante"

"Terima kasih ya"

Gue kembali tersenyum, "em, kemarin ada temen Biyan datang"

Gue pastiin ini jadi pertanyaan pertama dan terakhir gue mengenai kekepoan gue selama ini.

"Pacarnya Biyan ya, Tante?"

Bunda nya Biyan kali ini terkekeh. Menatap gue yang sedikit ragu sekaligus canggung dalam menanyakan hal ini. Lagi pula pertanyaan gue memang agaknya sedikit gila sih.

"Bukan, Na"

Gue yakin kalau bukan, tapi memang bukan pacar bisa pelukan kaya waktu itu ya?

"Mereka cuma berteman, Tante anggapnya begitu"

Gue menghela napas pelan saat suara Bunda nya Biyan memelan sedikit diakhir kalimat.

"Kalau begitu tante balik ya, Na"

"Iya, Tante. Makasih sekali lagi"

Hanya senyuman kecil sebelum Bundanya Biyan kembali masuk ke dalam rumah. Mungkin ada sesuatu hal ngga harus gue tau tentang cewek itu. Tapi asli gue penasaran.

Namun demi tidak meneruskan rasa penasaran itu gue memilih masuk dan meletakkan nasi kuning itu di meja makan. Disahut lebih dulu dengan Jihan yang baru saja keluar dari kamarnya. Tentu dengan suara Sarah dibalik ponselnya yang dia pegang.

"Mbak Sarah! Jihan jorok belum gosok gigi udah nyomot makanan!"

Jihan hanya menyengir, menatap Bunda yang sudah lebih dulu menoleh saat gue berteriak. Sementara gue ngga peduli dengan ucapan Sarah barusan. Gue memilih masuk kekamar dan tidur.

Weekend adalah hari yang tepat untuk dinikmati dengan tidur.

Sampai gue bangun tepat jam satu siang, saat Jihan entah sudah berapa kali menguncang tubuh gue.

"Apa sih?!"

"Karamel ada didepan tuh"

Gue mengerenyit sambil meraih ponsel yang ada di samping bantal. Panas, karena gue selalu menyalakan untuk mendengarkan podcast menjelang tidur.

Ada beberapa pesan yang dikirim Kara, namun gue lebih tertarik dengan nama Gibran disana. Walau cuma satu panggilan tidak terjawab.

"Temuin dulu" desis Jihan sebelum benar benar pergi.

Dengan tubuh yang sedikit sempoyongan dan setengah sadar. Gue berjalan keluar, mengabaikan Ayah yang sibuk dengan ikan peliharaannya, dan Bunda yang menonton berita siang di ruang tengah.

"Kar, tumben" gue ikut duduk di teras, melihat wajah panik sekaligus khawatir dari gadis itu.

"Kenapa?"

"Gibran sama Biyan masuk rumah sakit"

Gue membelalakkan mata. Tepat saat kedua nama itu menggema di kepala dan jantung yang berdegup sangat kencang. Suara dengungan tiba tiba terdengar bersamaan dengan keringat dingin yang menguasai tubuh gue.

"Na, gue ngga tau harus bilang sama lo apa engga"

Gue menarik napas cukup panjang untuk menetralkan perasaan gue sendiri. Sebelum benar benar berani menarap Kara.

"Gibran hampir di kroyok pas mau ke tongkrongan sama Daffa" gue bisa denger suara Kara bergetar saat nama Daffa dia ungkapkan.

"Biyan?" Gue bener bener ngga habis pikir kalau Biyan ada disana bersama Gibran dan Daffa. Seharusnya ini tidak terjadi dihari ulang tahunnya.

"Biyan ngehadang orang yang mau pukul Gibran pake kayu"

"Na" kali ini gue menitihkan air mata tepat saat Bundanya Biyan keluar dari rumah. Gue bisa lihat wajah Bundanya Biyan yang panik, berantakan. Wanita paruh baya itu sibuk berkutat dengan ponselnya, sesekali menempelkannya di telinga saat panggilan sudah terjawab.

"Kita kesana, lo mau?"

Gue mengangguk. Bahkan saat Kara tidak menawarkannya sekalipun gue akan tetap datang. Dengan pakaian yang masih sama sejak pagi. Gue hanya bermodal jaket hitam dan masker untuk menutupi kesedihan gue. Gue dan Kara pergi ke rumah sakit bersama Daffa, pria itu menggunakan mobil Ayahnya untuk menjemput gue.

Hanya butuh sepuluh menit sebelum gue berlarian di lorong. Gue bisa lihat beberapa teman tongkrongan Gibran sedang berdiri didepan ruang UGD. Beberapa dari mereka lingkung dan meluapkan segala kekesalan dengan air mata. Sisanya hanya bisa diam dengan penyesalan.

Air mata gue kembali terjun saat melihat Haris terduduk di lantai. Pria itu sudah sangat berantakan sambil sesekali bermain dengan tombol on-off ponselnya. Pandangannya sekarang yang gue lihat cuma lamunan.

"Ris" suara gue bergetar.

Iya! Bahkan Kara dan Daffa menoleh saat gue mulai terisak. Beberapa dari mereka yang melihat kehadiran kita bertiga hanya bisa diam. Walau gue yakin juga sebagian dari mereka ngga kenal sama gue. Gue mulai mendekati Haris, berjongkok untuk sejenak memberikan pelukan.

Haris adalah salah satu yang paling dekat dengan Gibran. Gue ngga yakin dia ngga terpuruk atas kejadian ini.

"Dia bilang mau beliin lo donat habis dari tongkrongan, Na" gue bisa dengar dengan jelas suara serak Haris menguasai telinga gue.

Kali ini, kenapa rasanya sangat sesak?

"Dia mau ketemu sama lo habis dari tongkrongan dan bawain donat itu buat Abang lo juga"

"Gibran akan baik baik aja" ucap gue penuh penekananan sebelum melepas pelukan dan kembali menatap manik berair itu.

"Na, Gibran"

Gue mengangguk memberikan senyuman. Walau tak menutup kemungkinan air mata jauh lebih dari kata menyakitkan untuk keluar sekarang. Gue menoleh tepat saat Kara memeluk Daffa. Air mata itu, dia juga ikut menangis saat melihat Haris yang tak berhenti melantunkan nama sahabatnya.

Tepat saat ruang oprasi berlamu hijau, dokter keluar sambil menghela napas panjang. Ada banyak kemungkinan terjadi pada Gibran, tapi gue berharap kemungkinan itu adalah Gibran masih hidup.

'°•°'

𝑨𝒃𝒊𝒚𝒂𝒏 - Jeongwoo (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang