21. Ancaman Cakra

10 3 0
                                    

Langkah kecil Ara membawa Devan ke taman belakang sekolah. Ia dan Devan duduk di sebuah bangku panjang yang ada di sana. Kemudian Ara membuka kotak obat yang sudah ia ambil dari UKS tadi. Ara mengobati luka di wajah Devan dengan hati yang tergores. Tidak bisa dipungkiri, ada rasa bersalah yang hinggap di hatinya. Mati-matian Ara menahan diri untuk tidak menangis, bukan karena sedih, melainkan karena merasa bersalah.

Devan tak dapat mengalihkan matanya dari gadis didepannya. Dari diamnya Ara, ia tahu gadis itu menyimpan rasa sakitnya sendirian. Devan menghela napas, seharusnya Ara tidak perlu tau akan hal ini. Seharusnya ia tidak perlu melihat Ara dengan raut bersalahnya seperti ini.

"Kenapa? Sakit?" Tanya Ara ketika mendengar helaan napas Devan.

"Lo marah sama gue?" Bukannya menjawab, Devan juga melontarkan pertanyaannya.

Ara tidak menjawab, ia hanya menatap mata Devan bergantian, kembali menyelami mata hazel itu agar Ara bisa lebih tau banyak hal tentang lelaki itu.

"Ra– "

"Dev, gue pernah bilang, kan, sama lo untuk jangan terlibat dalam masalah gue? Udah cukup Kak Karin yang pergi, gue gak mau ada orang lain yang tersakiti lagi," ujar Ara dengan tatapan memohon.

"Gue masih orang lain buat lo?"

"Lo memang pacar gue, Dev. Tapi bukan berarti lo boleh terlibat sama masalah gue. Gue gak izinin lo untuk ketemu sama Cakra lagi."

"Buat gue gak gitu, Ra," sanggah Devan. "Masalah lo, ya masalah gue juga. Lo berharap gue diem aja kalo dia mau nyakitin lo? Gue gak bisa, Ra. Dia bahaya buat lo," ucap Devan menatap gadis didepannya penuh arti.

Ara membalas tatapan Devan. "Itu lo tau kalo dia bahaya. Terus kenapa masih diladeni? Biarin aja, Dev. Gue gak masalah dia mau apain gue, asal bukan orang terdekat gue."

Devan menekuk alisnya, merasa marah dengan ucapan Ara. "Terus menurut lo gue harus diem aja kalo dia mau nyakitin lo? Ra, gue ngerasa lo gak bener-bener nganggap gue sebagai pacar lo. Masa iya gue harus diem aja untuk hal kayak gini?"

Ara mengerjapkan pelan matanya. Melihat Devan berbicara panjang dengan wajah sangarnya membuat Ara kehilangan kata-kata yang ingin diucapkan.

"Kok jadi lo yang marah, sih?" Ara berdecak kesal.

"Gue gak marah, Ra. Gue cuma mau lo selalu cari gue setiap ada masalah, jangan malah dipendam sendirian. Gue pacar lo, lo punya gue yang siap kapan aja lo butuh," ucap Devan. Harus Ara akui, kali ini seperti ada ribuan kupu-kupu yang menggelitik perutnya. Astaga! Timing-nya tidak pas sekali untuk merasa salah tingkah seperti ini.

"Dengerin gue, gak?" Tanya Devan ketika gadis itu hanya diam menatapnya.

Ara yang tersadar pun segera mengerjapkan matanya. "Tetap aja gue gak mau kalo lo terluka lagi kayak gini."

"Iya, Amara. Gue pastikan gak akan luka lagi dan buat lo nangis kayak tadi," Devan menyelipkan rambut Ara ke belakang telinganya. Tatapan Ara melunak, sepertinya ia suka mendengar Devan menyebut lengkap nama depannya itu.

"Dia ada ngomong sesuatu ke lo?" Tanya Ara.

Devan menggeleng, "Gak ada."

"Bohong."

"Gue gak bohong, Ra," kata Devan dengan lembut.

Ara menatap Devan lamat-lamat. "Beneran?"

Devan mengangguk, ia mengacak gemas rambut Ara. "Iya, Ara."

Lelaki itu berdiri. "Ayo pulang, nanti kesorean takutnya lo dicariin," Devan berdiri sambil menggenggam sebelah tangan Ara.

Baru beberapa langkah, Ara menahan tangan Devan sehingga lelaki itu membalikkan badannya menghadap Ara. "Dev, sekali lagi, gue minta untuk jangan berhubungan sama Cakra, ya. Pokoknya jangan ketemu sama dia lagi. Bisa lakuin hal itu untuk gue, kan?"

Derana AmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang