Chapter 12 : High Fever at Night Strikes

918 107 8
                                    

Ketika sinar mentari mulai menyibak tirai malam, Sasuke dan Sakura akhirnya meninggalkan gua yang menjadi tempat perlindungan mereka semalam, kembali menuju ke istana. Langkah mereka melangkah di tengah hutan-hutan yang rimbun, dengan Sasuke yang terus-menerus menyibak angan-angan yang mengganggunya. Pikirannya terus melayang pada kemungkinan bahwa Sakura benar-benar telah kehilangan ingatannya.

Sasuke merasa terombang-ambing di antara rasa bersyukur dan kegelisahan. Apakah hilangnya ingatan Sakura berarti dia memiliki kesempatan untuk memenangkan hatinya? Apakah Sakura akan kembali menjadi dirinya yang dulu, sebelum semua penderitaan dan pertarungan yang mereka alami bersama? Sementara Sasuke merenungkan pertanyaan-pertanyaan itu, matanya tak henti-hentinya memandang Sakura dengan tatapan campuran antara harapan dan kecemasan.

Di dalam hatinya, Sasuke terpesona oleh keberanian Sakura, kesetiaannya kepada kerajaan dan rakyatnya yang tak tergoyahkan. Bahkan ketika disiksa dan terluka, Sakura tetap teguh dalam pendiriannya, menolak tunduk pada Sasuke bahkan ketika dia dihina dan disakiti. Sasuke jatuh hati pada keberanian dan kegigihan Sakura, yang begitu berbeda dengan tiga istrinya sebelumnya. Mereka yang selalu bersedia memuaskannya secara fisik tanpa memedulikan hati dan pikirannya.

Setelah perjalanan yang melelahkan, langkah Sasuke dan Sakura akhirnya menghantarkan mereka kembali ke halaman istana. Mereka disambut oleh Karin, Ino, dan Hinata, yang mengerumuni Sasuke dengan tatapan khawatir yang melekat pada wajah-wajah mereka. Namun, sorot mata mereka berubah ketika melihat Tenten, pelayan kecil yang sedang hancur berantakan, terbenam dalam tangisan yang penuh keputusasaan. Suara tangisnya yang tersedu-sedu memecah keheningan, menciptakan aura kesedihan yang mencekam di antara mereka.

"Huahhh.... Nonaaa!! A-aku hiksss... kiraaaa... N-nona huahhh... sudah m-athii hiks.... hikss... huahhh!!" Tangisan Tenten pecah dalam retakan emosional yang terasa menyayat hati, menciptakan suara yang menusuk dalam keheningan sekitarnya.

Sakura merasa tersentuh, tapi juga merasa malu dan bersalah karena menjadi pusat perhatian. Namun, dengan senyum canggung yang berusaha menenangkan, ia mendekati Tenten yang masih tenggelam dalam kesedihannya. Dengan lembut, ia mencoba merangkul pelayannya itu dalam kehangatan pelukan, berusaha memberikan sedikit kelegaan dalam kegelapan yang menyelimuti Tenten.

"Tenanglah, Tenten. Aku baik-baik saja. Jangan khawatir," ucap Sakura dengan suara lembut, berusaha meredakan tangisan pelayannya dengan kata-kata yang penuh kehangatan dan kebaikan.

Saat Sakura merasa situasinya semakin aneh, ia merasa perlu untuk segera membawa Tenten kembali ke kediaman mereka. Dengan langkah terburu-buru, mereka berdua meninggalkan keramaian halaman istana utama, memilih kesunyian kediaman Sakura sebagai tempat untuk menenangkan diri. Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Begitu malam tiba, tubuh Sakura mulai terasa panas, demamnya merajalela sepanjang malam, membuatnya bergulat dalam kegelisahan dan ketidaknyamanan. Tenten, yang melihat keadaan nonanya semakin memburuk, menjadi semakin panik. Dengan langkah tergesa-gesa, ia segera memanggil tabib istana, memohon pertolongan untuk Sakura.

Segera, kediaman mereka dipenuhi dengan kehadiran orang-orang yang sibuk bergerak ke sana kemari. Sakura, yang terbaring di atas tempat tidurnya, hanya bisa merasakan gelombang panas yang menghantam tubuhnya, sementara Tenten berusaha sekuat tenaga untuk meredakan ketidaknyamanan yang dirasakan oleh nonanya.

Wajah Sakura terlihat penuh dengan peluh, mata yang biasanya berbinar kini terlihat redup dan lesu. Dalam keadaan setengah sadar, ia mengucapkan kata-kata dengan suara parau yang terdengar rapuh, "Panas..."

