Keesokan paginya, setelah malam yang penuh dengan demam dan kegelisahan, Sakura terbangun dengan tubuh yang terasa lebih ringan meskipun masih merasakan pusing yang menghantui pikirannya. Sinar matahari pagi yang masuk melalui jendela memberikan semangat baru, namun suasana hatinya masih terganggu oleh ingatan akan malam yang lalu dan gosip yang berhembus di istana.
Kabar tentang sakitnya Sakura semalam telah menyebar dengan cepat, menjadi buah bibir di setiap sudut istana. Pemberitaan itu menjadi pusat perhatian, terutama karena kaisar sendiri, Sasuke, hadir di kediamannya. Sasuke yang biasanya terpencil dan misterius, sekarang menjadi sorotan utama, menarik perhatian semua orang termasuk para selir.
Hinata, salah satu selir yang selama ini disayangi oleh kaisar, merasa ancaman akan kehadiran Sakura. Dengan sikap yang manipulatif, Hinata berusaha menyembunyikan ketidaksukaannya pada Sakura dengan pura-pura peduli dan memperlihatkan perhatiannya. Ia datang ke Istana Musim Semi milik Sakura, membawa beberapa obat-obatan yang katanya baik untuk kesehatan.
Ketika Hinata tiba di kamar Sakura, senyumnya terpampang di wajahnya, namun Sakura dapat merasakan ketidakaslian dibalik senyuman itu. Dengan pandangan tajamnya, Sakura menyaksikan bagaimana Hinata duduk di samping tempat tidurnya, mencoba memperlihatkan kebaikan hatinya yang sebenarnya tidak tulus.
“Selamat pagi, Selir Haruno. Bagaimana perasaanmu? Kau tampak lebih baik,” ucap Hinata dengan suara lembutnya, namun matanya menyiratkan sesuatu yang tidak jelas.
Sakura menarik selimutnya lebih erat, mencoba menutupi ketidaknyamanannya. “Ya, aku merasa sedikit lebih baik. Terima kasih sudah datang, Selir Hyuga. Tapi, apakah benar-benar perlu kau datang sendiri?”
Hinata tersenyum, tetapi senyumnya terasa sedikit kaku. “Tentu saja, Selir Haruno. Aku peduli padamu. Aku ingin memastikan bahwa kau mendapat perawatan yang baik.”
Meskipun kata-katanya terdengar manis, Sakura bisa merasakan ketidakjelasan di baliknya. Ada sesuatu yang disembunyikan Hinata, namun Sakura belum bisa mengungkap apa itu. Bagaimanapun, ia harus berhati-hati, terutama karena Hinata merupakan salah satu selir yang paling dekat dengan Sasuke.
Sakura membalas senyuman Hinata dengan senyum tipisnya sendiri. “Terima kasih, Selir Hyuga. Aku benar-benar menghargainya.”
Sesaat kemudian, Hinata menolehkan kepalanya ke belakang, menatap seorang dayang yang membawa nampan dengan teko teh, bingkisan teh, dan segelas teh yang masih hangat di atasnya. Tangannya yang lentik itu meraih gelas itu, menyodorkannya ke arah Sakura.
Hinata tersenyum. "Minumlah, Selir Haruno. Dengan ini, kau akan merasa lebih baik."
Dengan senyum canggungnya, Sakura meraih gelas teh itu. Aroma yang pekat langsung masuk ke dalam indra penciumannya. Sebagai seorang dokter, Sakura memiliki sensitivitas terhadap bau, terutama obat dan herbal. Aroma teh itu begitu pekat sehingga Sakura menyadari itu adalah aroma tanaman angelica. Sesaat Sakura bertanya-tanya bagaimana tanaman itu bisa ada di dalam seduhan teh. Dia tahu tanaman itu cukup baik untuk kesehatan, namun berbahaya bagi ibu hamil, bisa menyebabkan keguguran.
Tunggu sebentar, tidakkah Hinata berpikir jika Sakura menghabiskan malam bersama dengan Sasuke sampai dia secara tergesa-gesa datang bersama teh itu? Ini terasa memuakkan bagi Sakura. Dia membenci pikiran itu, dan dia lebih membenci lagi karena harus terlibat dalam drama pergolakan cinta di istana. Dia tidak menginginkan ini, dia hanya ingin pulang ke dunianya.
"Selir Haruno?" panggil Hinata mempersembahkan senyumannya dengan kelembutan yang khas, namun di balik itu tersembunyi aura kehati-hatian yang tidak terlalu terlihat oleh mata awam. Matanya yang lembut menyapu wajah Sakura dengan kecerdikan yang samar, seolah-olah merasa senang dengan ketidakpastian yang melingkupi wanita itu. Meskipun Sakura terdiam dalam kebimbangan, gelas teh di tangannya masih terisi penuh, menahan diri untuk meminumnya.
"Apakah kau khawatir aku memasukkan sesuatu ke dalamnya? Astaga Selir Haruno, aku bukan orang yang seperti itu. Aku terbiasa meracik teh bahkan Selir Uzumaki dan Selir Yamanaka juga menikmatinya," terang Hinata berusaha untuk menghilangkan keraguan di dalam diri Sakura.
Sakura tersenyum dan pada akhirnya ia menyerahkan gelas teh itu kepada Tenten. "Maaf Selir Hyuga. Aku tidak berpikir yang aneh-aneh tentangmu. Hanya saja aku berpikir apakah aku boleh meminumnya? Belum lama ini aku sudah mengonsumsi obati. Aku akan meminumnya nanti."
"Ah begitu rupanya, maaf karena aku salah paham sendiri," ucap Hinata tersenyum lembut namun dibalik itu, ia menggertakan gigi-giginya menahan emosi.
Dengan lembut, Hinata meraih tangan Sakura yang berada di atas pahanya sendiri atau lebih tepatnya di atas selimut tebal yang membungkusnya. Hinata dengan suara lembutnya kemudian berkata, "kita adalah keluarga Selir Haruno. Sejak kau memasuki istana para selir, kita sudah menjadi keluarga. Karena itu jangan sungkan untuk meminta bantuanku."
"Tentu saja," jawab Sakura seadanya, berharap jika drama ini segera berakhir dan benar saja, sesuai dengan harapannya, Hinata segera pergi.
"Wahhh, orang-orang di istana ini sudah gila!!" Sakura mengeluarkan ucapan dengan nada yang tak percaya, matanya mencerminkan kebingungan yang mendalam. Baginya, keterlibatan dalam situasi yang begitu rumit dan menyedihkan ini benar-benar tak terbayangkan.
"Nona, ada apa? Apakah teh ini bermasalah? Apakah Selir Hyuga berniat membunuh Nona?" ucap Tenten yang segera melayangkan pertanyaan bertubi-tubi karena tidak mengerti sama sekali akan hal yang tengah terjadi. Namun, tetap saja ia penasaran.
"Tunggu sebentar," ucap Sakura memiringkan kepalanya. "Dia ingin membunuhku? Membunuh ya? Hmmm.... bagaimana jika itu jawabannya? Bagaimana jika aku mati di dunia ini lalu aku akan kembali hidup di dunia asliku? Bukankah bisa jadi begitu? Aku hidup di sini lalu di sana aku koma. Bagaimana jika situasinya dibalik?"
"Nona, apa yang tengah Nona katakan? Nona membuat saya takut. Kenapa Anda membicarakan soal kematian?" ucap Tenten yang merinding mendengar ucapan Sakura.
Sakura tiba-tiba berdiri, ia menatap Tenten dengan serius. "Tenten, bunuh aku."
"Apa?!" pekik Tenten penuh keterkejutan, ia merasa dirinya akan gila mendengar kalimat itu keluar dari bibir nonanya. Namun, di satu sisi ia juga merasa nonanya yang sudah gila.
Sementara Sakura menggulirkan bola matanya yang berwarna hijau emerald, mencari dengan hati-hati benda yang bisa digunakan Tenten untuk membunuhnya. Dengan gerakan yang hati-hati, tangannya menyusup di antara buah-buahan yang tersusun rapi di atas meja, hingga akhirnya ia meraih sebilah pisau buah yang tersembunyi di antara mereka. Dengan mantap, Sakura menggenggam pisau itu.
"Nah ini, gunakan ini dan tusuk aku," ucap Sakura memberikannya kepada Tenten namun Tenten berusaha keras untuk menolak, ia bahkan berteriak sangking paniknya sementara Sakura tak kenal lelah menyodorkan benda tajam itu.
"Nona tidak, jangan lakukan ini Nona!! Jika Anda tidak puas kepada saya tolong katakan saja. Jangan seperti ini Nona.....," rengek Tenten dengan frustrasi, benar-benar merasa dirinya akan gila.
"Bunuh aku Tenten, bunuh!! Biarkan aku pulang ke keluargaku," ucap Sakura yang masih sibuk dalam aksi menyodorkan pisau dan Tenten yang terus menolak dengan mendorong tangannya. Namun kali ini suasananya sedikit berbeda.
Tenten perlahan-lahan menangis histeris, berpikir jika nonanya merasa sangat menderita karena intimidasi kehidupan di istana sampai-sampai ia merindukan keluarganya dan ingin segera mati. Namun, di tengah-tengah tangisan Tenten, ia mendorong terlalu kuat sampai-sampai pisau buah itu menggores telapak tangan Sakura.
"Akh!!" Sakura merintih kesakitan, menjatuhkan pisau buahnya ke lantai.
"Nona?! Anda berdarah!!" teriak Tenten terlampau heboh, suaranya menggelegar bahkan sampai terdengar oleh Naruto yang panik dan menerobos masuk ke dalam kamar Sakura.
Bola mata sapphire biru Naruto yang menawan seketika terbelalak, menyaksikan luka sayatan panjang di telapak tangan Sakura yang mengucur deras darah. Naruto dengan panik akhirnya berteriak. "Selir Haruno!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mysteries of the Moonlight
Fiksi PenggemarDokter muda berbakat, Sakura terpaksa pulang larut malam karena operasi darurat di rumah sakit. Berpikir untuk segera menjumpai kasur di rumahnya Sakura justru secara mengenaskan terlibat dalam kecelakaan yang merenggut nyawanya. Saat bulan bersinar...