"Abi!"
Gue menoleh, bukan kaya suara Bundanya Biyan. Tapi suara perempuan, itu terdengar lebih lembut, dan seperti panggilan yang dia serukan karena sudah lama gak saling sapa, sedikit bergetar.
Kita ketemu lagi di malam minggu berikutnya, setelah minggu lalu pergi bersama sejoli bucin itu. Kali ini gue justru malah ngelihat Biyan yang dipeluk seorang gadis, tepat didepan gerbang rumahnya yang hampir di buka.
Sepuluh menit lalu Biyan datang untuk ngasih brownis buatan Bundanya, dan ngobrol sedikit sama gue. Salahnya gue justru nungguin dia dulu biar sampe masuk kerumah. Kenapa ga langsung gue pergi aja, dari pada harus ngelihat hal semacam ini?
Cemburu? Iya sedikit, karena gue ngerasa udah deket sama Biyan. Tapi justru faktanya, ada yang jauh lebih deket sama Biyan. Udah sampe peluk pelukan segala, kalau Bundanya Biyan tau gimana?
"Hayo nangis?"
Gue mendongak saat Jihan baru saja keluar dari kamarnya, dengan jaket yang masih dia sampirkan dibahu.
"Sok tau!"
"Emang udah berhak cemburu padahal ga ada status?"
Kamar Jihan emang bisa diakses untuk ngelihat jalanan. Yang otomatis bisa ngelihat pelataran rumah Biyan juga, itu artinya dia tadi ngeliat cewek itu meluk Biyan kan?
"Kalo mau cemburu minimal pacaran"
"Siapa yang pacaran?"
Sebelum pertanyaan Bunda barusan, gue udah lebih dulu melayangkan pukulan ke Jihan. Pria itu memang! Ish! Rasanya selalu ingin gue buang ke laut yang jauh sampai di makan Paus Orka.
"Sarah sama Jihan!"
"Abi sama Nana!"
Bunda menghela napas, tepat saat gue berteriak pada Jihan yang sudah lari keluar rumah.
"Masih sekolah loh, Na"
"Nana ga ada pacaran sama Abiyan, Bun"
"Percaya, tapi batasi kedekatan kamu ya"
Padahal waktu itu, Bunda sendiri yang bilang kalau mau dijodohin? Tapi kenapa disisi lain jauh berbeda omongan?
Gue menghela napas resah. Lagi pula gue juga ga berharap, kenapa kesannya kaya gue berharap banget?! Padahal gue sama Biyan aja udah jauh beda dari sisi manapun. Dibandingkan cewek itu? Huh, melelahkan jika harus bersaing.
"Nanti kalau sudah lulus SMA gapapa"
"Sama Abiyan?"
Bunda kali ini tergelak, "memang harus sama Abiyan?"
"Nana emang suka sama Abiyan, karena mirip Ayah"
Polos sekali, seperti Bunda waktu muda. Itu yang sering Bunda bilang saat percakapan percakapan kaya gini tercipta antara gue sama Bunda.
Tapi dari awal gue ga pernah bilang kalo ga suka kan sama Biyan? Biyan agamanya bagus, anaknya pinter akademik dan non akademik, ganteng juga. Siapa yang ngga suka sama Biyan?
"Bilang suka boleh, tapi kalau pacaran jangan dulu ya" Bunda kali ini menepuk puncak kepala gue, sebelum meninggalkan gue menuju dapur.
Kalau saja gue berani bilang ke Biyan. Mungkin besar kemungkinan pria itu akan menolak, tapi sedikit kemungkinan diterimapun pria itu tetap tidak bisa menjadi pacar gue.
Seperti Sarah dan Jihan. Bahkan kedua manusia itu baru dapat restu dari Ayah satu tahun setelah Jihan kuliah. Bagaimana kabar gue nanti? Pasti akan jauh lebih lama, dan ga akan ada yang bisa nunggin gue. Termasuk Biyan.
Gue menghela napas, merebahkan tubuh ke ranjang dari pada harus memikirkan hal hal bodoh seperti barusan. Terlebih dengan gadis itu. Walau tidak bisa dipungkiri gue juga penasaran siapa dia.
Tepat saat mata gue terpejam, suara dering ponsel terdengar. Tanpa tau nama dilayar itu, gue langsung mengangkatnya.
"Lo dimana?"
Dengan kejut, gue terduduk, menatap ke arah pantulan diri gue di kaca yang bertengger di depan.
"Kenapa, Na?"
"Oh enggak, gue di kamar" gue sedikit menormalkan nada bicara gue, bangkit dari duduk sambil menutup jendela karena waktu sudah hampir larut.
"Kenapa, Bi?"
"Tadi Bang Jihan pergi sama Mbak Sarah?"
"Gue ngga tau" ucap gue pelan.
Lagian kenapa sih dia telfon? Kaya rumah gue sama dia dari sabang sampe merauke aja. Ngebahas Jihan lagi, emang ga ada topik yang lebih penting?
"Ada hal penting?"
"Engga, cuma lagi bosen aja"
"Tumben, Bi" gue duduk dikursi belajar, bermain dengan pulpen "ngga jama'ah ke masjid?"
"Hari ini libur dulu"
Kenapa jadi secanggung ini? Kita sama sama diam sampai gue bisa denger suara Bunda Biyan memanggil namanya.
"Bunda panggil tuh"
"Udah tau, lagian males turun juga"
Gue baru tau kalo kamar Biyan ada di lantai dua. Tapi gue udah lebih dulu tau rumah itu memang punya lantai tingkat. Berbeda dari rumah gue yang luas namun hanya memilki satu atap.
"Bunda ada buat salah ya?" Gue mendongak, menatap lampu yang sampai kapanpun tidak akan berpindah dari posisinya. Jujur gue selalu bingung kalo cuma dihadapkan sama pria ini, ditambah topik percakapan bersama Bunda tadi.
"Engga"
"Terus?" Dengan pelan gue kembali beranjak, berjalan keluar kamar tanpa mempedulikan Bunda yang masih saja sibuk masak. Tentu untuk duduk di kursi teras.
Kali ini pandangan gue tertuju pada motor yang cukup asing bertengger di halaman rumah Biyan.
"Lagi males aja"
Sebelum seorang gadis muncul dari balik pintu bersama Bunda nya Biyan. Gue ngga tau pasti percakapan apa yang terjadi. Tapi gadis itu memang seperti sedang berpamitan untuk pulang.
Dimana Biyan?
"Ngapain di teras?"
Gue sedikit mendongak, menatap jendela kamar yang gue yakini milik Biyan itu terbuka. Pandangan pria itu tertuju pada gue setelah menatap kedua manusia lainnya di halaman rumah.
"Cari angin"
"Bukannya cari penyakit?"
Gue cuma diem saat Biyan kembali melihat ke arah gadis itu, saling tatap.
"Gue matiin deh"
Sebelum akhirnya panggilan kita bener bener selesai. Gue menatap raut wajah Biyan yang berubah masam. Bersamaan dengan suara terakhir Biyan di panggilan, tangannya pun menutup jendela itu.
'°•°'
KAMU SEDANG MEMBACA
𝑨𝒃𝒊𝒚𝒂𝒏 - Jeongwoo (On Going)
General Fiction'Apa aku milikmu yang paling mudah kau singkirkan?' ©Hak cipta [UPDATE RANDOM DAY]