Tubuhnya meronta di atas tempat tidur, gelisah dalam usahanya untuk meredakan sensasi panas yang membakar setiap serat ototnya. Ia mengerang dengan pelan, setiap gerakan kecil menunjukkan betapa tidak nyamannya ia dalam keadaan demam yang merajalela itu. Tenten yang menyaksikan penderitaan nonanya semakin panik dan menangis tersedu-sedu.

Dengan langkah lembut dan tangan yang ahli, seorang tabib mendekati tempat tidur Sakura. Cahaya samar dari obor memancar di sudut ruangan, memberikan sorotan dramatis pada wajah serius sang tabib. Dengan hati-hati, ia menarik tirai pelindung tempat Sakura beristirahat, mengungkapkan sosok wanita muda yang tergeletak lemah di atas kasur.

Tabib itu duduk di samping Sakura, tangannya yang terampil mencari denyut nadi di pergelangan tangannya yang lemah. Setiap denyut nadi terasa seperti detik yang lama, berat di dalam keheningan yang tergantung di udara. Mata tabib itu bersinar dengan ketertarikan yang tak terbantahkan saat ia memperhatikan respons tubuh Sakura terhadap sentuhan lembutnya.

Setelah beberapa saat yang terasa seperti berjam-jam, tabib itu mengangguk singkat pada Tenten yang menunggu. Dengan perlahan, Tenten membawa gelas air dingin dan kain basah, sementara tabib tetap fokus pada pemeriksaan yang sedang dilakukan. Tidak ada kata-kata yang diucapkan, hanya kehadiran yang penuh dengan kecemasan dan perhatian.

"Demamnya tinggi," ujarnya dengan suara serius, yang mencerminkan ketegangan dalam hatinya. "Kita harus segera mengambil tindakan."

"Yang Mulia Kaisar tiba!!" Suara lantang tiba-tiba terdengar, menyuarakan kedatangan kaisar. Seisi ruangan yang dipenuhi oleh kebingungan atas kondisi selir keempat kaisar itu seketika menghening melihat bagaimana sang kaisar yang datang dan segera menghampiri Sakura.

Dalam sorot matanya yang penuh kekhawatiran, Sasuke menatap Sakura yang terbaring lemah di atas tempat tidur, tersiksa oleh demam yang melanda tubuhnya. Setiap erangan dan gema kesakitan yang keluar dari bibir Sakura menusuk hatinya, membuatnya merasa tak berdaya dalam menghadapi penderitaan yang dialami oleh wanita yang dicintainya. Tanpa ragu, Sasuke mendekati tempat tidur Sakura, duduk di sampingnya dengan perlahan. Tangannya yang kuat dan gagah berani, kini menggenggam tangan Sakura dengan lembut, seolah berusaha memberikan kekuatan padanya melalui sentuhan yang hangat.

Wajah Sasuke tidak bisa menyembunyikan rasa prihatin yang mendalam. Matanya terus memperhatikan setiap gerakan Sakura, setiap ekspresi raut wajahnya yang mencerminkan rasa sakit yang tak tertahankan. Di dalam hatinya, ia merasakan kepedihan yang sama, ingin sekali bisa meredakan penderitaan yang dirasakan oleh wanita yang telah merebut hatinya.

"Bertahanlah Selir Haruno," gumamnya pelan.

"Kakak....," panggil Sakura pelan, berpikir jika sosok yang menggenggam tangannya adalah Sasori sang kakak, sosok yang selalu menemaninya saat ia jatuh sakit. Hingga pada akhirnya, Sakura tak bisa menahan tangisannya. "Kak... hikss... K-kakak, Kak Sasori... Saki... hikss..., sakit Kak."

Suara rengekan pelan Sakura terdengar membuat Sasuke terdiam menatapnya. Ada perasaan kecemburuan yang segera melintas di benak Sasuke, bagaimana wanita itu tetap menyebut nama pria itu, tetap mencari pria itu bahkan di kondisinya yang begitu memilukan. Tak ada namanya yang disebut, ini menyakitkan. Sasuke ingin marah, namun melihat bagaimana wanita itu menderita, Sasuke juga tak sanggup marah.

"Obati Selir Haruno," perintah Sasuke dengan tegas kepada sang tabib sebelum akhirnya ia melepaskan genggaman tangannya pada Sakura, pergi meninggalkan ruangan itu dalam kekecewaannya yang tak terbendung lagi.

Mysteries of the MoonlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang